KEPEMIMPINAN DALAM TIMBANGAN TEKSTUAL KHAZNAH KEISLAMAN


Kepemimpinan dalam kehidupan sosial manusia adalah kemestian, di samping setiap orang membutuhkan perlindungan dari yang lainnya, secara fitrah semua mahluk hidup tidak hanya manusia selalu hidup berkelompok, dan dalam kelompok ada satu yang menjadi panutan atau menjadi pemimpin. Keberadaan pemimpin bisa jadi karena kemampuannyanya yang melebihi dari yang lain, atau lebih kuat, tapi kadang juga dipilih oleh orang-rang tertentu dalam hubungan sosial kemasyarakatan dengan pertimbangan tertentu juga.
Binatang sendiri, secara tidak sadar mereka telah membuat kelompok-kelompok tersendiri dari satu spesies mereka, dan terpilih salah satu di antaranya menjadi pemimpin yang akan menjadi pedoman mereka dalam hidup. Kepemimpinan bintang pun tidak terbatas pada gender tertentu seperti jantan, tapi bisa juga betina. Taruh saja lebah misalnya, yang menjadi pemimpin dari mereka adalah induk betinanya, dan biasanya dengan ukuran yang lebih besar. Semua akan tunduk kepada pimpinannya, apa saja perintah dari pimpinan pasti diikuti, dan mereka setia untuk menjaga pimpinannya.
Jika pada binatang saja sudah secara naluri mereka berkelompok dan memilih satu orang pemimpin. Maka sangat tidak mungkin manusia untuk hidup sendiri dan tanpa ada pemimpin yang akan mengarahkan dan membimbing mereka.
Predikat sebagai “hayawanun natiq” (hewan yang bisa berbicara), manusia sendiri secara alami telah mengikuti pola-pola kepemimpinan dari hewan lainnya. Yang sangat menonjol adalah kekuatan yang dimiliki oleh pemimpin. Mereka yang menjadi pemimpin adalah mereka yang secara fisik kuat dan tidak tertandingi. Keadaan seperti itu menjadikan pemimpin menjadi orang yang paling berkuasa, dan tidak bisa diganggu-gugat oleh bawahan, atau hanya sekedar memberikan masukan dan arahan. Sikap-sikap diktator pun ditunjukkan oleh pemimpin-pemimpin di kalangan manusia. Kalau begitu, apa bedanya kepemimpinan binatang dengan manusia?, padahal mereka mempunyai kelebihan berbicara dan dapat berpikir sehingga dapat membedakan mana yang baik dan buruk.
Di satu sisi manusia telah terpilih oleh Tuhan untuk mengelola yang hidup dan yang mati di dunia ini.Manusia sudah diangakt sebagai pemimpin. Bahkan pernah diperebutkan oleh para malaikat dan menganggap diri merekalah yang pantas untuk menjadi pemimpin makhluk lainnya. Tapi pada saat makhluk yang lain diberikan beban, seperti gunung, tidak sanggup untuk membawa beban tersebut. akhirnya manusia menjadi pilihan bagi Tuhan untuk mengatur apa yang ada di bumi, tersembunyi maupun terlihat.
Dengan diangkatnya manusia menjadi penguasa di muka bumi, dan seiring perkembangan kebudayaan di dunia. Islam datang sebagai agama terakhir yang memberikah pencerahan kepada umat manusia. Tidak hanya pada tataran bertuhan, tapi kebudayaan manusia juga berkembang seiring dengan perkembangan Islam. dengan berkembangnya kebudayaan Islam, maka muncul disiplin-disiplin sosial yang mengahruskan seseorang memimpin dan dipimpin. Dimulai dengan kepemimpinan Nabi Muhammad, dilanjutkan oleh para khalifah dan digantikan dengan raja-raja pada masa kedinastian umat Islam.
Kepemimpinan dalam Islam dan untuk melegalkan kepemimpinan manusia, para ulama’ sering berlandaskan bahwa kepemimpinan dalam islam adalah kemestian sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur’an. Pada kata “khali>fah[1]adalah isyarat akan kepemimpinan dalam Islam. sedangkan dalam hadis nabi, dalil yang sering dipergunakan sebagai adanya kemestian kepemimpinan di dunia ini adalah hadis, “ kullukum ra>’in[2].
Dua term ini paling populer dan banyak dipergunakan dalam khazanah keislaman tentang kepemimpinan yang berkaitan dengan segala perilaku kehidupan, terutama dalam manajemen skala besar, mapun skala yang sangat kecil pada diri seseorang. Dan ini juga menjadi klaim kepemimpinan dalam manajemen islam, baik mereka yang bekuasa secara diktator sampai mereka yang memimpin atas nama agama dengan sebutan ulama>’, kebalikan dari umara>’.
Tapi pernahkan kita melihat kedua term itu sebagai sebuah makna yang berbeda, dan selama ini disamakan dalam kepemimpinan Islam. kata “khali>fah” dan kata “ra>’in” mempunyai perbedaan makna yang sangat jauh berbeda, sehingga akan menuntut sesuatu yang berbeda juga dalam kepemimpinan. Seperti perbedaan nama orang yang akan membawa perbedaan asal-muasalnya, dan perbedaan makna yang membawa kepada perilaku seeorang. Atau alam lahut tidak akan sama dengan alam nasut.
Memang, kepemimpinan dala konteks umum berangkat dari sesuatu yang wa>qi’ kepada al-nusu>s atau terotis, tapi dalam Islam sendiri, manusia dituntun oleh al-kitab yang berasal dari Allah Subhanahu wata’ala, maka berangkat dari sesuatu yang bersifat al-nu>sus (teoritis) akan memberikan makna yang berbeda pada wa>qi’nya (kenyataannya).
Hal ini perlu menjadi sebuah kajian, karena akan menjadi sebuah literatur dalam khazanah keilmuan keislaman. Dan dapat menjadi penimbang sesorang dalam memimpin, apakah kepemimpinannya memang seperti apa yang digariskan oleh sang khaliq dan utusannya, atau hanya sekedar ikut-ikutan dengan kebudayaan dari luar, dan hanya sebuah khazanah keislaman yang tidak sesuai dengan pesan Tuhan menjadikannya sebagai “rahmatan lil ‘<Alamin”.
Ini juga untuk agar seseorang tidak mengklaim dirinya sudah menjadi pelanjut nabi dalam kepemimpinannya dan bahkan sebagai pelanjut tangan Tuhan di muka bumi. Sehingga tetap bertahan, mereka yang tidak taat kepadanya adalah seorang bughat atau orang yang dalam islam dianggap sebagai orang yang ingin mengkudeta pemimpin islam dan mereka wajib dibunuh.
Di samping itu juga, dengan kajian ini akan memberikan sebuah batasan yang jelas makna kepemimpinann dalam islam dan khazznah keislaman , sehingga menjadi term tersendiri dengan maknanya yang spesifik tanpa atau mengadopsi dari term kepemimpinan yang selama ini manjadi landasan keilmuan keislaman. Dan paling penting dapat menjadi sebuah pemaknaan berbeda bagi kepemimpinan dalam manajemen Islam.


[1]Kata khalifah terdapat dalam surah al-baqarah ayat 30 “وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةًقَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ “, dalam Surah Shad ayat 26, “يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُم بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ “. Sedangkan dengan kata-kata “khalaif” ada dalam beberapa ayat, antara lain Surah Yunus ayat 14, Surah Yunus 73, Surah al-An’am 165, dan Surah Fathir 39.
[2]Hadis tentang ini ada dalam beberapa kitab hadis antara lain di dalam Sunan Abi Dawud hadis yang ke 2539 pada bab “ ma yalzamu al-Imam min haq al-ra’iyyah” hadis dari Abdullah ibn Umar. Begitu juga dalam Sunan al-Tirmidzi hadis yang ke 1627 dalam bab “ma ja’a fi al-Imam” dari Ibnu ‘Umar juga. Dalam shahih ibnu Hibban hadis yang ke 4489 dalam bab “dzikrul al-Akhba>r bi anna man ka>na tahta yadihi” juga dari Ibnu ‘Umar. Dari Ibnu ‘Umar juga dalam shaih al-Bukha>ri, hadis yang ke 844 pada bab “al-Jum’ah fi al-Qura>wa al-Mudun”. Begitu juga shahih muslim hadis yang ke 3408 bab “Fadi>latu al-Ima>m al-‘a>dil wa ‘Uqu>batun”. Dan dalam Musnad Imam Ahmad hadis yang ke 4266 dalam bab Musnad ‘Abdullah ibn Umar ibn al-Khatta>b.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama