MAKALAH AKHLAK QONA'AH

I.                   PENDAHULUAN
Manusia sering kali lupa atas nikmat yang Allah berikan, karena kebanyakan manusia melupakan dan selalu merasa kurang atas apa yang ia miliki, sehingga ia selalu diliputi perasaan iri dan dengki atas nikmat yang orang lain dapatkan, dan menjadikan kehidupannya tidak tenang. Hal ini merupakan kecenderungan manusia yang selalu tidak akan merasa puas dengan apa yang ia miliki. Padahal jika kita mau mensyukuri apa yang ada pada diri kita, terlebih lagi memahami bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan dan cobaan
Nabi Muhammad SAW  telah mengajarkan kepada kita bagaimana kita harus bersikap terhadap harta, yaitu menyikapi harta dengan sikap qana’ah (kepuasan dan kerelaan). Sikap qana’ah ini harus dimiliki oleh orang yang kaya maupun orang yang miskin adapun wujud qana’ah yaitu merasa cukup dengan pemberian Allah, tidak tamak terhadap apa yang dimiliki manusia, tidak iri melihat apa yang ada di tangan orang lain dan tidak rakus mencari harta benda dengan menghalalkan segala cara
Sebagai manusia kita memang mempunyai banyak kebutuhan, baik kebutuhan materiil maupun imateril, namun kita perlu menyadari bahwa harta bukanlah segala-galanya dalam kehidupan dunia yang sementara ini.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian Qona’ah ?
B.     Apa Dasar Hukum Qona’ah ?
C.     Bagaimana sikap qona’ah ?
D.    Apa hikmah qona’ah ?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian Qona’ah
Qana’ah menurut bahasa adalah merasa cukup atau rela, sedangkan menurut istilah ialah  sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang.
Rasulullah mengajarkan kita untuk ridha dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, baik itu berupa nikmat kesehatan, keamanan, maupun kebutuhan harian.[1]Qona’ah adalah gudang yang tidak akan habis. Sebab, Qona’ah adalah kekayaan jiwa. Dan kekayaan jiwa lebih tinggi dan lebih mulia dari kekayaan harta. Kekayaan jiwa melahirkan sikap menjaga kehormatan diri dan menjaga kemuliaan diri, sedangkan kekayaan harta dan tamak pada harta melahirkan kehinaan diri.[2]
Di antara sebab yang membuat hidup tidak tentram adalah terperdayanya diri oleh kecintaan kepada harta dan dunia. Orang yang diperdaya harta akan senantiasa merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Akibatnya,dalam apa yang dirinya lahir sikap-sikap yang mencerminkan bahwa ia sangat jauh dari rasa syukur kepada Allah, Sang Maha Pemberi Rezeki itu sendiri. Ia justrumerasa kenikmatan yang dia peroleh adalah murni semata hasil keringatnya, tak ada kesertaan Allah. Orang-orang yang terlalu mencintai kenikmatan dunia akan selalu terdorong untuk memburu segala keinginannya meski harus menggunakan segala cara sepertikelicikan, bohong, mengurangi timbangan dan sebaginya. Ia juga tidak pernah menyadari, sesungguhnya harta hanyalah ujian sebagaimana firman Allah ;
Artinya ;"Maka apabila manusia ditimpa bahaya ia menyeru Kami, kemudian apabila Kami berikan kepadanya ni'mat dari Kami ia berkata:"Sesungguhnya aku diberi ni'mat itu hanyalah karena kepintaranku". Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui" (Q.S Azumar; 49)
B.     Dasar Hukum Qona’ah
Ø  Al Qur’an
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Al Baqarah : 155 )[3]

Ø  Hadis
عن ابى هرىرة رضى الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ليس الغنى عن كثرة العرض ولكن الغنى غنى النفس.(متفق عليه)      
Dari Abu Hurairah R.A berkata, Nabi SAW bersabda: bukannya kekayaan itu karena banyaknya harta dan benda, tetapi kekayaan yang sebenarnya ialah kekayaan hati. (Muttafaqun Alaih)

عن عبد الله ابن عمرو رضى الله عنهما : ان رسول الله صلى الله عليه و سلم. قال: قد افلح من اسلم  ورزق  كفافا  وقنعه  الله  بما اتاه. (رواه مسلم)    
Dari Abdillah bin Amr sesungguhnya Rasulullah saw bersabda; sungguh beruntung orang yang masuk islam dan rizkinya cukup dan merasa cukup dengan apa-apa yang pemberian Allah. (HR Muslim)

C.    Sikap Qona’ah
Sudah dijelaskan bahwa qona’ah merupakan sikap rela menerima dan merasa cukup atas hasil yang diusahakannya serta menjauhkan diri dari dari rasa tidak puas dan perasaan kurang. Meski demikian, orang-orang yang memiliki sikap Qana'ah tidak berarti fatalis dan menerima nasib begitu saja tanpa ikhtiar. Orang-orang hidup Qana'ah bisa saja memiliki harta yang sangat banyak, namun bukan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan dan dunia yang dimilikinya, dibatasi dengan rambu-rambu Allah SWT. Dengan demikian, apa pun yang dimilikinya tak pernah melalaikannya dari mengingat Sang Maha Pemberi Rezeki. Sebaliknya, kenikmatan yang ia dapatkan justru menambah sikap qana'ahnya dan mempertebal rasa syukurnya.
Adapun contoh bersikap qana’ah dalam kehidupan, diantaranya :
o   Giat bekerja dan berusaha untuk mencapai hasil terbaik.
o   Jika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak mudah kecewa dan berputus asa.
o   Selalu bersyukur atas apa yang menjadi hasil usahanya, dan tidak pernah merasa iri atas keberhasilan yang diperoleh orang lain.
o   Hidupnya sederhana dan menyesuaikan diri dengan keadaan, tidak rakus dan tidak tamak.
o   Selalu yakin bahwa apa yang didapatnya dan yang ada pada dirinya merupakan anugerah dari Allah SWT.[4]
Perbuatan Qana’ah yang dapat kita lakukan misalnya puas terhadap apa yang kita miliki saat ini, Maka hendaklah dalam masalah keduniaan kita melihat orang yang di bawah kita, dan dalam masalah kehidupan akhirat kita melihat orang yang di atas kita. Hal ini sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadis:
عن ابى هريرة رضى الله عنه : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم. انظروا الى من اسفل منكم, ولا تنظروا الى من هو فوقكم فهو اجدر ان لا تزدروا نعمة الله عليكم. (متفق عليه)                      
Artinya; “Lihatlah orang yang di bawah kalian dan janganlah melihat orang di atas kalian, karena yang demikian itu lebih layak bagi kalian agar kalian tidak memandang hina nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Muttafaqun Alaih)
Ketika berusaha mencari dunia, orang-orang Qana'ah menyikapinya sebagai ibadah yang mulia di hadapan Allah yang Maha kuasa, sehingga ia tidak berani berbuat licik, berbohong dan mengurangi timbangan. Ia yakin tanpa menghalalkan segala cara apapun, ia tetap mendapatkan rizki yang dijanjikan Allah. Ia menyadari akhir rizki yang dicarinya tidak akan melebihi tiga hal; menjadi kotoran, barang usang atau bernilai pahala di hadapan Allah.[5]
Bila kita mampu merenungi dan mengamalkan makna dan pentingnya qona’ah maka kita akan memperoleh ketenangan dan ketenteraman hidup. Dan hendaknya diketahui bahwa harta itu akan ditinggalkan untuk ahli waris.[6]
D.    Hikmah Qona’ah
Tidak diragukan lagi bahwa  qona’ah dapat menenteramkan jiwa manusia dan merupakan faktor kebahagiaan dalam kehidupan karena seorang hamba yang qona’ah dan menerima apa yang dipilihkan Alah untuknya, dia tahu bahwa apa yang dipilihkan Allah untuknya adalah yang terbaik baginya di segala macam keadaan.[7] 
Sikap qona’ah membebaskan pelakunya dari kecemasan dan memberinya kenyamanan psikologis ketika bergaul dengan manusia. Dzunnun al-Mashri mengatakan: “Barangsiapa bersikap qona’ah maka ia bisa merasa nyaman di tengah manusia-manusia sesamanya.
     Sebaliknya, ketiadaan qona’ah dalam hidup akan menyeret pelakunya pada penuhanan materi sehingga kebebasannya terampas karena kerakusan dalam mencari harta duniawi yang memaksanya berbuat apapun untuk mendapatkan harta.[8]


[1] Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Menyucikan JIwa, ( Jakarta: Gema Insani, 2005). Hlm. 242
[2] Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Menyucikan JIwa, ( Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 244
[3]  Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid I, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 231
[4] Fernanda Gilsa R, “Qona’ah”, http://fernandaicha.blogspot.com/2011/02/qanaah.html, Selasa, 28 Mei 2013 Pukul 10:52 WIB
[5]Heme Adawea, “Sifat Qona’ah”, http://al-adawea.blogspot.com/2011/04/makalah-sifat-qonaah.html, Selasa, 28 Mei 2013, Pukul 11:25 WIB
[6] Saayid Bakri al Makki, Merambah Jalan Sufi Menuju Surga Ilahi, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 1996), hlm. 27
[7] Said bin Musfir al-Qathani, Buku Putih Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, (Jakarta:Darul Falah, 2006), hlm. 509
[8]  Muhammad Fauzi Hajjaj,  Tasawuf Islam dan akhlak, (Jakarta: Amzah, 2011), hlm. 339

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama