Hajat kurikulum pendidikan di Indoensia terus mengalami perbaikan dari tahun ke tahun, untuk dapat mencetak generasi yang unggul di masa yang akan datang. Tidak hanya sekedar kognitifnya saja, tapi semua aspek bahkan spiritualnya. Pemberlakuan kurikulum 2013 menghajatkan penanaman etika dan moral pada peserta didik, sebagai sebuah acuan utama mencetak generasi unggul negeri ini. Karena melihat manusia Indonesia sudah menyimpang jauh dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Rasa persaudaraan sudah luntur, jiwa pancasila sudah hilang, perkelahian menjadi pemandangan biasa, begitu juga dengan tawuran antara pelajar dan mahasiswa. Menghilangkan jiwa sudah menjadi santapan berita, seakan-akan di negeri ini sudah tidak ada aturan. Yang berani, merekalah yang menang.
Fenomena itu menjadikan para praktisi pendidikan berpikir ulang membuat kurikulum, dengan menonjolkan karakter pada kurikulum tersebut, agar peserta didik menjadi orang yang dapat diandalkan, baik bagi bangsa, agama, dan masyarakat. Walaupun sebenarnya saya pun tidak setuju dengan pendidikan karakter. Karena ada yang lebih urgen dari hanya sekedar pendidikan karakter untuk membentuk jiwa-jiwa anak bangsa.
Tapi hajat baik ingin menjadikan anak bangsa yang bermoral, berbudi pekerti, dan mempunyai karakter yang khas dan unggul. Tidak dibarengi dengan proses pembentukan guru-guru yang mempunyai karakter unggul juga. Tidak pada proses belajar mengajar di sekolah, walaupun ada sebagian. Atau proses pembentukan calon guru di perguruan tinggi. Tidak hanya sekedar guru, tapi juga lulusan-lulusan yang menpunyai kakrakter kebangsaan yang kuat sebagaimana tradisi bangsa ini.
Sangat miris melihat bagaimana calon-calon guru, pemikir, aktivis, pemberi kebijakan. Saat mereka masuk di bangku kuliah, sudah dijejali dengan karakter-karakter buruk oleh mereka sendiri yang berada di lingkungan perguruan tinggi.
Beberapa hari yang lalu, selasa 26 Agustus 2013. Di sebuah perguruan tinggi agama Islam negeri di daerah Jawa Timur. Apa yang saya lihat sangat bertolak belakang dengan tradisi masyarakat bangsa Indonesia, apalagi tradisi perguruan tinggi. Calon-calon pendidik, pemikir, aktivis, dalam sebuah acara OSCAR perguruan tinggi. Mahasiswa yang menjadi trainner, pembentuk mental jiwa calon mahasiswa, dengan seenaknya mengeluarkan kata-kata tidak baik yang dapat membentuk karakter pada calon mahasiswa baru, dan itu akan melekat pada kepribadian mereka. “jancok, asu, mahasiswa bodoh”, dan kata kasar lainnya tidak henti-hentinya diucapkan oleh mahasiswa senior kepada calon mahasiswa baru dalam sebuah OSCAR.
Tidak hanya sekedar satu atau dua orang saja, hampir sebagian besar dari mereka secara bergantian mengucapkan kata-kata itu, dengan berteriak di dekat kuping calon mahasiswa. Sebenarnya sederhana, mereka hanya diminta untuk segera berkumpul di tempat acara OSCAR dengan berlari. Mereka yang terlihat lamban dalam lari, mendapat kata-kata kasar dari mahasiswa senior dari ujung jalan sampai tempat berkupul. Tidak hanya mahasiswa saja yang berteriak, mahasiswi senior pun tidak kalah mengumpat dan berteriak di telingan calon mahasiswa baru.
Lama saya memperhatikan perilaku mereka. Hati sesak, masih belum menerima perilaku mereka dengan umpatan-umpatan kasar. Sejatinya pembentukan mental adalah pembentukan jiwa-jiwa agar kuat dan tahan banting, berjiwa besar, mencetak orang-orang yang percaya diri dengan dirinya, bangga sebagai mahasiswa dan penerus bangsa. Bukan pembentukan jiwa-jiwa kasar dan pemberontak, tanpa pertimbangan akal dan hati. Padahal bangsa kita bukanlah bangsa dengan perilaku amoral, baik perkataan maupun perbuatan. Atau mereka, mahasiswa senior juga sudah dibentuk dengan jiwa preman, melawan dan memberontak juga sebelumnya. Saya juga tidak tahu. Tapi di sebuah sticker sepeda motor milik salang seorang mahasiswa tertulis, “saya memberontak, makanya saya menjadi mahasiswa”. Apakah motto ini menjadi penggugah mereka berbuat kasar, memberontak, dan berlaku “kasar” pada orang lain.
Pendidikan mental polisi maupun tentara tidak sampai mengelaurkan kata-kata yang membentuk karakter menjadi brutal sperti preman. Tapi jiwa yang dibentuk adalah jiwa pemberani dan bangga sebagai bangsa Indonesia, dan mempertahankan kesatuan bangsa Indonesia.
Pembentukan mental seharusnya, pembentukan mental sebagai orang yang percaya diri, bangga dengan statusnya, bangga dengan negaranya, sehingga terbentuk menjadi karakter yang kuat pada diri mereka. Tidak pembentukan mental yang menjurus pada mental brutal, preman, merusak, permusuhan, perkelahian, dan lain sebagainya.
Mungkin ada orang yang bertanya, “itu kan sekedar perkataan saja, hanya guyonan”,. Tapi ingatlah perkataan akan lebih membekas ketimbang perbuatan pada pembentukan mental. Seperti seseorang yang terkena dengan silatan lidah lebih berbahaya ketimbang orang yang terkena silatan pedang. Kalau kena pedang, masih bisa dicari obatnya, tapi kena silatan lidah, akan sangat susah untuk mencari obatnya. Bisa saja itu menjadi mental yang akan terus turun menurun, melampiaskan sakitnya kepada orang orang, tanpa berkesudahan.
Kita ingin, penerus bangsa ini dibentuk dengan mental ksatria dan berjiwa pemimpin. Bukan mental preman, perusak, permusuhan, pemberontakan, dan lain sebagainya. Kita boleh saja benci dengan penjajahan belanda selama berabad-abad, tapi bukan berarti kita menularkan pembeontakan dan keberingasan. Tapi bagaimana mencetak para kesatria dan pemimpin untuk masa depan bangsa Indoensia yang lebih baik.
Oleh karena itu tugas perguruan tinggi untuk melakukan itu. Karena perguruan tinggi yang membentuk dan mencetak generasi-generasi bangsa yang unggul. Kalau pencetak generasi saja tidak bisa melakukannya, makalah tunggulah generasi-generasi masa depan yang brutal, tanpa arah dan tujuan. Sarjana-sarjana pintar tapi merusak Negara sendiri. Semakin pintar, semakin cerdas mengakali bangsa dan tidak taat aturan. Wallahu A’alam bi al shawab
Posting Komentar