PEMBENAHAN PELAKSANAAN HAJI


Sebagai penyempurna rukun islam yang kelima, ibadah haji adalah ibadah yang sangat dinanti-nanti oleh kaum muslimin. Bahkan mereka rela antri bertahun-tahun untuk dapat melaksanakan haji. Antusiasme masyarakat menunaikan ibadah haji ditandai dengan semakin terus bertambahnya masyarakat yang mendafatarkan diri sebagai calon jama’ah haji. Peminatnya pun tidak hanya kalangan orang perkotaan saja, bahkan sebagian besar dari jama’ah adalah masyarakat pedesaan dengan ekonomi dan penghasilan yang pas-pasan, tapi mereka rela menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk dapat menuanikan ibadah haji.

Dengan cost haji yang masih dianggap murah dan dengan DP (down payment) yang lumayan rendah membuat masyarakat kaum muslimin berbondong-bondong untuk mendaftar. Al-hasil pendaftar berjubel, tidak sesuai dengan kuota yang disediakan oleh pemerintah Arab Saudi untuk masyarkat Indonesia. Tapi untuk menampung keinginan masyarakat, kemenag terus menerima pendaftaran sampai waktu tunggu hingga 17 tahunan. Ini tentu waktu yang sangat panjang untuk mengantri mendapatkan waktu keberangkatan haji. Di satu sisi masyarakat juga rela menunggu sekian tahun lamanya, ketimbang tidak dapat. Menurut mereka dengan mendaftar sudah cukup menjadi niat untuk menyempurnakan rukun islam, jika tidak kesampaian dan ajal menjemput lebih dahulu, paling tidak mereka sudah berikhitiar dan berniat melaksanakan haji. Tiap-tiap daerah mempunyai masa tunggu yang bervariasi, tapi sebagian besar masa tunggu paling cepat selama 3 tahun, itu pun di daerah-daerah yang kondisi penduduknya tidak basis Islam, taruh saja seperti Bali dan Indonesia bagian timur di daerah Papua. secangkan di daerah-daerah dengan basis kaum muslimin mayoritas, hampir masa tunggu paling cepat 5 sampai 7 tahun lamanya.
Padatnya pendaftar haji dari tahun ke tahun membuat pemerintah, dalam hal ini Kemenag semakin pusing mengatur keberangkatan jama’ah. Pemerintah harus mengurus pendaftar reguler dan pendaftar non-reguler (eksekuitf) yang diurus oleh travel-travel haji dengan biaya lebih tinggi. Bertambahnya jumlah pendaftar dari tahun ke tahun membuat pemerintah berpikir, bagaimana mengatur jumlah pendaftar agar masa tunggu tidak terlalu lama dan kouta yang disediakan sesuai tidak melebihi. Sehingga pemerintah tidak susah melobi ke Arab Saudi untuk menambah kouta Indonesia. Beberapa terobosan pemerintah kemudian muncul, di antaranya tidak boleh lagi menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya bagi masyarakat yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Dari hasil pantauan Kemenag bahwa banyak di antara jama’ah haji yang berulang-ulang menuanikan ibadah haji, bahkan setiap tahunnya. Kondisi seperti ini membuat setiap tahunnya pendaftar terus bertambah dan menambah masa antrian. Karena mereka yang mempunyai uang lebih sudah megambil antrian, jadi mereka yang baru beberapa tahun lagi bisa mendaftar, harus mengantri sekian lama.
Selain membatasi mereka yang sudah pernah menunaikan ibadah haji, pemberangkatan haji dari tahun ke tahunnya diprioritaskan bagi mereka yang sudah usia lanjut. Dasar pemikirannya adalah, kalau mereka harus menunggu antrian sekian lama, maka besar kemungkinan mereka semakin lemah fisiknya atau bahkan dijemput ajal terlebih dahulu. Tapi tetap dengan aturan yang terdahulu, walaupun mereka sudah tua dan sudah pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya, maka yang diprioritaskan adalah mereka yang belum pernah sama sekali. Kebijakan ini memang ada baik dan buruknya. Bagi masyarakat yang betul-betul ingin menunaikan ibadah haji, karena pada saat itu mempunyai kemampuan untuk menunaikan ibadah haji maka akan sangat dirugikan. Terutama mereka yang masih dianggap lebih muda, padahal mereka mendaftar lebih dahulu. Atau kalau orang yang sudah sangat tua diberikan ruang untuk melaksanakan ibadah haji, apalagi di usia manula, maka resiko kematian dan sakit berat saat melaksanakan haji akan lebih besar. Tanggung jawab pemerintah pun lebih besar kepada mereka, harus mengurus kesehatan dan yang paling parah adalah ancaman kematian karena harus berdesakan dan berjubel melaksanakan rukun-rukun haji. Berita kematian dari jama’ah tua haji Indonesia setiap tahunnya terus bertambah, belum lagi mereka yang harus dirawat saat pelaksanaan haji. Ini tentu membawa akibat yang negatif dan kurang baik, sehingga mereka yang sudah manula sebaiknya tidak diberangkatkan ke tanah suci, karena ancaman kematian tersebut. Padahal mereka sudah masuk dalam kategori tidak mempunyai kemampuan (istito’ah) untuk berhaji. Kalaupun mereka tetap ingin menunaikan ibadah haji, maka cukup dengan badal haji sudah memenuhi syarat ia telah berhaji.
Tidak kalah penting juga adalah beberapa kemudahan yang diberikan oleh pihak bank bagi masyarakat yang ingin menunaikan ibadah haji dengan diberikan talangan haji. Artinya masyarakat diberikan pinjaman dari bank, yang selanjutnya pembayaran dilakukan setelah pelaksanaan haji. Ini sebenarnya sama dengan pinjaman uang ke bank, di mana pembebanan bunga menjadi keuntungan besar bagi bank kepada jama’ah haji. Keinginan pihak bank sebenarnya baik, tapi setelah mendapatkan talangan, masyarakat sangat dirugikan dengan mekanisme yang dibuat oleh pihak bank. Jika dilihat dari segi kemampuan, mereka yang mendapatkan talangan haji tidak termasuk dalam kategori istito’ah, karena harta yang dimiliki bukan harta kepemilikan penuh (milku al-tam). Harta yang dipakai untuk melaksanakan haji adalah harta pinjaman, dan harus dikembalikan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, pemerintah juga seharusnya memberikan perhatian kepada pihak bank yang memberikan talangan ini. Kalau memungkinkan tidak ada talangan haji sama sekali, agar masyarakat yang mendaftar haji tidak penuh dan mengantri sampai bertahun-tahun. Apalagi biasanya mereka yang mendapatkan talangan haji menggunakan jasa haji plus, yaitu lebih tinggi ketimbang jama’ah haji biasanya.
Pemerintah mempunyai kewenangan dalam melakukan pembatasan dan persyaratan, tanpa menghambat seseorang untuk menuanikan ibadah haji. Di mana syarat mendafatarkan diri adalah harta yang dimiliki adalah harta kepemilikan penuh dan ada harta yang ditinggalkan untuk keluarga, paling tidak beberapa persen dari ongkos naik haji yang ditetapkan pemerintah. Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat yang menunaikan ibadah haji. Di samping sebagai upaya untuk pembenahan masa tunggu dan membludaknya pendaftar, juga sebagai pembelajaran akan pentingnya mendahulukan kepentingan keluarga daripada kepentingan pribadi untuk berhaji.
Apa yang dilakukan pemerintah dengan menaikkan DP (down payment) ongkos naik haji, atau setoran awal untuk bisa terdaftar sebagai calon jama’ah haji dari Rp. 25.000.000 menjadi Rp. 30.000.000 memang sedikit baik. Karena beberapa jama’ah haji menganggap setoran awal saat ini masih bisa terjangkau oleh masyarakat. Dengan naik beberapa persen, maka dieprkirakan mereka yang mendaftar sedikit berkurang. Tapi lagi sekali, masyarakat sudah menganggap ibadah haji sebagai ibadah prestesius dan penyempurna rukun islam, maka sebesar apapun dan setinggi apapun harga yang ditetapkan oleh pemerintah bukan menjadi masalah bagi masyarakat. Apalagi dengan keberadaan bank yang bisa memberikan pinjaman sebayak-banyaknya. Taruh saja seperti mereka yang menjadi pegawai negeri, cukup dengan SK sebagai jaminan sudah bisa mendapatkan pinjaman yang besar. pada sisi ini mungkin perlu perbaikan agar masyarakat tidak sembarangan untuk meminjam uang hanya untuk melaksanakan haji.
Kemudian, ibadah haji ini adalah ibadah yang memerlukan kekuatan fisik dan psikis, jasmani dan rohani. Untuk itu ibadah haji seharusnya ditata dengan baik, dari awal keberangkatan sampai kembali ke tanah. air. Sering menjadi permasalahan berulang-ulang setiap tahunnya adalah masalah fasilitas yang diberikan pemerintah bagi jama’ah haji, terutama penginapan. Bukan masalah tempat tidur, karena mereka tidur di hotel dengan fasilitas lumayan baik. Yang menjadi masalah adalah jarak penginapan dengan masjidil haram yang sangat jauh dari jama’ah haji, bisa mencapai 7 kiloan, paling dekat 2 kiloan. Bandingkan dengan jama’ah haji dari negara lain, jarak tempuhnya paling jauh 1 kiloaan, bahkan ada di antara mereka yang penginapannya beberapa meter saja dari pintu masjidil haram.
Bagaimana masyarakat bisa beribadah dengan baik di luar ritual haji yang dilakukan secara bersama-sama. Untuk dapat shalat ke masjidil haram saja harus berkendara dan bahkan mungkin ada di antara mereka yang berjalan menuju masjidil haram. Ini tentu menguras energi dan bagi mereka yang sudah tua akan sangat susah bisa melakukannya. Maka berdiam diri di penginapan menjadi solusi terakhir, padahal mereka melaksanakan haji untuk dapat melaksanak`n ibadah sebanyak-banyaknya di masjidil haram dan bisa melakukan tawaf setiap saat.
Pemerintah jangan hanya mementingkan murahnya penginapan bagi jama’ah haji tapi jauh. Tidak apa-apa lebih mahal tapi jarak penginapan dan masjidil haram tidak terlalu jauh, agar ruh dan cita-cita jama’ah dapat memaksimalkan ibadah tercapai. Walaupun tentunya sepanjang jalan penginapan ke masjidil haram ramai, tapi untuk mencapainya diperlukan kemudahan.
Masalah yang sering terjadi juga adalah masalah katering makanan yang dipersiapkan untuk jama’ah haji. Seperti satu tahun atau dua tahun yang lalu, di mana ada pembedaan katering jama’ah haji dari satu daerah dengan daerah lainnya dan sedikit menyebabkan memberikan insiden perkelahian antara jama’ah haji. Jika sudah seperti ini kondisinya, maka nilai-nilai yang terkandung dalam pelaksanaan haji akan sirna. Hanya berebut menu makanan menjadikan mereka berselisih dan berkelahi. Beberapa pihak kemudian mengkritik pemerintah yang ingin menghandel semua kegiatan jama’ah haji. Padahal seharusnya pemerintah tidak perlu mengurusi masalah katering, cukuplah pihak swasta diberikan wewenang untuk mengurusnya agar lebih efektif dan dapat disesuaikan dengan selera jama’ah haji.
Sebenarnya, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah dalam pelaksanaan haji. Tidak hanya sekedar mencari keuntungan besar agar dana abadi umat juga semakin besar. Fasilitas dan pelayanan harus mampu diperbaiki, dari semenjak keberangkatan sampai balik ke rumah masing-masing. Sehingga pelaksanaan haji setiap tahunnya lancar dan baik-baik saja. Akhirnya niat baik dari masyarakat untuk melaksanakan ibadah haji menjadi ibadah yang berkualitas dan mereka dapat haji yang mabrur. Wallahu ‘a’lam bi al-shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama