Hampir satu bulan sudah pemberlakuan satu arah (one way) di Kota Malang, terutama di jalan MT. Haryono dan Gajayana diterapkan. Kepadatan lalu lintas menjadi pertimbangan walikota menerapkan satu arah, terutama di beberapa titik yang menjadi rawan kamacetan. Seperti di perempatan Jalan Soekarno dengan Universitas Brawijaya, pertigaan Gajayana dan MT. Haryono, dan perempatan Gajayana dengan ITN dan Brawijaya yang menuju ke arah MATOS (Malang Town Square). Kemacetan paling parah adalah saat pulang kerja, tempat ini macet total, baik dari arah barat, timur, selatan dan utara. Antrean paling panjang tentu dari arah utara yang memang banyak lembaga pendidikan di sana. Kemacetannya pun tidak hanya saat masih dua arah, setelah satu arah pun kemacetannya pun tidak kalah panjang.
Pemberlakuan satu arah (one way) di jalan-jalan tersebut, ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju. Beberapa hari lalu, masyarakat yang tidak setuju dengan satu arah (one way) melakukan orasi di kantor walikota, menuntut pengembalian dua arah di semua jalan yang diberlakukan satu arah (one way). Mereka beralasan bahwa dengan pemberkuan satu arah telah membuat perekonomian mereka hancur, penghasilan tidak menentu, dan bahkan ada di antara mereka yang tidak membuka toko dan kiosnya karena sepi orang yang berbelanja. Begitu juga dengan kecelakaan lalu lintas, menurut mereka, setelah pemberlakuan satu arah (one way) banyak terjadi kecelakaan karena kendaraan, terutama sepeda motor terlalu ngebut. Ini menyebabkan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah yang diberlalakukan satu arah (one way) merasa kesusahan untuk menyebrang jalan.
Tuntutan penolakaan satu arah (one way) tidak hanya sekedar dengan melakukan aksi demonstrasi, tapi jauh sebelumnya masyakat telah membetangkan spanduk-spanduk panjang dengan berbagai macam tuntutan dan dibubuhi tanda tangan, menganggap Abah Anton tidak pro masyarakat kecil, padahal sebelum menjadi walikota, slogan Abah Anton adalah pro wong cilik. Seharusnya Abah Anton mempertimbangkannya, sebelum memberlakkan satu arah (one way).
Satu arah (one way) sebenarnya hanya diberlakukan pada saat jam-jam sibuk kerja, yaitu di pagi hari dan sore hari. Tapi kenyataannya diberlakukan dari pagi sampai menjelang petang. Mulai jam 18.00, jalan satu arah kembali menjadi dua arah sampai pagi.
Memang pertumbuhan kendaraan sepeda motor tidak dapat dihindari, apalagi darinya pendapatan Negara dan daerah sangat banyak sekali. Akan susah mengurainya untuk sementara, kecuali dengan memperbanyak jalan dan melakukan rekayasa lalu lintas dengan pemberlakuan satu arah di beberapa tempat atau sistem buka tutup beberapa ruas jalan.
Kasus lalu lintas di Kota Malang, memang sangat pelik. Menjadi kota pendidikan menuntut banyak fasilitas yang harus disediakan, terutama jalan. Tidak hanya sekedar orang Malang saja yang menggunakan fasilitas tersebut, tapi dari berbagai macam daerah, kabupaten, dan provinsi. Jika setiap mahasiswa yang kuliah di Kota Malang membawa sepeda motor/mobil, maka pertumbuhan sepeda motor dan mobil pun akan sangat banyak sekali setiap tahunnya.
Tapi melihat kebijakan walikota dengan memberlakukan satu arah (one way) di beberapa jalan yang dianggap sering terjadi kemacetan sudah benar, hanya ada beberpa yang perlu menjadi perhatian untuk dituntaskan, yaitu pertama; kebijakan pemberlakuan satu arh (one way) hanya waktu jam sibuk dari pukul 06.00 – 18.00. Kedua; satu arah hanya untuk kendaraan pribadi, sedangkan angkutan umum tidak.
Kedua masalah tersebut menjadi urgent dalam pandagangan saya, karena di sinilah intinya yang menjadikan masyarakat menolak satu arah (one way) yang digagas pemerintah kota Malang. Kebijakan sata arah (one way) menurut saya harus full, tidak setengah-tengah. Karena ini akan memberikan pandangan dan penafsiran kepada masyarakat untuk melakukan pelanggaran, dan menganggap tidak menjadi masalah menggunakan jalur dua atau dua arah, karena tidak ada konsekuensi terhadap aturan tersebut, karena pada jam-jam tertentu dibuka untuk dua arah. Seharusnya jika ingin menerapkan satu arah, maka tetapkan jalur satu arah untuk seterusnya. Apakah pada siang hari atau pada malam hari. Tapi dengan syarat harus melihat bentangan jalan yang dijadikan satu arah. Jangan sampai menerapkan satu arah, tapi jalur alternatif dan alur belok tidak disediakan. Artinya menerapkan satu arah harus dibarengi dengan persediaan dan pembuatan jalur kiri dan kanan yang lebih banyak juga. Minimal setiap 20 meter ada jalan yang menghubungkan jalan satu arah dengan jalan satu arah lainnya atau dua arah. Contohnya seperti jalan yang ada di pasar besar Kota Malang. Walaupun satu arah, tapi alternatif jalur keluar masuk dari satu arah juga lebih banyak. Maka dengan itu tidak akan terjadi kemacetan dan penentangan dari masyarakat. Karena untuk sementara, mereka yang terkena satu arah, akan sangat susah mencari jalur tertentu yang berlawanan dan harus memutar balik kendaraan sampai satu kiloan panjangnya dan bahkan lebih.
Kedua, kebijakan satu arah seharusnya untuk semua kendaraan agar tidak terjadi konflik. Seperti yang terjadi saat ini. Orang-orang yang berusaha (berdagang) sepanjang jalur satu arah praktis sangat dirugikan. Saat sepeda motor dan mobil pribadi terkena satu arah, sedangkan angkutan umum tidak. Mereka yang mempunyai pertekoan di arah satu jalur tentu orang tidak akan melirik dan bahkan tidak akan mampir ke toko mereka. Lebih baik mereka mampir di toko yang ada di sebelah kiri. Sebelah kanan digunakan untuk jalur angkot dan bahkan sepanjang jalannya diberikan penghalang jalan dengan batu dan tali. Orang yang melintas pun akan berpikir dua tiga kali untuk singgah. Sehingga menimbulkan penentangan dari masyarakat.
Oleh karena itu, pemberlakuan satu arah seharusnya untuk semua kendaraan bermotor, baik pribadi, dinas, maupun angkutan umum. dengan itu, pemerintah Kota Malang harus berpikir ulang untuk melakukan rekayasa lalu lintas, agar semuanya tidak dirugikan dan jalan tidak macet, baik pada jam kerja atau sepi.
Sebenarnya kalau diperhatikan dengan seksama, kemacetan yang terjadi di Kota Malang hanya terjadi di jalan perempatan Soekarno-Brawijaya dan perempatan ITN-Brawijaya. Kemacetan yang terjadi di Soekarno-Brawijaya tidak akan terjadi apabila semua jalan berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu jalan menuju Brawijaya tidak hanya sekedar untuk mahasiswa dan dosen Brawijaya saja dan tidak berbayar, maka kendaraan yang dari arah barat MT. Haryono dan dari jembatan Soekarno tidak kumpul di satu tempat. Apalagi jalur kearah timur ditutup dan kendaraan harus memutar jembatan. Maka menurut saya, dari arah barat diperbolehkan langsung ke timur tanpa harus memutar balik arah. Jalan yang masuk ke Brawijaya dijadikan jalur umum untuk tembus kearah MATOS atau kalau memang tidak memungkinkan, pintu masuk Brawijaya itu ditutup total dan dialihkan ke tempat lain, maka kemungkinan besar tidak akan terjadi kemacetan.
Sedangkan di perempatan ITN-Brawijaya, karena jalurnya adalah jalur pendidikan dan usaha, seharusnya jalan di semua arah tersebut diperlebar. Terutama di jalur ITN dan jalur yang ke kampus Muhammadiyah. Dan diusahakan masa tunggu lampu merah di atur untuk empat jalur tersebut, tidak membiarkan jalur berbarengan walaupun dengan durasi yang lebih lama. Kecuali tidak ada yang boleh mengambil jalur belok kanan atau kiri.
Posting Komentar