HARUSKAH I'TIKAF?


Hari sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan adalah hari-hari spesial bagi kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Di mana pada sepuluh terakhir terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, malam yang sangat mulia dan dimuliakan. Untuk mendapatkan malam tersebut, tidak sedikit kemudian kaum muslimin melakukan i’tikaf penuh selama sepuluh terakhir Bulan Ramadhan, baik siang dan malamnya, berdiam diri penuh di masjid dan hanya keluar pada hajah yang mendesak saja, seperti mandi atau qadha’ hajat.
I’tikaf penuh menuntut orang meninggalkan semua kegiatan sehari-hari, baik di kantor maupun di rumah. Semua kegiatan diganti dengan ibadah di masjid, Seperti shalat dan tilawah al-qur’an. Bahkan anggota keluarga yang tidak i’tikaf harus mengantarkan segala keperluan mereka yang i’tikaf. Tapi tidak semuanya karena ada beberapa masjid yang menyediakan segala keperluan selama i’tikaf untuk berbuka dan sahur.
Memang i’tikaf menuntut meniggalkan urusan dunia untuk sementara, diganti  dengan ibadah dan segala yang berbau akhirat. Tidak hanya di malam hari untuk ibadah, siang hari pun dihabiskan untuk ibadah dan perbuatan baik lainnya. Kepercayaan mereka akan hadis Nabi yang mengisyaratkan untuk mengencangkan sarung dan membangunkan anggota keluarga adalah perintah untuk sementara meninggalkan semua urusan dunia. Sebagian mereka kemudian ada yang meminta izin cuti kantor selama beberapa hari di akhir ramadhan.
Memang i’tikaf adalah ibadah dengan melakukan diam diri di masjid dalam waktu yang sangat lama. Di mana beberapa hal pun harus dilakukan oleh seseorang yang akan melakukan i’tikaf, sebelum i’tikaf ia harus niat beri’tikaf dan tidak melakukan hubungan selama i’tikaf di masjid, lain halnya di rumah. Tapi i’tikaf adalah perkara sunnah, bukan perkara wajib. Ia adalah anjuran bagi mereka yang berdiam diri di masjid dalam waktu yang lama, daripada berada di masjid tidak mendapatkan nilai apapun, maka lebih baik ia berniat untuk i’tikaf. Untuk bisa fokus beribadah, maka hanya dapat dilakukan di dalam masjid, sehingga harus berdiam diri di masjid, terutama dalam sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan.
Karena i’tikaf adalah perkara sunnah, maka setiap orang bebas untuk melakukannya atau tidak. Jika waktu memungkinkan dirinya untuk i’tikaf, maka akan lebih baik ia ber’atikaf. Tapi jika waktu tidak memungkinkan maka tidak apa-apa baginya mengambil separuh waktu untuk i’tikaf. Karena kemuliaan yang di cari pada sepuluh terakhir di malam hari, maka selama mungkin orang hendaknya dapat menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah kepada Allah. Akan sangat baik seperti apa yang dipraktekkan oleh para ulama’ terdahulu dengan ibadah sepanjang malam.
Oleh karena itu perkara sunnah tidak boleh dikedepankan daripada perkara wajib. Artinya i’tikaf dapat dilakukan selama tidak mengalahkan perkara-perkara wajib pada seseorang, seperti melakukan pekerjaan, menuntut ilmu, dan lain sebagainya. Seseorang tidak bisa meninggalkan belajar di sekolah pada siang hari karena alasan melakukan i’tikaf. Karena belajar adalah perkara wajib sedangkan i’tikaf adalah perkara sunnah. Atau begitu juga dengan bekerja adalah kewajiban seseorang kepada atasannya atau bawahannya, maka bekerja lebih diutamakan dari pada i’tikaf. Atau begitu juga dengan mereka yang bekerja di malam hari, tidak bisa meninggalkan pekerjaan wajibnya dengan perkara sunnah. Hal tersebut jika tidak memungkinkan untuk meluanglkan waktu beribadah di sepuluh malam terakhir dari Bulan Ramadhan.
Kalau pada malam hari akan sangat memungkinkan seseorang untuk ber’tikaf, karena pada siang harinya dipergunakan untuk bekerja. Karena Allah juga telah menyediakan dan menjadikan siang hari untuk bekerja dan malam hari untuk tidur dan beristirahat.
Kalaupun i’tikaf adalah perkara sunnah, tidak serta merta kemudian  tidak dilakukan sama sekali. Kesunnahan dari i’tikaf adalah kesunnahan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Karena kita tidak akan pernah menemukan di hari dan di malam lain lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Kadar kesunnahan dalam diri kita mungkin perlu ditingkatkan kualitasnya. Selama ini sunnah diartikan sebagai perkara yang dilakukan mendapatkan pahala dan jika tidak dilakukan tidak mendapatkan apa-apa, baik dosa maupun pahala. Maka selanjutnya sunnah harus dapat diartikan sebagai suatu perkerjaan ibadah yang dilakukan mendapatkan pahala dan tidak dilakukan mendapat dosa. Karena perkara sunnah, orang sering berpatokan pada kalau tidak melakukannyanya maka tidak apa-apa, bukan yang ditanamkan jika melakukannya mendapatkan pahala.
Perkara sunnah jika terus dilakukan akan menjadi potensi besar bagi seseorang untuk melakukan hal-hal besar. Tapi jika perkara sunnah terus dilalaikan, maka sedikit demi sedikit orang akan meinggalkannya dan tidak akan pernah melakukannya, bahkan bisa menjurus pada pelalaian perkara wajib. Padahal perkara-perkara mubah dalam keseharian kita sering diprioritaskan, sedangkan mubah kualitasnya lebih rendah lagi dari sunnah. Sama halnya dengan perbuatan dosa, tidak ada dosa kecil kalau selalu dilakukan, dan tidak ada dosa besar kalau seseorang selalu beristigfar dan bertobat darinya.
Oleh karena itu, kita harus memuali dari perkara-perkara sunnah yang kecil untuk membiasakan diri beribadah dengan perkara sunnah yang lebih besar dan wajib. tidak ada orang yang dapat melakukan hal besar secara langsung, tapi ia harus merangkak dari rendah secara perlahan agar menjadi kebiasaan dan menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Akhirnya, kita harus lebih cermat melihat perkara i’tikaf ini dengan melihat seberapa butuh kita kepadanya. Jika memmungkinkan untuk melakukan i’tikaf, maka akan lebih baik untuk i’tikaf. tapi jika tidak memungkinkan, maka cukup kita menghidupkan malam sepuluh terakhir dengan kemampunan kita melakukannya. Karena perbuatan baik tidak dituntut harus dilakukan, tapi sesuai dengan kemampuan seseorang untuk melakukannya. tapi melihat kebiasaan kita selama ini, pekerjaan sehari-hari dilakukan pada siang hari sedangkan mulai petang sudah tidak ada kegiatan, sehingga pada malam harinya dapat melakukan i’tikaf. Namun tentu semua orang mempunyai alasan untuk i’tikaf atau tidak, yang jelas i’tikaf adalah perkara sunnah yang dianjurkan dan bukan perkara wajib.
Kita yang membutuhkan Allah dengan balasan-balasan pada sepuluh terakhir dari ramadhan, maka kita yang menjemput, bukan menunggu dan mengharapakan panggilan dari Allah. Jika sangat butuh dengan janji lailatul qadar, maka harus meluangkan waktu bagaimana pun sempitnya. kalau tidak, maka kita hanya berharap dengan amalan-amalan yang ada untuk menghadap Allah subhanahu wata’ala. Wallahu ‘a’lam bi al-sawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama