AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER ILMU PENGETAHUAN

I.              PENDAHULUAN

Al-Qur’an tidak lain adalah sebuah kitab suci, merupakan salah satu dari kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT melalui wahyu kepada Nabi Muhammad SAW yang berisikan garis besar pemahaman akan hakekat kemanusian dan alam sekitar kepada manusia, apabila manusia sanggup menggunakan akalnya (rasio) dan tidak hanya menggunakan hati nurani yang digunakan untuk menyatakan keyakinan terhadap tanda-tanda kebesaran Allah. Penggunan akal atau rasio ini pada dasarnya adalah untuk memperteguh hati nurani (fitrah/dhamir) dalam dada manusia dalam meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Al-Qur’an bahwa tidaklah diciptakan segala sesuatu itu sia-sia. Manusia, sosok makhluk kreasi sang Pencipta semesta alam, dikaruniai kemampuan berpikir dan mengembangkan akalnya dalam memahami hakekat dirinya sendiri dan alam sekitarnya.

Al-Qur’an telah menambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membantu pikiran manusia melakukan terobosan terhadap batas penghalang dari alam materi. Al-Qur’an menunjukkan bahwa materi bukankah sesuatu yang kotor dan tanpa nilai, karena padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah serta kegaiban dan keagungan-Nya. Alam semesta yang amat luas adalah ciptaan Allah, dan Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap keajaiban dan kegaibannya, serta berusaha memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya. Jadi Al-Qur’an membawa manusia kepada Allah melalui ciptaan-Nya dan realitas konkret yang terdapat di bumi dan di langit. Inilah yang sesungguhnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan, yaitu: mengadakan observasi, lalu menarik hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat mencapai yang maha pencipta melalui observasi yang teliti dan tepat terhadap hukum-hukum yang mengatur gejala alam, dan Al-Qur’an menunjukkan kepada Realitas Intelektual Yang Maha Besar, yaitu Allah SWT lewat ciptaan-Nya.[1]

II.           RUMUSAN MASALAH


A.      Bagaimana Kedudukan Akal dalam Al-Qur’an ?

B.       Bagaimana Keutamaan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an?

C.       Bagaimana Proses Belajar Mengajar dalam Al-Qur’an?

D.      Apa Saja Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an ?

III.        PEMBAHASAN

A.      Kedudukan Akal dalam Al-Qur’an

1.    Materi ‘Aql dalam Al-Qur’an

Kata akal menurut bahasa berarti mengikat dan menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat (al-’iqal), dan menahan lidah dari berbicara. Ibnu Mandzur juga berpendapat seperti ini, hanya ia menambahkan, selain berarti menahan (al-hijr) seperti menahan hawa nafsu, kata al-’aql berarti kebijakan (al-nuha), lawan dari lemah pikiran (al-humq). Selanjutnya disebut bahwa al-’aql juga mengandung arti kalbu (al-qalb) dan kata ‘aqala mengandung arti memahami. Arti asli dari ’aqala kelihatannya mengikat dan mengekang. Orang dapat menahan darah panasnya di zaman jahiliyah disebut al-aqil, karena ia dapat menahan amarahnya serta dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijakan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Selain itu menurut Ibrahim Madkour, akal juga dapat dipahami sebagai potensi rohani untuk membedakan antara yang haq dan yang bhatil. Secara lebih jelas lagi, Abas Mahmud al-’Aqqad menjelaskan bahwa al-’aql adalah pemahaman hawa nafsu. Dengan akal manusia dapat mengetahui amanah dan kewajiban, akal adalah pemahaman dan pemikiran, akal juga merupakan petunjuk yang membedakan hidayah dan kesesatan, akal juga merupakan kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Akal dalam pengertian ini, bukanlah otak sebagai salah organ tubuh, tetepi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Akal dapat memperoleh ilmu pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Akal sebagai daya pikir adalah aktivitas otak dengan data empirik sesuai dengan eksperience dan kecerdasan untuk mendapatkan tujuan, atau mendapatkan hujjah atau menghilangkan kendala. Data empirik adalah sesuatu yang bisa dilihat atau disaksikan dan dibuktikan, dan eksperience adalah pengetahuan yang diperoleh manusia sesuai dengan fakta empirik dan melalui metodologi ilmiah. Adapun kecerdasan adalah gambaran tentang kemampuan dasar otak yang ada pada manusia yang berbeda tingkatannya.

Redaksi ‘aql dalam al-Qur’an terulang sebanyak 49 kali. Kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk fi’il mudhari’, terutama yang berambung dengan wawu jama’ seperti dalam bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun terulang sebanyak 24 kali dan ya’qilun sebanyak 22 kali, sedangkan kata kerja ‘aqala, na’qilu dan ya’qilu masing-masing satu kali.[2]

2.    Redaksi Afalaa Ta’qilun dalam Al-Qur’an

Yang paling mencolok dalam redaksi tersebut adalah penggunaan bentuk istifham inkari “pertanyaan negatif” yang bertujuan memberikan dorongan yang membangkitkan semangat. Bentuk redaksional Afalaa Ta’qilun terulang sebanyak 13 kali dalam Al-Qur’an.

Diantaranya adalah firman Allah SWT kepada Bani Israel sekaligus kecaman atas mereka,

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (al-Baqarah: 44)

Perbuatan manusia yang bertentangan dengan pengetahuan-nya dan bertentangan dengan perintah yang ia berikan kepada orang lain, tidak akan timbul kecuali dari orang yang tidak lurus pemikirannya serta tidak matang akalnya. Manusia seperti ini bahkan, boleh jadi memiliki gangguan psikis.

Ayat lain yang di dalamnya terdapat bentuk istifham inkari yang sama adalah firman Allah swt. ketika mendebat Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen) tentang masalah Ibrahim, termasuk usaha ahli Kitab untuk memasukkan Ibrahim bagian dari mereka sebagai Yahudi atau Kristen. Allah berfirman dalam QS. Ali 'Imran ayat 65

Hai Ahli Kitab, mengapa kamu bantah-membantah tentang hal Ibrahim, padahal Taurat dan Injil tidak diturunkan me-lainkan sesudah ibrahim. Apakah kamu tidak berpikir?”.(QS. Ali 'Imran ayat 65)

Bagaimana mungkin orang dari generasi lebih awal di-masukkan dalam barisan orang yang datang kemudian? Tentulah hanya orang-orang yang tidak mempunyai otak yang berpendapat seperti itu. Kita temukan juga ayat lainnya, seperti dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-An’aam ayat 32 

 “Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidaklah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’aam ayat 32)

Kalaulah ditimbang antara perkampungan dunia dan akhirat, tentu yang lebih berat adalah akhirat. Kesenangan dunia itu hanyalah sebentar dan akan hilang. Rasulullah SAW bersabda: “Perbandingan dunia dengan akhirat adalah seperti orang yang mencelupkan salah satu jemarinya ke dalam lautan, lihatlah berapa banyak air yang dapat ia ambil.” (HR. Muslim). Bagaimana mungkin nilai dunia kan mengalahkan keutamaan akhirat? Hanya orang-orang yang tidak berpikir yang mengatakan seperti itu.

Firman Allah SWT kepada Rasulullah beikut ini juga merupakan contoh ayat yang didalamnya mengandung istifham inkari “pertanyaan negatif”,

Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka Apakah kamu tidak memikirkannya?”(QS. Yuus ayat 16)

Allah telah memberi perintah kepada Rasululah SAW untuk menjelaskan kepada mereka bahwa diutusnya beliau,dengan membawa Al-Qr’an ini, semata-mata atas kehendak Allah bukan karena kehendaknya sendiri. Telah puluhan tahun Nabi SAW hidup bersama mereka, sebelum itu beliau tidak pernah mendakwakan diri, berbicara atas nama Allah, atau mengaku-aku menerima wahyu. Maka bagaimana mungkin dapat diterima akal, orang yang sangat dipercaya selama empat puluh tahun kemudian tiba-tiba berdusta?, perjalanan beliau yang lurus tiba-tiba “menyimpang” dan melakukan tindakan yang kontroversial, tanpa sebab dan justifikasi. Padahal, sampai saat itu, beliau tetap bersama mereka sehinga mereka selalu mengetahui kondisinya, baik pada saat berada di rumah maupun ketika bepergian, sendirian atau bersama orang lain.  

B.       Keutamaan Ilmu Pengetahuan dalam Al-Qur’an

Ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan kepada Rasulullah SAW menunjuk pada keutamaan ilmu pengetahuan, yaitu dengan memerintahkannya membaca sebagai kunci ilmu pengetahuan, dan menyebut qalam sebagai alat tranformasi ilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman:

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (QS. Al-‘Alaq ayat 1-5)

Surat yang pertama kali Allah turunkan dalam Al-Qur’an adalah surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Di dalamnya Allah SWT menyebutkan nikmat-Nya dengan mengajarkan manusia apa yang tidak ia ketahui. Hal itu menunjukkan kemuliaan belajar dan ilmu pengetahuan.[3]

Al Qur’an merupakan salah satu mujizat yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk digunakan sebagai petunjuk bagi umat manusia hingga akhir zaman. Sebagai petunjuk dari Allah tentulah isi dari Al Quran tidak akan menyimpang dari Sunatullah (hukum alam) sebab alam merupakan hasil perbuatan Allah sedangkan Al Qur’an adalah merupakan hasil perkataan Allah. Karena Allah bersifat Maha segala-galanya maka tidaklah mungkin perkataan Allah tidak sejalan dengan perbuatan-Nya. Apabila pada suatu malam yang cerah kita memandang ke langit maka akan tampaklah oleh kita bintang-bintang yang sangat banyak jumlahnya.

Pada zaman dahulu orang memandang bintang-bintang itu hanyalah sebagai sesuatu yang sangat kecil dan bercahaya yang bertaburan di angkasa. Namun setelah ditemukannya teleskop dan ilmu pengetahuan juga semakin berkembang, orang akhirnya mengetahui bahwa bintang-bintang merupakan bagian dari suatu gugusan yang dinamakan galaksi yang dialam ini jumlahnya lebih dari 100 milyar. Sedangkan masing-masing bintang ini terdiri dari planet-planet yang masingmasing peredarannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling bertabrakan satu sama lain. Hal ini juga difirmankan oleh Allah SWT :

 ”Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya” (QS. Al Anbiyaa ayat 33).

Sehingga akhirnya orang berdasar ilmu pengetahuan yang dimilikinya mengakui bahwa alam semesta ini maha luas. Sebenarnya Allah telah menegaskan hal ini di dalam Al Quran yang diturunkan jauh sebelum ditemukannya teleskop yaitu:

 ”Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya” (QS. Adz Dzaariyaat ayat 47)

Oleh karena itu Allah menyuruh umatnya untuk selalu memperhatikan dan meyakini Al Quran secara ilmiah. Sebagai contoh, di dalam ilmu fisika kita mengenal adanya hukum kesetaraan masa dan energi, sedangkan massa adalah merupakan besaran pokok dalam arti besaran yang ada dengan sendirinya, sedangkan massa tidak dapat menciptakan dirinya sendiri, lalu siapakah penciptanya? Maka kalau kita kembalikan kepada Ajaran Tauhid tentu kita akan menjawab bahwa Allah-lah penciptanya. Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dalam surat Qaaf ayat 38 Allah telah berfirman :

Dan sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak sedikitpun ditimpa keletihan”(QS. Qaaf ayat 38)

Karena ilmu pengetahuan itu bersumber pada Allah SWT dan pada ayat diatas telah disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi berikut segala isinya dalam enam masa, maka berdasarkan penelitian/teori dalam sejarah asal mula alam semesta dan kehidupan dapat dikategorikan keenam masa itu sebagai berikut:

Masa pertama: Pada awalnya keadaan langit dan bumi dalam suatu kesatuan yang padu, hal ini disebutkan oleh Allah dalam salah satu firman-Nya yaitu :

Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiyaa ayat 30)

Kemudian menurut ”The Big Bang Theory” atau teori ekspansi ledakan maka terjadi ledakan yang maha hebat yang akhirnya memisahkan kesatuan yang padu tersebut. Karena kondisi sekeliling ledakan semula dalam keadaan dingin maka hal ini mengakibatkan tejadinya kondensasi (penggumpalan). Penggumpalan ini sebagai akibat dari penurunan energi (panas/kalor) yang sangat drastis. Sebab menurut hukum Steffan Boltzman tentang radiasi/pancaran panas disebutkan bahwa ”Jumlah energi radiasi tiap satuan waktu tiap satuan luas sebanding dengan pangkat empat suhu mutlaknya”. Oleh karena itu apabila terjadi penurunan suhu sedikit saja maka penurunan energinya dalam hal ini adalah energi radiasi kalor pasti menjadi sangat besar.

Masa kedua: Pada masa ini gravitasi mulai berperan dan mulai muncul galaksi-galaksi yang terdir atas bintang-bintang. Juga mulai muncul planetplanet termasuk planet bumi yang terdapat dalam tatasurya matahari yang merupakan bagian dari galaksi Bima Sakti.

Masa ketiga: Masa ini dikenal juga dengan masa Prekambrium (Precambrian Era). Pada masa ini kondisi bumi masih cukup panas sehingga belum ada makhluk yang hidup di bumi. Masa keempat: Masa ini sering dikenal dengan zaman Paleozoikum (Paleozoic Era). Pada masa ini di bumi mulai terdapat kehidupan sederhana yang ditandai dengan munculnya tumbuhan-tumbuhan tingkat rendah atau tumbuhan perintis hingga munculnya hewan-hewan sejenis serangga dan hewan-hewan amphibia.

Masa Kelima: Masa ini dikenal pula dengan zaman Mesozoikum (Mesozoic Era). Pada masa ini hewan-hewan sejenis reptil mulai muncul seperti burung dan sejenisnya dan muncul pula hewan-hewan raksasa seperti Dinosaurus dan sebagainya.

Masa Keenam: Masa ini juga disebut zaman Cenozoikum (Cenozoic Era). Pada masa inilah mulai muncul hewan-hewan mamalia dan pada akhir dari masa ini mulailah muncul sejarah manusia.

Dengan demikian jelas bahwa berdasar penelitian yang dilakukan oleh para ahli, kejadian alam semesta ini dapat dikategorikan dalam enam masa, dimana dua masa yang pertama adalah masa penciptaan bumi sedangkan 4 masa berikutnya merupakan tahapan kejadian makhluk-makhluk bumi hingga terciptanya manusia sebagai khalifah di muka bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah di dalam Al Quran yaitu:

”Katakanlah: Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta alam. Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh diatasnya. Dan memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Fushshilat ayat 9-10)

Kemudian keutamaan orang yang berilmu telah disebutkan dalam Al Qur’anul Karim sejumlah ayat yang menunjukkan akan keutaman ilmu dan para pemiliknya, berikut penjelasan tentang kemuliaan mereka dan tingginya kedudukan mereka. Di antaranya adalah ayat:

“Allah mempersaksikan bahwa tiada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Dia. Demikian pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu mempersaksikannya. Tidak ada tuhan yang berhak diibadahi kecuali Dia yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Ali Imran ayat 18)

Dalam ayat ini terdapat keterangan akan keutamaan orang-orang yang berilmu karena Allah menyebutkan persaksian mereka bersamaan dengan persaksian-Nya dan juga persaksian para malaikat-Nya, bahwasanya Dialah sesembahan yang benar, yang tidak diperkenankan ibadah kecuali kepada-Nya. Persaksian ini mencakup seagung-agung dzat yang bersaksi, yakni Allah sendiri, dan juga mencakup seagung-agung perihal yang dipersaksikan dengannya, yakni perihal hak peribadatan, yang mana hanya Dia-lah yang khusus berhak diserahkan ibadah. Adapun pengikutan persaksian para malaikat dan orang-orang yang berilmu setelah persaksian dari Allah tentuya menunjukkan atas keutaman malaikat dan orang-orang yang berilmu ini.[4]

C.      Proses Belajar Mengajar Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an memerintahkan kepada umat manusia untuk belajar, sejak pertamakali  diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Membaca adalah sarana untuk belajar dan kunci ilmu pengetahuan, baik secara etimologis berupa membaca huruf-huruf yang tertulis dalam buku-buku, maupun terminologis, yakni membaca dalam arti yang lebih luas. Maksudnya membaca alam semesta (ayatul kaun).

Dalam surat al-Qalam, Allah SWT bersumpah dengan kata yang amat penting, yaitu kalam. Dengannya, ilmu dapat ditransfer dari individu ke individu, dari generasi ke generasi, atau dari umat ke umat yang lain.

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”.
Metode belajar langsung (Lisan). Salah satu cara belajar adalah menghadap kepada guru dengan jalan mendengarkan dan menirukan serta hadir di majlisnya. Berkaitan dengan itu, Al-Qur’an mengajak kepada sekelompok manusia untuk mencari ilmu pengetahuan dan tafaqquh fid-din.

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.

Para salafus saleh mensyaratkan dalam mencari ilmu hendaklah mendatangi para ulama’ dan hadir dalam majelis-majelis ilmu. Tidak cukup hanya dengan membaca buku-buku tanpa menghadap secara langsung. Karena apabila ada kesalahpahaman, merekalah yang akan menerangkan dan meluruskannya. Oleh karena itu, ada sebuah nasihat yang terkenal dari para ulama’ kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian mengambil ilmu pengetahuan dari tulisan saya dan jangan membaca Al-qur’an dari mushaf saya.[5]

Dalam Al-Qur’an, salah satu etika dalam mencari ilmu seperti yang telah diterangkan dalam al-qur’an adalah tidak boleh puas setelah sampai pada batas tertentu jenjang ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan ibarat lautan yang tidak bertepi dan tidak pula berbatas, sejauh manapun manusia meraih ilmu pengetahuan, ia harus terus menambahnya dan ia tidak akan munkin sampai pada batas kepuasan. Dalam hal ini Allah telah mengajar Rasulullah SAW dengan firman-Nya,

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al qur'an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan Katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."
1.    Rihlah (Bepergian) Menuntut Ilmu

Salah satu etika mencari ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an adalah bahwa ilmu harus dicari dari sumbernya yang asli. Ia harus didatangi walaupun jauh tempatnya dan susah ditempuh. Dalam Al-Qur’an telah dikisahkan tentang seseorang yang bersusah payah menempuh jarak yang sangat jauh hanya untuk menemui orang lain yang memiliki ilmu yang tidak dimilikinya, dia adalah Nabi Musa as. Nabi Musa telah menempuh perjalanan yang sangat jauh tanpa kendaraan, di tengah luasnya gurun pasir. Adapun sebab kepergian Musa ini seperti yang diriwayatkan Syaikhani (Bukhari-Muslim) dari hadits ibnu Abbas dari Abu Ka’bah bahwasannya dia mendengar Rasulullah SAW Bersabda, “Sesungguhnya Musa pada suatu hari berkhotbah dihadapan Bani Israel, tiba-tiba dilontarkan sebuah pertanyaan, siapakah manusia yang terpandai? Musa menjawab, “saya!” Allah SWT menegur Musa karena perkataannya itu, sebab ia tidak menisbatkan ilmu kepada Allah SWT. Dan Allah berfirman kepadanya,’Sesungguhnya ada hamba-Ku di tempat pertemuan dua samudra yang lebih pandai darimu…’” Bahkan dalam suatu ungkapan yang disebutkan “Carilah ilmu walau sampai kenegeri Cina”. Alasan mengapa disebutkan negeri cina karena pada saat itu negeri ini dikenal oleh orang-orang arab sebagai negeri terjauh yang mempunyai peradaban tinggi.[6]

2.    Kepada Siapa Kita Belajar

Salah satu imbauan Al-Qur’an dalam dunia ilmu pengetahuan adalah manusia diwajibkan belajar kepada siapa saja yang mempunyai ilmu, dan bermafaat bagi hidupnya di dunia maupun di akhirat kelak. Sekalipun ia lebih muda umurnya dan lebih rendah derajatnya, bahkan kita bisa belajar dari binatang sekalipun. Misalnya kisah dalam Al-Qur’an tentang seseorang yang belajar kepada burung gagak, yaitu cerita tentang anak-anak Adam dalam surat al-Maa’idah,

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa". Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam." (QS. Al-Maa’idah ayat 27-28)

3.    Sarana Mencari Ilmu

Ada tiga syarat pokok dalam mencari ilmu, sebagaimana banyak disebutkan dalam ayat Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:

a.    As-sam’u “pendengaran”, merupakan asas ilmu dan digunakan baik pada masa penurunan wahyu, penyampaiannya kepada sahabat, maupun kepada kita sekarang.

b.    Al-bashar “penglihatan”, adalah asas ilmu yang sangat dibutuhkan untuk mengamati sesuatu dan mencobanya.

c.    Al-fuad “hati”, yang ketiga ini adalah asas ’aqli yang harus dimiliki pencari ilmu.[7]

Allah berfirman dalam surat an-Nahl,

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

 Salah satu nasihat Al-Qur’an menerangkan tentang pertanggung jawaban manusia atas karunia yang diberikan kepadanya, berupa organ-organ tubuh yang masing-masing akan menyampaikan segala apa yang pernah diperbuatnya di dunia.

Al-Qur’an juga mengecam orang-orang yang menyia-nyiakan sarana ilmu ini sebagai orang yang kufur atas ayat-ayat Allah. Al-Qur’an juga menyamakan orang-orang yang tidak menggunakan karunia Allah sebagaimana mestinya bagaikan hewan atau bahkan lebih hina darinya. Semua itu disebabkan karena dua hal, yaitu:

Pertama, karena binatang tidak dikaruniai seperangkat indera, akal, dan hak milik. Juga tidak dibekali kitab suci sebagai tuntunan dan tidak pula diturunkan kepadanya Rasul untuk menerjemahkan kekhalifahannya di muka bumi.

Kedua, karena binatang diciptakan hanya untuk memenuhi kebutuhan manusia, antara lain untuk kendaraan, angkutan atau dikembangbiakkan.

4.    Mengajar Setelah Belajar

Sebaiknya setelah seseorang mencari ilmu, ia mengajarkannya kepada yang lain. Karena zakat ilmu yang diajarkan oleh Allah adalah mengajarkannya sehingga dengan demikian akan terbentuk komunitas yang rabbani. Ada ungkapan dari ulama’ salaf ”Sesungguhnya yang bisa disebut sebagai rabbani adalah seorang yang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Sebagaimana firman Allah,

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.

a.    Allah sebaik-baik pengajar. Dialah yang mengajarkan dan memberi petunjuk kepada hamba-Nya.

b.    Semua Rasul adalah pengajar. Para rasul yang diutus Allah dengan risalah ilahiah, semuanya adalah para mualim yang ditugasi untuk menyampaikan petunjuk pada umatnya agar menempuh jalan yang lurus, serta menyelamatkan mereka dari kegelapan menuju alam yang terang.

c.    Muhammad SAW Imam para pengajar. Dari seluruh nabi dan rasul yang diturunkan sebagai mualim, Muhammad SAW adalah imam mereka, yang telah dididik dan diajar oleh yang Maha mengetahui.

d.   Ulama’ adalah ahli waris para Nabi Ulama’ mewarisi fungsi para nabi yang sangat penting yaitu untuk mengajari umat manusia, memberi petunjuk orang yang tersesat, menerangkan kebenaran, dan mengingatkan orang-orang yang lalai. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu pun dari petunjuk ilahiah.

e.    Jangan malu untuk berkata ”saya tidak tahu”. Salah satu tata cara yang diajarkan Al-Qur’an adalah tidak boleh malu untuk berkata “tidak tahu”, jika memang tidak tahu. Karena tidak ada istilah tua dalam belajar dan tidak ada satu makhlukpun yang sempurna mengetahui segala sesuatu, yang maha mengetahui hanya Allah semata.[8]

D.      Mukjizat Ilmiah Dalam Al-Qur’an


1.    Tuntutan Kaum Musyrik Akan Mukjizat dan Jawaban Al-Qur’an.

Seringkali orang-orang musyrik menuntut untuk diturunkannya tanda-tanda kebesaran Allah yang luar biasa (mukjizat) sebagaimana mukjizat yang diberikan kepada rasul-rasul terdahulu,  misalnya unta Nabi Saleh, tongkat Nabi Musa, Mu’jizat Nabi Isa dalam menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang-orang yang terjangkit penyakit kusta. Namun Allah tidak memperdulikan tuntutan mereka. Hal tersebut telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dalam beberapa surat denagan beberapa jawaban. Diantaranya dalam surat al-Isra’ Allah berfirman:

“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu. dan telah Kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat dilihat, tetapi mereka Menganiaya unta betina itu. dan Kami tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk menakuti”. (QS.al-Isra’ ayat 59)

Dalam surat yang lain, Al-Qur’an menjawab mereka dengan jawaban lain. Sebenarnya dihadapan mereka ada mukjizat yang sangat jelas dan bisa mencukupi dibanding mukjizat-mukjizat lain, Mukjizat itu adalah Al-Qur’an. Jika mereka benar-benar berakal, kitab suci ini cukup bagi mereka sebagai mukjizat terbesar.. Akan tetapi sikap mereka yang membangkang, takabur, selalu menyusahkan, dan selalu dalam kebatilan menjadikan mereka berlebih-lebihan dalam menuntut mukjizat. Bahkan, seandainya permintaan mereka dipenuhi, mereka tetap tidak akan beriman.

2.    Al-Qur’an Sebagai Mukjizat Terbesar

Al-Qur’an adalah mukjizat Allah yang membuat manusia tidak kuasa untuk mendatangkan yang semisal dengannya atau bahkan sebagiannya saja. Sifat kemukjizatan Al-Qur’an ini merupakan objek kajian yang luas, yang telah dan selalu dikaji oleh orang-orang sejak zaman dulu hingga sekarang. Bentuk-bentuknya sangat beragam, diantaranya, I’jaz bayani wa adabi (I’jaz secara bahasa dan sastra). I’jaz model ini telah banyak ditulis oleh ulama’ terdahulu, diantaranya oleh Imam Abu Bakar al-Baqilani. Ada juga bentuk I’jaz lain yang diisyaratkan oleh ulama’ terdahulu dan diperluas oleh ulama’ masa kini. Yaitu, kandungan Al-Qur’an berupa syariat-syariat, arahan-arahan, dan ajaran-ajaran yang menyatukan antara idealism dan realita, rohani dan materi, dunia dan akhirat, serta kebebasan individu dan kepentingan masyarakat.. Hal ini telah ditulis oleh Sayid Rasyid Ridha dalam bukunya yang terkenal, al Wahyu al Muhammadi.[9]

3.    Mukjizat Ilmiah dalam Al-Qur’an

Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu Al-Qur’an tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa di dalam al-qur’an terkandung isyarat-isyarat ilmiah, bahkan juga fakta-fakta ilmiah. Diantara fakta-fakta ilmiah yang  direkam Al-Qur’an yang mendahului ilmu pengetahuan modern adalah air. Air merupakan asal kehidupan dan semua makhluk hidup diciptakan darinya.Allah berfirman:

“Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Fakta ilmiah lainnya adalah fenomena berpasang-pasangan. Hal ini tidak hanya terbatas pada gender laki-laki dan perempuan, pada manusia dan hewan, serta sebagian tumbuhan. Seperti pohon kurma sebagaimana telah dikenal manusia pada masa Al-Qur’an di turunkan, bahkan merupakan fenomena alam dan undang-undang universal yang mencakup manusia, hewan, tumbuhan, dan benda mati. Inilah yang di diisyaratkan Al-Qur’an dalam ayat,

“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yasin ayat 36)

Kemudian telah disebutkan dalam al-qur’an tentang fase-fase pertumbuhan janin, yang merupakan deskripsi detail yang hanya dikenal oleh sains dan kedokteran modern. Fakta ilmiah lainnya adalah firma Allah yang menjelaskan bahwa hewan dan burung-burung memiliki karakter berkelompok. Isyarat ilmiah lainnya adalah ayat yang menerangkan besarnya galaksi yang terlihat kecil oleh manusia seperti titik cahaya. Padahal bisa jadi ia lebih besar miliaran kali dari besar bumi. Al-Qur’an juga mengisyaratkan hal yang menguatkan teori yang mengasumsikan adanya makhluk hidup di alam raya selain bumi. Dan masih banyak contoh lainnya.

4.    Beberapa Ketentuan dan Peringatan

Yang mesti diingatkan dalam hal ini adalah sikap mengada-ada yang dilakukan sebagian penulis yang tergesa-gesa dalam mengeluarkan makna dari suatu ayat yang dianggap ”mukjizat ilmiah”. Padahal, makna ini merusak kandungan ayat yang sebenarnya dan terkesan dipaksakan, sesuatu yang sebenarnya tidak layak bagi Kitabullah. Contohnya , seperti penafsiran terhadap ayat,

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. an-Nisa’ ayat 1).

Jiwa yang satu ditafsirkan dengan elektron pada atom, sedang pasangan yang diciptakan baginya ditafsirkan dengan proton. Ini merupakan pemaksaan dan kezaliman makna yang tidak ditunjukan oleh zahir atau konteks nash. Bahkan, konteks ayat tersebut sebenarnya menolak penafsiran semacam itu dengan dalil firman Allah diakhir ayat, “….dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak….” Kita juga tidak boleh memasukkan dan memaksakan asumsi dan hipotesis ilmiah yang masih berupa bahan perdebatan dan masih diuji diantara para pakar. Karenanya tidak pantas orang yang mengadopsi asumsi-asumsi ini berusaha memaksakan Al-Qur’an untuk menguatkan teorinya. Sebab, bias jadi asumsi dan teori mentah itu nanti terbukti tidak benar, lalu akhirnya mengkambinghitamka Al-qur’an.[10]

5.      Yang Dituntut dari Pakar Sains Muslim

Kaum mukmin dituntut untuk merenungi ayat-ayat dalam al-qur’an. Para ilmuan yang beriman juga dituntut untuk mencerahkan orang lain lewat ilmu-ilmu dan kajian-kajian mereka. Sesungguhnya penjelasan bahwa tafsir al-qur’an sesuai dengan fakta-fakta ilmia, dengan rambu-rambu dan syarat-syarat yang telah disebutkan, bermanfaat bagi kaum mukminin dalam upaya peneguhan keimanan mereka, menghilangkan ilusi dan keraguan mereka, serta mempertebal hidayah mereka. Hal lain yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuan lebih khusus lagi bagi mereka yang mengajar, adalah mengaajukan ilmu mereka dengan didasari dengan iman dan tanggung jawab moral terhadap lingkunganya.
                                     
[1]Afzalur Rahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000) hlm. 1

[2] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm.19

[3] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 91

[4]Muhammad Rijalul Kahfi, ”Keutamaan Ilmu dalam Al-Qur’an”, dalam  Keutamaan Ilmu dalam Al-Qur’an _ Muhammad Rijalul Kahfi.htm 28/04/ 2011, diakses 17 Maret 2013

[5] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 236-237

[6] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 247

[7]Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 260

[8] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 264-272

[9] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 318-319

[10] Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara Tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hlm. 323

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama