KEDATANGAN BANGSA BARAT KE NUSANTARA SERTA REAKSI PARA RAJA TERHADAP PENETRASI BARAT

I.         Pendahuluan
Hindia Timur atau Indonesia telah lama dikenal sebagai daerah penghasil rempah-rempah seperti vanili, lada, dan cengkeh. Rempah-rempah ini digunakan untuk mengawetkan makanan, bumbu masakan, bahkan obat. Karena kegunaannya, rempah-rempah ini sangat laku di pasaran dan harganya pun mahal. Hal ini mendorong para pedagang Asia Barat datang dan memonopoli perdagangan rempah-rempah. Mereka membeli bahan-bahan ini dari para petani di Indonesia dan menjualnya kepada para pedagang Eropa.
Namun, jatuhnya Konstantinopel pada tahun 1453 ke Turki Utsmani mengakibatkan pasokan rempah-rempah ke wilayah Eropa terputus. Hal ini dikarenakan boikot yang dilakukan oleh Turki Utsmani kepada bangsa Eropa. Situasi ini mendorong orang-orang Eropa menjelajahi jalur pelayaran ke wilayah yang banyak memiliki bahan rempah-rempah, termasuk kepulauan Nusantara (Indonesia). Dalam perkembangannya, mereka tidak saja berdagang, tetapi juga menguasai sumber rempah-rempah di negara penghasil. Sejak saat itu dimulailah era kolonialisasi Barat di Indonesia.

II.      Rumusan Masalah
      A.    Imperialisme Bangsa Barat Terhadap Dunia Islam
      B.     Kedatangan Bangsa Barat ke Nusantara
C.     Reaksi Para Raja Terhadap Penetrasi Barat
 
III.   Pembahasan
A.  Imperialisme Bangsa Barat Terhadap Dunia Islam
Kelemahan dan kemunduran dunia Islam dimanfaatkan oleh bangsa-bangsa Barat untuk bangkit dan bergerak menuju ke arah negara-negara Islam serta menguasai dan menjajahnya. Motivasi mereka datang ke negara-negara Islam adalah motivasi ekonomi, politik, dan agama. Hal tersebut dapat terlihat dari cara-cara mereka datang untuk pertama kali ke negara-negara Islam. Mereka datang dengan dalih untuk berdagang atau mencari rempah-rempah di Timur. Akhirnya mereka terangsang oleh keuntungan besar dan ambisi yang kuat, sehingga muncullah keinginan untuk menguasai semua sistem ekonomi dan politik negara-negara Islam yang dikuasainya.
Setelah bangsa Barat menguasai ekonomi dan politik negara-negara Islam, terdapat negara Barat yang menjajah dunia Islam yang melakukan penyebaran agama Kristen melalui missionariesatau zending. Penjajahan bangsa Barat yang di pelopori Spanyol dan Portugis mempunyai tujuan yang hampir sama, yaitu di samping mencari daerah penanaman modal asingnya, mereka juga berusaha menyebarkan agama Kristen di wilayah jajahannya. Walaupun usahanya tidak segencar yang dilakukan Spanyol dan Portugis yang bersemboyan: Gold yaitu semangat untuk mencari keuntungan besar (emas), Glory yaitu semangat untuk mencapai kejayaan dalam bidang kekuasaan, dan Gospel yaitu semangat menyebarkan agama Kristen di masyarakat yang terjajah.
Selain itu, kedatangan bangsa Barat ke negara-negara Islam, terutama negara-negara yang subur dan kaya hasil rempah-rempahnya seperti Indonesia, Malaka, dan Hindia, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan serta mengeruk kekayaan hasil buminya, tetapi juga bertujuan menguasai seluruh sistem yang ada baik sistem ekonomi, politik, budaya, pendidikan, agama, dan lain-lain.[1]
Akhirnya banyak negara Islam yang jatuh ke tangan penjajah berbangsa Barat. Umat Islam terbelenggu, hak kemanusiaannya terinjak-injak, negara ekonominya dirampas, serta umat Islam tidak boleh menjalankan ajaran agamanya. Dengan demikian, jelaslah motivasi Bangsa barat Menjajah ke negara-negara Islam tidak hanya semata-mata untuk mengeruk kekayaan negara Islam di bidang ekonomi, tetapi juga untuk menekan pengaruh Islam dan mengembangkan agama Kristen di negara-negara Islam. Budaya negara-negara Islam yang terjajah, diusahakan di rubah menjadi budaya bangsa Barat, dan bukannya budaya yang bercorak Islam. Sehingga dengan demikian, pola hidup dan pemikiran umat Islam dapat mengarah kepada kehendak bangsa Barat yang menjajahnya. Kelemahan umat Islam terjadi dari abad ke-17 M hingga abad ke-20 M, dimana pada abad tersebut bangsa Barat dapat menguasai dan merebut negara-negara Islam.[2]
B.     Kedatangan Bangsa Barat ke Nusantara
Pada abad ke-16 mulai terdapat suasana baru di perairan Indonesia. Selama berabad-abad perairan Nusantara hanya di layari oleh kapal-kapal dari Indonesia dan Asia, seperti Cina, Peru, Gujarat, Benggala, Persia, dan Arab. Tetapi sejak abad ke-16 di perairan Nusantara muncul pelaut-pelaut dari Eropa. Kemajuan ilmu dan teknik pelayaran, menyebabkan pelaut-pelaut Eropa itu mampu berlayar dengan menggunakan kapal sampai perairan Indonesia.[3]
Perkembangan dan pertumbuhan Islam di Indonesia menyebabkan berdirinya kerajaan Islam. Kemudian karena Indonesia kaya raya, maka datanglah bangsa-bangsa Barat, di antaranya Portugis di tahun 1512, kemudian di susul Spanyol di tahun 1521, lalu Prancis pada tahun 1529, dan Belanda pada tahun 1596, baru Inggris datang kemudian.[4]
Orang Portugislah yang mula-mula muncul di Indonesia. Kedatangan mereka disebabkan beberapa faktor yaitu dorongan ekonomi, mereka ingin dapat keuntungan besar dengan berniaga. Mereka ingin membeli rempah-rempah di Maluku dengan harga rendah dan menjualnya di Eropa dengan harga tinggi. Faktor lain yaitu hasrat untuk menyebarkan agama  Kristen dan melawan orang Islam. Selain itu hasrat berpetualang yang timbul karena sikap hidup yang dinamis. Pelaut-pelaut Portugis itu ingin melihat dunia di luar tanah airnya.
Kemudian perairan Indonesia kedatangan orang Eropa lainnya yaitu orang Belanda, Inggris, Denmark, dan Prancis. Pelaut-pelaut Belanda dan Inggris secara bergantian tiba di Indonesia. Maksud kedatangan orang Belanda dan Inggris ke Indonesia tidak berbeda dengan Portugis dan Spanyol, yaitu ingin memperoleh rempah-rempah dengan murah.
Kedatangan bangsa Portugis di Nusantara dipermudah oleh kondisi waktu itu terutama adanya kevakuman kekuasaan di Nusantara dan pertentangan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang saling berebut hegemoni. Pertentangan inilah yang dimanfaatkan Spanyol dan Portugis dengan dalih bersekutu mereka mengadu domba di antara kerajaan-kerajaan kecil tersebut untuk saling bermusuhan.[5]
Pada masa Belanda, setelah kompeni dikepalai oleh Gubernur Jendral J.P. Coen, maka tujuan mereka semakin jelas, yakni mengusai perdagangan  rempah-rempah di Indonesia, secara sendirian maupun monopoli. Dalam upaya melaksanakan monopoli, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Kompeni mulai menguasai beberapa wilayah. Praktek sedemikian itu merugikan kerajaan-kerajaan di Indonesia, sehingga di mana-mana timbul perlawanan terhadap kompeni.[6]
C.     Reaksi Para Raja Terhadap penetrasi Barat
Sedikit perlawanan terhadap Belanda terjadi di Mataram, ketika itu pada tahun 1618 M. Sultan Agung dapat menguasai Jawa Timur. Dan di masa pemerintahannya kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan Belanda mulai terjadi. Di lain pihak, di Banten pada masa Abdul Fath (wafat 1651 M), terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dan Belanda yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M.
Pada saat itu terjadi empat perlawanan terbesar dan terlama, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Perang Paderi di Minangkabau
Gerakan Paderi yang terbentuk dengan kedatangan tiga Haji terkenal dari Makkah pada awal abad ke 19, dipengaruhi secara mendalam oleh sukses gerakan Wahabi di Arab pada masa itu. Setelah takluknya Minangkabau akibat perang Paderi kebijakan Belanda mencoba menahan pengaruh para guru agama dengan mengasingkan mereka sejauh mungkin.[7]
Namun tak lama kemudian terjadi peperangan antara kaum adat dan Belanda. Peperangan pertama Belanda gagal, sehingga Belanda mengajak perdamaian melalui perjanjian pada 22 Januari 1824. Namun Belanda mengkhianatinya. Begitu pula peperangan selanjutnya Belanda juga gagal dan mengadakan perjanjian damai 15 September 1825, namun Belanda mengkhianati lagi. Sesampai pada perjanjian damai yang dikenal dengan plakat panjang, 23 Oktober 1833, kaum Paderi menolak dan tidak percaya lagi. Dan pada 16 Agustus 1837 Belanda menyerang Bonjol dan akhirnya Bonjol dapat diduduki dan tokoh Imam Bonjol diasingkan ke Cianjur, lalu Ambon dan sampai meninggal di Manado.
2.    Perang Diponegoro
Perang Diponegoro adalah perang terbesar yang dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Peristiwa yang memicu peperangan Diponegoro adalah rencana Belanda untuk membuat jalan yang menerobos tanah milik Pangeran Diponegoro dan harus membongkar makam. Pada tahun 1825 Pangeran Diponegoro bangkit dan berontak melawan Belanda menggunakan taktik gerilya, dimana pasukan Belanda dikepung oleh prajurit Pangeran Diponegoro di Yogya.
Pada tahun 1826 banyak korban berguguran di pihak Belanda dan pihak Belanda memperkuat diri dengan membangun benteng untuk mempersempit gerak tentara Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1827 Pangeran Diponegoro ditawan karena beliau membangkang untuk berunding dengan Belanda dan akhirnya tahun 1830 dibuang ke Manado, lalu tahun 1834 pindah ke Ujung Pandang, Makasar dan meninggal dalam usia 70 tahun pada 8 Januari 1855.[8]
3.    Perang Banjarmasin
Perang Banjarmasin yang dipimpin oleh Pangeran Antasari dilatarbelakangi oleh campur tangan Belanda dalam menentukan siapa yang akan menjadi Raja Muda pengganti Sultan Adam Alwasik Billah yang sudah tua. Jabatan itu diserahkan pada putranya bernama Abdurrahman tetapi dia tidak berumur panjang. Karena itu ia memilih cucunya Pangeran Hidayat. Tetapi Belanda tidak menyetujui pemilihan Sultan itu dan lebih berpihak kepada Pangeran Tamjid, cucu Sultan yang dari seorang selir.
Pengangkatan Pangeran Tamjid menjadi Sultan menimbulkan kekecewaan dikalangkan rakyat. Akibatnya timbul kericuhan di wilayah kerajaan Banjarmasin. Dari kerajaan itu Belanda kembali memasuki persoalan politik untuk mengambil keuntungan yang lebih besar. Ketika itulah perang Banjarmasin dimulai, Andresen yang didatangkan dari Batavia menyimpulkan, bahwa Sultan Tamjid sumber kericuhan. Dan akhirnya diturunkan dari tahta dan kekuasaannya diambil alih oleh Belanda
Pengambilalihan kekuasaan itu mengalihkan penentangan rakyat yang semula ditujukan untuk Sultan Tamjid menjadi kepada Belanda. Perlawanan ini dipimpin Pangeran Antasari dengan 3000 pasukan untuk menyerbu pos-pos Belanda. Awalnya pasukan Belanda banyak yang tewas, tetapi dengan taktik dan kelicikannya Belanda berhasil mengalahkan satu demi satu beberapa pembesar kerajaan.[9]
4.    Perang Aceh
Pada tanggal 5 April 1873 tentara Belanda menyerang Masjid dengan 3000 personil, karena kuatnya tentara Aceh dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Dan bulan November 1873 Belanda dengan 13.000 personil mampu menguasai masjid keraton. Setelah meninggal dunianya Sultan (1874) Belanda berunding, tetapi tidak di tangggapi oleh Aceh, sehingga Belanda memakai strategi menunggu. Namun terus mendapat serangan-serangan dari Aceh yang mengakibatkan sistem itu gagal. Setelah sistem tersebut gagal, Belanda menerapkan sistem konsentrasi, kota raja sebagai pusatnya, akan tetapi sistem ini justru memberi peluang kepada pejuang Aceh untuk menggagalkan perang gerilya. Yang akhirnya banyak tentara Belanda yang terbunuh.
Tahun 1890 M, Gubernur Dey Kerhof mengajak Teuku Umar untuk berpihak kepada Belanda, akhirnya mau dan berhasil menundukkan Mukim XXII, XXV, XXVI. Aceh besar kembali bergejolak, ketika Teuku Umar membelot dari Belnda pada tahun 1896 dan Belanda mekukan ofensif yang memaksa pihak Aceh melakukan defensif. Teuku Umar gugur dalam perang ini dan digantikan Cut Nya’ Dien. Akhirnya Belanda meninggalkan Indonesia (1942 M), karena mencoba dengan taktik menculik putra-putra Sultan, yang akhirnya Sultan dan Panglima Polim menyerah. Namun perang terus berlanjut terhadap Belanda walaupun perorangan maupun kelompok. Dari tahun 1903 – 1930 sering terjadi perlawanan sengit yang dipimpin Ulama’ di Pidie Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh Barat dan Timur.[10]


[1]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 349 – 351
[2]Ma’ruf misbah, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV Wicaksana, 1994) hlm. 106 – 107
[3]Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 372
[4]Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang, PT. Pustaka Riski Putra, 2009), hlm. 214
[5]Dudung Abdur Rahman, Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern. (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 341
[6]Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 373
[7]Ahmad Ibrahim, dkk, Islam di Asia Tenggara Prspektif Sejarah, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 201
[8]Fatah Syukur NC, Op. Cit., hlm. 218 – 220
[9]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 247 – 249
[10] Fatah Syukur NC, Op. Cit., hlm. 220-221

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama