HADITS TENTANG PENDIDIK



I. Pendahuluan

Pendidik merupakan komponen terpenting dalam pendidikan. Tanpa adanya pendidik, maka ilmu yang akan disampaikan tidak mungkin pernah sampai kepada peserta didik. Islam membebani orang-orang yang berilmu untuk menyampaikan ilmunya kepada orang banyak (orang lain).Oleh karena itu, seorang pendidik harus mempunyai jiwa pemimpin terhadap peserta didiknya dan harus bertanggung jawab dari kepemimpinannya.

Seorang pendidik harus memberikan nasihat yang disampaikan dengan memperhatikan komunikasi dua arah, dan bukan untuk kepentingan dari sang pemberi nasihat, akan tetapi juga yang mendengarkan nasihat itu juga, karena agama itu nasihat.

Penghargaan patut kita berikan kepada orang-orang yang telah berjasa dalam mengajarkan ilmu tentang agama maupun ilmu yang lainnya, baik berupa material maupun non material.

Islam juga menekankan bagi pendidik untuk menjaga, memelihara dan mengarahkan kepada jalan yang lurus, jalan yang dikehendaki oleh Allah dan sebagaimana di contohkan oleh Rasulullah, karena pendidik laksana ayah terhadap anaknya.

Dalam makalah ini kami akan mencoba memberikan penjelasan secara singkat hadis-hadis tentang pendidik yang meliputi hadis pemimpin, kepemimpinan, dan pertanggungjawaban, agama itu nasihat, agama itu mudah, upah dalam mengajarkan agama, dan pendidik laksana ayah terhadap anaknya.

II. Hadis dan Terjemah

A. Pemimpin, Kepemimpinan, dan Pertanggungjawaban

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَمَ يَقُوْلُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَاْلخَادِمُ رَاعٍ فِي ماَلِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ اَنْ قَدْ قَالَوَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيْهِ وَمَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِه) أخرجه البخارى فى كتاب الجمعة)[1]

Dari Adullah bin Umar, dia berkata: Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “setiap kamu semua adalah pemimpin dan masing-masing kamusemua akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Imam (penguasa) adalah pemimpin dan dia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Seorang istri adalah pemimpin dalam (mengurus) rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Seorang pembantu/pelayan adalah pemimpin dalam (mengurus) harta majikannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya.” Kata Abdullah bin Umar, Saya kira Rasulullah juga bersabda: “seorang laki-laki adalah pemimpin dalam mengurus harta ayahnya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Dan setiap kamu semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban dari kepemimpinannya”. (HR. Al Bukhori dalam kitab jum’at)

B. Agama Itu Nasihat

عَنْ تَمِيْمٍ الدَّارِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ؟ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ) أخرجه البخارى فى كتاب الاىمان)[2]

Dari Tamim ad Daari, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: agama itu nasihat, kami bertanya, kepada siapa? Rasulullah menjawab: kepada Allah, kitabNya, RasulNya, dan kepada pemimpin kaum Muslimin dan rakyatnya. (HR. Al Bukhori dalam kitab iman)

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَة)أخرجه البخارى فى كتاب الاىمان)[3]



Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda: sesunguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam urusan agama, melainkan agama akan mengalahkannya. Maka tepatkanlah, dekatkanlah, bergembiralah, dan minta bantuanlah dengan (melaksanakan ketaatan) di waktu pagi, sore, dan sebagian malam hari. (HR. Al Bukhori dalam kitab iman)

C. Upah dalam Mengajarkan Agama

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي المَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا المَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَإِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ(أخرجه البخارى فى كتاب الطب)[4]

Dari Ibnu Abbas bahwa beberapa sahabat Nabi SAW melewati sumber mata air dimana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata, adakah di antara kalian seorang yang pandai menjampi? karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seorang yang tersengat binatang berbisa. Lalu salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan al Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata: kamu mengambil upah atas kitabullah?. Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata, “wahai Rasulullah, dia ini mengambil upah atas kitabullah”. Maka Rasulullah bersabda: “sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) kitabullah”. (HR. Al Bukhori dalam kitabkedokteran)

D. Pendidik Laksana Ayah Terhadap Anak

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَاِنَّمَا اَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ أُعَلِّمُكُمْ اِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَفَلَا تَسْتَقْبِلُوْا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَأَمَرَ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ وَنَهَى عَنِ الرَّوْثِ وَالرِّمَّةِ وَنَهَى أَنْ يَسْتَطِيْبَ الرَّجُلُ بِيَمِيْنِهِ (أخرجه ابو داود في كتا ب الطهارة)[5]

Dari Abu Hurairhah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya saya bagi kamu semua laksana ayah terhadap anaknya, saya mengajarkan kepada kamu semua ketika mendatangi wc, maka janganlah kamu semua menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya. (Nabi) memerintahkan untuk membersihkan (istinja’) dengan menggunakan 3 batu, (Nabi) mencegah untuk tidak melakukannya dengan kotoran kering dan tulang. Dan (Nabi) mencegah seorang laki-laki membersihkan dengan tangan kanannya. (HR. Abu Daud dalam kitab bersuci)

III. Pembahasan

A. Pemimpin, Kepemimpinan, dan Pertanggungjawaban

Semua orang itu adalah pemimpin dan kelak di hari kemudian akan di mintai pertanggungjawaban mengenai kepemimpinannya. Yang di maksud dengan istilah pemimpin adalah setiap orang yang mengurus dari apa yang di percayakan kepadanya.[6]

Seseorang yang menjadi pemimpin wajibbaginya menjalankan hukum-hukum syariat. Dalam hadis diatas dikatakan “كُلُّكُمْ رَاعٍ” itu masih umum untuk seluruh manusia dan masuk didalamnya sesuatu yang dipimpinnya, maka sesuatu yang dipimpin itu melihat dari seseorang yang memimpinnya. Tidak ada seseorang pun yang tidak menjadi pemimpin, karena setiap orang memimpin atas anggota tubuh dan panca indranya, dan wajib bagi mereka menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban beribadah kepadaNya.[7]

Di samping sebagaipemimpin, sosok profesional seorang pendidik di tunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdian profesional yang hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai pendidik kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa negara, dan agamanya. Pendidik yang profesional harus mempunyai tanggung jawab sosial, intelektual, moral, dan spiritual.[8]

B. Agama Itu Nasihat

Dalam hadis pertama di atas, Nabi mengatakan bahwa tegaknya agama dan berdirinya agama, hanyalah dengan berlakunya nasihat menasihati yang dikehendaki oleh syara’. Nasihat kepada Allah ialah mengimani-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak manusia kepada segala sifat tersebut dan berlaku lemah lembut terhadap semua manusia. Nasihat kepada kitab-Nya ialah mengimani bahwa kitab itu adalah kalamNya dan tanzilNya (kitab yang diturunkan dari pada-Nya), tidak serupa dengan sesuatu kalam makhluk, mempelajari, memahami, dan mengamalkannya, mengembangkan ilmu-ilmunya serta mengajak manusia untuk mengikutinya. Nasihat kepada Rasul-Nya ialah mengimani dan membenarkan semua risalahnya, menjalankan sunah-sunahnya. Selain itu, berperangai dengan perangai Rasul, dengan adab-adabnya, mengasihi keluarga dan sohabat Rasul, serta menjauhi orang-orang yang mengadakan bid’ah dalam agamanya. Nasihat kepada kepala-kepala umat ialah membantu mereka dalam kebenaran, mentaati mereka dalam kebenaran, menyeru mereka kepada mengerjakan kebenaran,menyadarkan terhadap sesuatu yang mereka lalaikan dan tidak memberontak terhadap mereka. Nasihat terhadap umat islam ialah menunjuki kepada mereka terhadap kemaslahatan dunia dan akhirat, mengajarkan kepada mereka terhadap apa yang tidak mereka ketahui, mendatangkan kemanfaatan kepada mereka, menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar dengan lemah lembut dan ikhlas.

Ibnu Baththal berkata: “agama, dinamakan nasihat, dinamakan pula dengan Islam. Lafadz agama itu, sebagaimana dipakai buat perbuatan, dipakai juga buat ucapan. Nasihat, wajib dilaksanakan sekedar kuasa, apabila pemberinasihat mengetahui bahwa yang di beri nasihat itu mendengar dan merasa tidak akan terjadi apa-apa atas diri yang memberikan nasihat itu. Kalau dia khawatir akan tertimpa bencana lantaran nasihatnya, maka dia boleh memilih antara memberi nasihat atau tidak”.[9]

Dalam hadis yang kedua, yang dimaksud agama itu mudah adalah karena dasar agama memang mudah. Bahwa kemudahan itu didasarkan dari inti agama itu sendiri sebagai rahmatal lil’alamin dan terdapat banyak rahmat yang terkandung didalamnya. Pendapat ini menguatkan terhadap orang yang mengingkari kemudahan agama. Seseorang tidak akan merasa sulit dalam beragama karena agama tidak akan mempersulit agama itu, kecuali orang yang membuatnya sulit sendiri dan merasa tidak mampu mengerjakan agama secara seluruhnya. Maka tepatkanlah dalam melaksanakan agama dan jalanilah jangan main-main, dekatkanlah dalam urusan ibadah, artinya apabila kalian tidak mampu beribadah dengan sempurna, lakukanlah yang mendekati sempurna. Bergembiralah dengan pahala atas amal yang dilakukan. Dan minta bantuanlah dengan ketaatan kepada Allah di waktu pagi,sore, dan sebagian malam.[10]

Sayyid Ahmad al-Hasyimi berpendapat, tidak ada seorang pun yang mencoba berlebih-lebihan dalam agama, melainkan dia pasti kalah si tengah jalan. Karena pada dasarnya agama itu mudah, maka janganlah mempersulit diri dengan berlebih-lebihan dalam mengerjakannya hingga sampai batas di luar kemampuan. Allah SWT sendiri telah memerintahkan agar kita mengerjakan agama sebatas kemampuan kita, seperti yang di jelaskan dalam firman-Nya:

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.(at-Taghabun: 16)[11]

C. Upah dalam Mengajarkan Agama

Banyak terdapat hadis yang dianggap dhaif yang melarang menerima upah karena mengajarkan al-Qur’an, sebagai lawan dari hadis diatas. Menerima upah atau gaji dari membaca dan mengajarkan al-Qur’an itu diperbolehkan, bahkan ada hadis yang menerangkan ada mahar nikah dibayar dengan mengajarkan surat al-Fatihah oleh suami.

Jadi diperbolehkan menerima:

1. Pemberian sehabis membaca al-Qur’an, tetapi tidak diperjualbelikan.
2. Upah atau gaji karena mengajarkan membacanya.
3. Honor mengarang buku-buku agama.
4. Keuntungan mencetak al-Qur’an, tafsirnya, dan lain-lain.

Karena itu semua termasuk usaha dan mendakwahkan agama. Untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT ialah dengan mengingatkan bahwa usaha itu untuk dakwah Islamiyah dan karena Allah SWT.

Kahar Masyhur bependapat, bahwa seharusnya upah dan gaji mereka itu diperhatikan baik-baik dan jumlahnya kira-kira memenuhi, agar terjamin kehidupan mereka dan keluarganya. Alangkah baiknya, jika ada sesuatu badan yang memikirkan dan mengurus ekonomi mereka itu, sebab mereka berbuat untuk kepentingan umat Islam (umum). Kadang-kadang ada umat Islam yang memandang remeh jika seorang ustadz menerima upah, gaji, atau honor, dan lainnya sebagai balas jasa. Itu adalah suatu pemikiran yang salah, bukankah mereka juga manusia dan pula berkeluarga. Jika ekonomi mereka tidak terjamin, sehingga mereka mogok mengajarkan, maka seluruh masyarakat kegelapan penerapan agama.[12]

D. Pendidik Laksana Ayah Terhadap Anaknya

Seorang ayah terhadap pendidikan anaknya, sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan tingkah laku mereka. Oleh karena itu, apa dan bagaimana tingkah laku yang di lakukan oleh seorang ayah akan berpengaruh pula terhadap tingkah laku anaknya. Jika si ayah memberikan keteladanan, maka akan terkesan pula pada hati anaknya, begitu juga sebaliknya.[13]

Hadis di atas setidaknya mengajarkan 2 hal, yakni pendidik haruslah laksana orang tua bagi yang di didik dan adab qodhil hajah (berak dan kencing). Orang Islam diwajibkan meneladani Rasulullah SAW, terlebih orang yang berprofesi sebagai pendidik. Rasulullah SAW mengatakan “sesungguhnya saya mengajarimu laksana ayah bagimu”, sedemikian jauhnya sampai dalam hal bersuci saja Beliau menjelaskan dengan sedemikian detailnya. Tidak ada isyarat tabu dalam hal ini, sehingga kita pun tidak boleh sungkan untuk mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan ini. Orang tua adalah manusia yang sangat menyayangi anak-anaknya, dengan demikian pendidik pun harus dengan kasih sayang ketika mengajar selayaknya mengajar anaknya sendiri.[14]



                            
[1]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari, juz I (Bairut: Dar al Kitab al Alamiyah, 1992), hlm. 268.
[2]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari juz I..., hlm. 18.
[3]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari juz I..., hlm. 25.
[4]Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih al Bukhari, juz 9 (Bairut: Dar al Kitab al Alamiyah, 1992), hlm. 30.
[5]Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abi Daud, juz I, (Jakarta: Maktabah Dahlan, t.th), hlm. 3.
[6]Sayyid Ahmad Al Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadits, (Bandung: Sinar Baru Bandung, 1993), hlm. 673.
[7]Syihabuddin Abi Fadz Al Asqolani, Fathul Bari’, Juz 3, (Beirut: Darul Fikar, t.th), hlm. 32.
[8]Ali Mudlofir, Pendidik Profesional: Konsep, Strategi, dan Aplikasinya dalam Peningkatan Mutu Pendidik si Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 110.
[9]Hasbi Ash-Shiddieqy, 2002 Mutiara Hadits, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 184 – 186.
[10]Imam Syihabuddin Ahmad Bin Muhammad al-Qasthlmani, Irsyadus Syari’, Juz I: Syarah Shahih al Bukhori, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1996), hlm. 180 – 181.
[11]Sayyid Ahmad Al Hasyimi, Syarah Mukhtaarul,... hlm. 476 – 477.
[12]Kahar Masyhur, Bulughul Maram Jilid I, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), hlm. 514 – 515.
[13]Djumransajah dan Abdul Malik Karim Amrullah, Pendidikan Islam Menggali “tradisi”, mengukuhkan Eksistensi, (Malang: Penerbit UIN-Malang Press, 2007), hlm. 86 – 87.
[14]Al-Abadi, Aunul Ma’bud: Syarah Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Kutub, 1990), hlm. 15.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama