PENDIDIKAN ANAK DALAM ISLAM



I.              PENDAHULUAN
Pendidikan atau Tarbiyah merupakan masdar dari rabba – yurabbiy – tarbiyatan, yang artinya Mendidik. Mendidik merupakan salah satu langkah yang penting untuk membentuk insan yang kamil. Dengan pendidikan suatu bangsa akan menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.
Kata tarbiyah digunakan untuk mengungkapkan pekerjaan orang tua yang mengasuh anaknya sewaktu kecil. Pengasuhan itu meliputi pekerjaan menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang baligh, mengembangkan seluruh potensi dan kesiapan anak yang bermacam – macam yaitu dengan keterampilan, dan memberikan pendidikan.[1]
Bagaimana kondisi anak ketika lahir atau dalam keadaan yang bagaimana anak itu?. Apa saja yang harus dilakukan orang tua terhadap anak yang baru lahir?. Keterampilan apa yang harus diberikan?, agar setelah anak menjadi dewasa sudah terbekali, dan pendidikan agama yang bagaimana yang harus orang tua berikan?. Maka, makalah kali ini akan membahas masalah – masalah diatas,  hadits.
II.          HADIST
A.      Hadits Abu Hurairan Tentan Anak Lahir Atas Dasar Fitrah.
عَنْ أبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَ بَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أوْيُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ثُمَّ يَقُوْلُ آَبُوْ هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ (فِطْرَةَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ( أخرجه البخاري في كتاب الجنائز )[2]
“Dari (Abu) Hurairah ra. Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. kedua orang tua nyalah yang akan menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian abu hurairah ra. berkata : “fitrah Allah dimana manusia telah diciptakan tak ada perubahan pada fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus”  (HR al-bukhari dalam kitab jenazah).
B.       Hadits Samurah Tentang Hal-Hal Yang Dilakukan Terhadap Anak Yang Baru Lahir.
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ ( أخرجه الترمذي في كتاب الاضاحي )[3]  
“Dari Samurah RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “(setiap) anak kecil ( belum baligh ) tergadai (dan) ditebus dengan mengakikahkannya, disembelih hewan pada hari ketujuh lahirnya, diberi nama dan dicukur rambutnya”. (HR At-tirmidzi dalam Kitab kurban).
C.       Hadits Abi Rafi’ Tentang Pendidikan Fisik Atau Keterampilan.
عَنْ أَبِيْ رَافِعٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلِلْوَلَدِ عَلَيْنَا حَقٌّ كَحَقِّنَا عَلَيْهِمْ قَالَ نَعَمْ حَقُّ الْوَلَدِ عَلَى الْوَالِدِ أَنْ يُعَلِّمَهُ الْكِتَابَةَ وَالسِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ ( الرِّمَايَةَ ) وَأَنْ يُوَرِّثَهُ ( وَأَنْ لَا يَرْزُقَهُ إِلَّا ) طَيِّبًا ( هَذَا حَدِيْثٌ ضَعِيْفٌ , مِنْ شُيُوْخٍ بَقِيَّةٍ مُنْكَرِ الْحَدِيْثِ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ مُعِيْنٍ وَالْبُخَارِي وَغَيْرُهُمَا بَابُ ارْتِبَاطِ الْخَيْلِ عِدَةً فِيْ سَبِيْلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَ )[4]
  "Dari Abi Rafi’ dia berkata: aku berkata: wahai RasulAllah apakah ada kewajiban kita terhadap anak, seperti kewajiban mereka terhadap kita?, beliau menjawab: ya, kewajiban orang tua terhadap anak yaitu mengajarkan menulis, berenang, memanah, mewariskan dan tidak memberikan rizki kecuali yang baik”. (hadits ini dhoif, dari beberapa syeikh yang diingkari haditsnya. Di dhoifkan oleh Yahya bin Mu’in, al-Bukhari dan lainya. Bab mengikat kuda untuk berperang dijalan Allah azza wajalla).
D.      Hadits Amr Bin Syu’aib Tentang Pendidikan Shalat Terhadap Anak Usia Tujuh Tahun.

عَنْ عَمْرٍو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُم أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ ( أخرج ابوداود في كتاب الصلاة )[5] 
Dari ‘Amar bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “perintahlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan pisahlah tempat tidur mereka (laki-laki dan perempuan)!”. (HR.Abu Daud dalam kitab sholat)”.
III.        PEMBAHASAN
A.    Anak Lahir Atas Dasar Fitrah
Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci, artinya, selamatnya watak atau sifat dan bersihnya akal dari hal-hal yang menjauhkannya dari menerima agama Islam, seperti adanya keserupaan yang memalingkan ataupun mengikuti sesuatu yang mencegahnya untuk menerima kebenaran.[6]Lalu orang tuanya membuatnya yahudi atau nasrani dengan mengajarkan agama tersebut kepada anak dan membuat anak senang terhadap agama itu atau anak tersebut mengikuti kepada orang tuanya, dan secara hukum dunia agama anak itu mengikuti kedua orang tuanya.[7]
Islam itu luhur dan tidak ada yang lebih luhur darinya. Oleh karena apabila ada seorang anak kecil, yang salah satu orang tuanya memeluk Islam dan yang lainya tidak memeluk Islam, maka anaknya ikut pada orang tuanya yang memeluk Islam. Karena orang tua yang Islam lebih berhak atas anak.[8]Walaupun orang tuanya yang muslim adalah ibunya. Hal ini sesuai dengan hadist Ibnu Abbas.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِى اللهُ عَنْهُمَا يَقُوْلُ كُنْتُ أَنَا وَاُمِى مِنَ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ أَنَا مِنَ الْوِلْدَانِ وَأُمِّيْ مِنَ النِّسَاءِ ( رَوَاهُ البخاري )[9]
dari Ibnu Abbas ra. Berkata: dahulu aku dan ibuku termasuk orang-orang yang lemah, aku golongan anak-anak dan aku perempuan. (HR. Bukhari).
Pada saat itu ayah dari Ibnu Abbas yaitu Abbas yang merupakan paman Nabi belum memeluk Islam, ia masuk Islam setelah perang badar. Hal ini menunjukkan bahwa Islamnya Ibnu Abbas itu dianggap sah. Oleh karena itu, apabila ada anak kecil yang memeluk Islam mati, menurut Jumhur Ulama dia wajib disholati, sehingga bayi yang gugur ( lahir dalam keadaan mati).[10]
B.     Hal – Hal Yang Dilakukan Terhadap Anak Yang Baru Lahir
1.    Aqiqah
Pemahaman Aqiqah – Kata “Aqiqah“ berasal dari bahasa arab. Secara etimologi, ia berarti ‘memutus’. “Aqqa walidyahi”, artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya. Dalam istilah, ‘aqiqah berarti “menyembelih kambing pada hari ketujuh (dari kelahiran seorang bayi) sebagai ungkapan rasa syukur atas rahmat Allah swt berupa kelahiran seorang anak”, atau hari kelipatannya.
Beberapa ulama seperti Imam Hasan Al-Bashri, juga Imam Lain  berpendapat bahwa hukum ‘Aqiqah adalah wajib. Pendapat ini berdasarkan atas salah satu Hadits di atas, “Kullu ghulamin murtahanun bi ‘aqiqatihi’ artinya (setiap anak tertuntut dengan ‘Aqiqah-nya), mereka berpendapat bahwa Hadits ini menunjukkan dalil wajibnya ‘Aqiqah dan menafsirkan Hadits ini bahwa seorang anak tertahan syafaatnya bagi orang tuanya  hingga ia di aqiqahi. Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya ‘Aqiqah, tetapi penapat ini tidak  berdasar sama sekali.
 Dengan demikian, pendapat mayoritas ulama lebih utama untuk diterima karena dalil-dalilnya, bahwa ‘ aqiqah adalah sunat muakadah. Imam Syafei, Abu Tsaur, Ahmad, dan Daud berpendapat bahwa, akikah anak laki-laki dua kali lipat akikah anak perempuan, yaitu dua ekor kambing. Daging sembelihan akikah dibagikan dalam bentuk sudah dimasak kepada fakir miskin. Yang lebih baik diantar kerumahnya masing-masing, agar menghindarkan rasa rendah diri dan yang melakukannya merasa beribadat benar-benar. Khalifah Abu Bakar, Umar dan lain-lain mengantarkan bagian fakir miskin ketempat mereka. Islam dan Rasulullah SAW menyuruh menutupi malu sesama muslim, sesuai dengan hati nurani serta kemanusiaan yang murni.[11]
Imam Malik mengatakan: boleh sesudahnya; dan kata beliau: barang siapa yang mati ( anak yang mati ) sebelum hari ketujuh itu, maka gugurlah kewajiban mengakikahinya.
2.    Memotong Rambut
Maksudnya bahwa anak itu tergadai dengan kotoran rambutnya; itulah Nabi SAW, bersabda: “hilangkanlah dari kepalanya, ( dengan mencukur rambutnya ). Rasulullah memberi petunjuk kepada anaknya Fatimah untuk melakukan pencukuran rambutnya dan bersedekah perak seberat rambutnya.[12]Dari hadits diatas “ yulaqu” ( dicukur ) menjadi dalil adanya ajaran cukur rambut anak pada hari ketujuh. Dan menurut zhohirnya, bersifat umum bagi pencukuran rambut anak lelaki dan perempuan.  
3.    Memberi Nama
Seyogyanya dipilih nama yang baik bagi anak, nama yang akan diberikan  diusahakan sebagus mungkin. Rasulullah SAW bersabda: “nanti pada saat kiamat, kalian akan dipanggil sesuai nama kalian dan bapak kalian, karena itu baguskanlah namamu”.
 Nabi SAW, biasanya merubah atau mengganti nama yang jelek. Sebaiknya pemberian nama itu adalah dengan nama Nabi. Nama yang paling dicintai Allah adalah: Abdullah, Abdur Rahman, dan lainya; yaitu nama yang diambil dari Asma’aul Husna dengan tambahan, karena memberi nama anak sama persis dengan nama Allah atau sifatNya itu tidak boleh.[13]
C.     Pendidikan Fisik Atau Keterampilan
Hidup ini adalah perjuangan yang terus menerus, melawan segala kesukaran dan penderitaan yang tiada terhitung dan yang senantiasa muncul silih berganti. Tidaklah mungkin kita sukses mencapai kemenangan di dalam hidup yang sengit itu kecuali kalau kita percaya pada tenaga kita sendiri tanpa bersandar kepada orang lain.[14]
Umat islam pada zaman dahulu terbiasa memanah. Memanah adalah salah satu persiapan untuk jihad. Kekuatan fisik sangatlah penting. Nabi menganjurkn kepada kita untuk mempersiapkan kekuatan kita semaksimal mungkin, hal ini sesuai dengan hadits.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍاْلجُهَنِيْ رَضِى اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ وَاَعِدُّوَا لَهُمْ مَااسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ اَلاَ اِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ ( رواه مسلم )
”Dari Uqbah ibn Amir Al-Juhaini RA,ia berkata: Saya mendengar Rasululah SAW sewaktu beliau berada di atas mimbar bersabda:: persiapkanlah kekuatanmu semaksimal mungkin untuk menghadapi mungsuh. Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu adalah kepandaian memanah; ingatlah sesungguhnya kekuatan itu adalah kepandaian memanah; ingatlah sesunggguhnya kekuaatan itu adalah kepandaian memanah.(HR. Muslim)[15]

Mendidik fisik dan keterampilan pada anak yaitu melatih mereka mandiri, agar tidak bergantung pada orang lain di kemudian hari. Maka orang tua diwajibkan untuk memberi bekal keterampilan kepada anak.
D.    Pendidikan Shalat Terhadap Anak
 Menurut Imam Al-Alqimi Syekh Azudin Abd. Salam bahwa anak kecil tidak terkena khitob. Beliau menjelaskan bahwa perintah atau tugas orang tua kepada anaknya adalah memerintahkan untuk melakukan shalat. Hal ini didukung oleh An-Nawawi yang berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan tanpa ada khilaf(semua ulama’ sepakat). Orang tua atau wali memerintahkan shalat kepada anaknya hukumnya adalah wajib. [16]Yang dimaksud memerintah disini adalah mengajarkan mereka tentang sesuatu yang dibutuhkan dalam shalat seperti syarat dan rukunnya. Setelah itu orang tua wajib memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat. Apabila orang tuanya tidak bisa memberikan pengajaran dan membebankan kepada orang lain, maka upah pengajarannya bisa diambilkan dari harta anaknya (jika ia mempunyai) dan jika anak tidak mempunyai harta berarti upah dibebankan kepada orang tua tersebut.
Pada usia tujuh tsahun anak diperintahkan untuk shalat agar mereka terbiasa dan merasa nyaman melakukan shalat. Setelah sampai usia sepuluh tahun orang tua boleh memukul ketika anak meninggalkan shalat karena mereka sudah baligh atau mendekati baligh. Adapun diperbolehkannya memukul terhadap  anak  usia sepuluh tahun karena pada usia tersebut merupakan batas usia seorang   anak sudah bisa atau tahan menerima pukulan. Pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak menghindari wajah.
Imam Manawi dalam kitab Fathul Qadir syarh Jam’u Al-Shaghir memerintahkan orang tua untuk memisahkan tempat tidur anak-anaknya ketika usia mereka mencapai sepuluh tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga anak-anak dari burukya syahwat meskipun perempuan. At-Tibi menegaskan bahwwa memerintah shalat dan memisahkan tempat tidur anak pada usia tersebut adalah unttuk mendidik dan memelihara mereka terhadap semua perintah Allah.
Al-Khitoby,dari sabda Rasul menjelaskan bahwa perintah memukul anak ketika meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun menunjukkan bahwa hukum bersifat keras. [17]Sebagian ahli fiqih madzhab Syafi’I menjadikan dasar hadits nabi tersebut dalam kewajiban membunuh anak ketika ia meninggalkan shalat dalam keadaan sengaja setelah baligh. Mereka beerpendapat bahwa jika anak berhak dipukul sebelum baligh, maka dapat disimpulkan bahwa setelah baligh mereka berhak mendapatkan hukuman yang lebih berat dari pada itu, dan tidak ada sesuatu yang lebih kejam dari membunuh sebagaimana yang diucapkan para ulama’ setelah memukul. Terdapat beberapa pendapat pada hukum orang yang meninggalkan shalat. Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat boleh dibunuh. Sedangkan Makhul menganjurkan kepada anak yang meninggalkan shalat untuk melakukan taubat. Apabila mereka bertaubat, mereka haram dibunuh namun bila mereka tidak bertaubat mereka berhak dibunuh.
Pendapat diatas sesuai dengan Khamad ibn Yazid dan Waki’I ibn Jarroh. Abu Hanifah berkata: “tidak dibunuh anak yang meninggalkan shalat, melainkan dipukul dan dipenjara.” Segolongan ulama’ menyatakan bahwa seseorang yang meninggalkan shalat sampai lewat waktunya tanpa suatu halangan adalah kafir. Adapun hambali berkata: “seseorang tidak kufur sebab dosa kecuali meninggalkan shalat karena sengaja.” Mereka berhujjah pada hadits Jabir ibn Abdullah dari nabi SAW bahwa tidak penghalang antara hamba dan kekufuran kecuali  meninggalkan shalat.[18]


[1] Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: AMZAH, 2010 ), hlm.23.
[2] Ibi Hasan  Nuruddin, Muhammad ibni Abdul Hadi Assindi, Shahih Bukhari, ( Lebanon: Darul Kutub Al-ilmiah, 2008) hlm. 457.
 [3] Abi Isa, Muhammad ibnu Isa bin Saurah at-Turmudzi, Sunan al- Turmudzi, ( Lebanon: Darul Fiqr, 1994 ) hlm. 177.
[4] Ahmad bin al-Husain  bin Ali bin Musa Abu Bakar al-Baihaqy, al-Sunan al Kubra,(Lebanon: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, cet.4, 2010), hlm.26.
[5] Ibi Daud Sulaiman bin Asy’ats al Sijistani al Azdi, Sunan Abi Daud, ( Lebanon: Darul Fiqr, 1994 ), hlm. 197.
[6] Ibi Hasan  Nuruddin, Muhammad ibni Abdul Hadi Assindi, ShahihBukhari..., hlm. 457.
[7] Abil Abbas Ahmad bin muhammad as Syafi’i al Asqalani, Irsyadu al-Sary juz 3, ( Beirut: Dar al-Kutub ilmiyah, tth. ), hlm.450
[8] Ahmad bin Ali bin hajar Al asqalani, Fathulbari’,juz 3 (Beirut: Darul fikr, tth. ), hlm.20
[9] Ibi Hasan  Nuruddin, Muhammad ibni Abdul Hadi Assindi, Shahih Bukhar...,hlm. 457.
[10] Ahmad bin Ali bin hajar Al asqalani, Fathulbari’..., hlm. 221-222.
[11] Masyhur Kahar, Bulughul Maram, jilid II, ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm.303-304.
[12] Abubakar Muhammad, Hadits Tarbiyah,( Surabaya: al – Ikhlas, 1995 ), hlm.111.
[13] Abubakar Muhammad, Hadits Tarbiyah...,hlm.114-116.
[14] Zaenal Abidin Ahmad, Memperkembang danMempertahankan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,1976 ), hlm:19.
[15] Achmad Sunarto, Menuju Pribadi Yang Shaleh (Terjemah Mukhtashar Riyadlush Shalihin), ( Surabaya: Media Idaman, 1991 ) hlm. 241-242.
[16]Muhammad Syamsul Haq al Adzim Abadi, Aunul Ma’Bud juz 2 (Ttp: al Maktabah as Salafiah, Tth ) hlm.162
[17] Muhammad Syamsul Haq al Adzim Abadi, Aunul..., hlm.163
[18] Muhammad Syamsul Haq al Adzim Abadi, Aunul..., hlm 163

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama