BAB SYARAT-SYARAT SHOLAT

(Fasal) syarat-syarat sholat sebelum melakukannya ada lima perkara.

(فَصْلٌ وَشَرَائِطُ الصَّلَاةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ)
Lafadz “asy syuruth” adalah bentuk kalimat jama’ dari lafadz “syarth”. Dan syarat secara bahasa adalah bermakna tanda.

وَالشُّرُوْطُ جَمْعُ شَرْطٍ وَهُوَ لُغَةً الْعَلَامَةُ
Dan secara syara’ adalah sesuatu yang menentukan syahnya sholat, namun bukan termasuk sebagian dari sholat.
وَشَرْعًا مَا تَتَوَقَّفُ صِحَّةُ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ وَلَيْسَ جُزْأً مِنْهَا
Dengan qoyyid ini, maka mengecualikan rukun. Karena sesungguhnya rukun adalah sebagian dari sholat.
وَخَرَجَ بِهَذَا الْقَيِّدِ الرُّكْنُ فَإِنَّهُ جُزْءٌ مِنَ الصَّلَاةِ.


Suci dari Hadats

Syarat pertama adalah sucinya anggota badan dari hadats kecil dan besar ketika mampu melakukan.
الشَّرْطُ الْأَوَّلُ (طَهَارَةُ الْأَعْضَاءِ مِنَ الْحَدَثِ) الْأَصْغَرِ وَالْأَكْبَرِ عِنْدَ الْقُدْرَةِ
Adapun faqidut thohurain (tidak menemukan dua alt bersuci yaitu air dan debu), maka hukum sholatnya sah namun wajib baginya untuk mengulanginya -ketika sudah mampu bersuci-.
أَمَّا فَاقِدُ الطَّهُوْرَيْنِ فَصَلَاتُهُ صَحِيْحَةٌ مَعَ وُجُوْبِ الْإِعَادَةِ عَلَيْهِ

Suci dari Najis

Dan suci dari najis yang tidak dima’fu pada pakaian, badan dan tempat. Mushannif akan menjelaskan yang terakhir ini (suci tempat) sebentar lagi.

(وَ) طَهَارَةُ (النَّجَسِ) الَّذِيْ لَا يُعْفَى عَنْهُ فِيْ ثَوْبٍ وَبَدَنٍ وَمَكَاٍن وَسَيَذْكُرُ الْمُصَنِّفُ هَذَا الْأَخِيْرَ قَرِيْبًا.
Tempat Yang Suci

Syarat ke tiga adalah bertempat di tempat yang suci.

(وَ) الثَّالِثُ (الْوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ)
Maka tidak sah sholatnya seseorang yang sebagian badan atau pakaiannya bertemu najis saat berdiri, duduk, ruku’, atau sujud.
فَلَا تَصِحُّ صَلَاةُ شَخْصٍ يُلَاقِيْ بَعْضُ بَدَنِهِ أَوْ لِبَاسِهِ نَجَاسَةٌ فِيْ قِيَامٍ أَوْ قُعُوْدٍ أَوْ رُكُوْعٍ أَوْ سُجُوْدٍ
Masuk Waktu Sholat

Syarat ke empat dalah mengetahui masuknya waktu atau menyangka masuk waktu berdasarkan dengan ijtihad.

(وَ) الرَّابِعُ (الْعِلْمُ بِدُخُوْلِ الْوَقْتِ) أَوْ ظَنِّ دُخُوْلِهِ بِالْإِجْتِهَادِ
Sehingga seandainya ada seseorang yang melakukan sholat tanpa semua itu, maka sholatnya tidak sah, walaupun tepat waktunya.
فَلَوْ صَلَّى بِغَيْرِ ذَلِكَ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَإِنْ صَادَفَ الْوَقْتَ

Menghadap Kiblat

Syarat ke lima adalah menghadap kiblat, maksudnya Ka’bah.

(وَ) الْخَامِسُ (اسْتِقْبَالُ الْقِبْلَةُ) أَيِ الْكَعْبَةِ
Ka’bah disebut kiblat karena sesungguhnya seseorang yang melakukan sholat menghadap padanya. Dan disebut dengan Ka’bah, karena ketinggiannya.

سُمِّيَتْ قِبْلَةً لِأَنَّ الْمُصَلِّيَ يُقَابِلُهَا وَكَعْبَةً لِارْتِفَاعِهَا
Menghadap kiblat dengan dada adalah syarat bagi orang yang mampu melaksanakannya. Dan mushannif mengecualikan dari hal ini yang beliau jelaskan dengan perkataan beliau di bawah ini.
وَاسْتِقْبَالُهَا بِالصَّدْرِ شَرْطٌ لِمَنْ قَدَرَ عَلَيْهِ. وَاسْتَثْنَى الْمُصَنِّفُ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ.

Keadaan yang diperkenankan  Tidak Menghadap Kiblat

Diperkenankan tidak menghadap kiblat saat melaksanakan sholat di dalam dua keadaan.

(وَيَجُوْزُ تَرْكُ) اسْتِقْبَالِ (الْقِبْلَةِ) فِي الصَّلَاةِ (فِيْ حَالَتَيْنِ
Yaitu saat syiddatul khauf (keadaan genting) ketika melakukan perang yang diperkenankan, baik sholat fardlu ataupun sunnah.

فِيْ شِدَّةِ الْخَوْفِ) فِيْ قِتَالٍ مُبَاحٍ فَرْضًا كَانَتِ الصَّلَاةُ أَوْ نَفْلًا
Dan yang ke dua adalah ketika melaksanakan sholat sunnah di atas kendaraan saat bepergian.

(وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ)
Sehingga, bagi seorang musafir yang melakukan perjalanan yang diperkenankan syareat walaupun jaraknya dekat, maka diperkenankan melaksanakan sholat sunnah menghadap ke arah tujuannya -walaupun tidak menghadap kiblat-.

فَلِلْمُسَافِرِ سَفَرًا مُبَاحًا وَلَوْ قَصِيْرًا التَّنَفُّلُ صَوْبَ مَقْصِدِهِ
Dan bagi musafir yang naik kendaraan, maka tidak wajib baginya untuk meletakkan keningnya di atas pelana semisal, akan tetapi ia diperkenankan memberi isyarah saat ruku’ dan sujudnya. Namun sujudnya harus lebih rendah dari pada isyarah untuk ruku’nya.

وَرَاكِبُ الدَّابَةِ لَايَجِبُ عَلَيْهِ وَضْعُ جَبْهَتِهِ عَلَى سَرْجِهَا مَثَلًا بَلْ يُوْمِئُ بِرُكُوْعِهِ وَسُجُوْدِهِ وَيَكُوْنُ سُجُوْدُهُ أَخْفَضَ مِنْ رَكُوْعِهِ
Adapun musafir yang berjalan kaki, maka ia harus menyempurnakan ruku’ dan sujudnya, menghadap kiblat saat melakukan keduanya, dan tidak berjalan kecuali saat berdiri dan tasyahud.
وَأَمَّا الْمَاشِيْ فَيُتِمُّ رَكُوْعَهُ وَسُجُوْدَهُ وَيَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ فِيْهِمَا وَلَا يَمْشِيْ إِلَّا فِيْ قِيَامِهِ وَتَشَهُّدِهِ

(Sumber : Kitab Fathul Qorib)

Baca juga artikel kami lainnya :  Tugas Para Malaikat


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama