I. Pendahuluan
Agama atau keagamaan sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dipahami dan dikaji melalui berbagai sudut pandang. Agama-agama yang telah berkembang menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Salah satu sudut pandang yang dapat dikembangkan bagi pengkajian itu adalah pendekatan sejarah. Berdasarkan sudut pandang tersebut, dapat dipahami dalam berbagai dimensi. Betapa banyak persoalan hingga dalam perkembangannya sekarang, bisa dipelajari dengan berkaca kepada peristiwa-peristiwa masa lampau, sehingga segala kejadian masa lalu itu memungkinkan untuk dijadikan alternatif rujukan di dalam menjawab persoalan-persoalan masa kini.
Untuk bisa menjelaskan fenomena sejarah agama secara rasional dan objektif, dalam makalah ini akan dijelaskan pendekatan sejarah dalam memahami agama.
II. Pengertian Pendekatan Sejarah
Yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[1] Dalam studi ilmu perbandingan agama, pendekatan atau sudut pandang berkaitan dengan sikap ilmiah atau kerangka keilmuan.
Sedangkan sejarah atau historis adalah berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.[2]
Jadi, pendekatan sejarah ini berusaha untuk menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide agama dan lembaga-lembaganya dengan perantara periode-periode tertentu. Juga untuk memahami kekuatan-kekuatan yang ada pada agama itu dalam periode tersebut dalam menghadapi pelbagai masalah. Oleh karena itu, studi ini harus dimulai dengan waktu yang dapat diketahui dalam sejarah manusia untuk merekonstruksi permulaan agama.[3]
Menurut Hasan Usman (1986), metodologi penelitian sejarah adalah suatu periodesasi atau tahapan-tahapan yang ditempuh untuk suatu penelitian sehingga dengan kemampuan yang ada dapat mencapai hakikat sejarah. Hakikat yang ditemukan dalam sejarah merupakan hakikat yang valid tetapi relatif, sedangkan tujuan dari penelitian sejarah adalah membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan objektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi, serta menyintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan kuat.
Ciri-ciri penelitian menggunakan pendekatan sejarah adalah:
1. Penelitian sejarah lebih bergantung pada data yang diobservasi orang lain daripada yang diobservasi oleh peneliti sendiri.
2. Peneliti sejarah sering kali menjanjikan koleksi informasi yang tak layak, tidak reliabel, dan berat sebelah.
3. Penelitian sejarah bergantung pada dua data, yakni data primer dan data skunder. Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti secara langsung melalui observasi atau penyaksian kejadian-kejadian yang dituliskan. Sedangkan data skunder merupakan data yang diperoleh dari sumber skunder, yakni peneliti melaporkan hasil observasi orang lain yang telah lepas dari kejadian aslinya.
Sebagai salah satu cabang disiplin ilmu sejarah, sejarah agama-agama menggunakan pendekatan melalui studi historis fakta-fakta dan seluk-beluknya. Studi ini bertujuan untuk melihat apa yang eksis dan apa yang manifest. [4]
Sejarawan agama berusaha mencari fakta-fakta agama secara historis untuk memahaminya dan berusaha supaya dimengerti oleh orang lain. Mereka berusaha untuk bertindak adil serta netral terhadap keduanya (fenomena keagamaan dan sejarah fenomenal keagamaan) dan tidak akan mengorbankan salah satunya. Sudah barang tentu sejarawan agama juga mengarahkan kepada mensistematiskan segala hasil penemuannya, merefleksikan (membiasakan) pada struktur gejala-gejala keagamaan.[5]
III. Cara Kerja Pendekatan Sejarah
A. Tahap-tahap Penggunaan Metode Pendekatan Sejarah
Pendekatan sejarah lebih mengutamakan orientasi pemahaman atau penafsiran terhadap fakta sejarah. Dalam hal ini, sejarah perperan sebagai metode analisis. Penelitian menggunakan pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat ditempuh dengan dimulai dari penentuan topik penelitian berdasarkan asumsi atau problematika ilmiah di sekitar sejarah agama. Kemudian di susun proposal penelitian yang berisi penjelasan arti penting suatu masalah yang akan diteliti, kerangka metodologis, dan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam kegiatan penelitian.
Pengumpulan sumber sejarah (heuristik) dilakukan terhadap berbagai sumber sejarah agama yang mempunyai nilai akurat, autentik, dan kredibel, sehingga dalam penelitian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber yang diperoleh perlu dipertimbangkan apakah termasuk sumber primer atau sumber skunder, yakni sumber yang langsung atau tidak langsung memberikan informasi tentang peristiwa-peristiwa agama dalam sejarah.[6]
Di antara para tokoh ahli yang mulai ambil tempat dalam kegiatan pengumpulan data tentang agama atau kepercayaan dengan menggunakan metode historis adalah sebagai berikut:
1. Augueste Comte (1852) dengan bukunya Cathecisme Positivisme (buku tanya jawab tentang agama).
2. F.M. Muller (1856) dengan bukunya Essays on Comparative Mytology (tentang studi perbandingan agama).
3. Carles Darwin (1859) dengan bukunya On The Origin of Species by Means of Natural Selection.
4. Herbert spencer (1862) dengan bukunya First Principles Dan System Of Synthetics Philosophy.
5. E.B Taylor (1871) dengan bukunya Primitive Culture.
6. Andrew Lang (tokoh modern) dengan bukunya The Making Of Religion (1898).[7]
B. Contoh Pendekatan Sejarah Untuk Mengkaji Suatu Agama
1. Agama Yahudi
Agama Yahudi dipanggilkan dalam literature di Barat dengan Judaisme dan di dalam literature berbahasa Arab disebut Yahudiyah. Sebutan Judisme itu bermula dipergunakan dalam literaur pihak Yahudi sendiri di sekitar tahun 100 sebelum Masehi, yakni di dalam II Makkibi, 2:21 dan 8:1, yang di susun dalam paduan bahasa Grak-Yahudi.[8]
Agama Yahudi adalah agama yang diturunkan Tuhan kepada Nabi Musa, yang diajarkan kepada bani Israel dengan Taurat sebagai kitab sucinya yang esensinya terletak pada perintah sepuluh Tuhan. Pengertian agama Yahudi sebagaimana yang dimaksud di atas. Maka sejarah agama ini, tentu harus dimulai pula dari Musa. Nabi Musa dilahirkan di Mesir pada tahun 1593 sebelum Masehi. Ayah ibunya berasal dari suku Lewi, salah satu suku yang dinasabkan kepada salah seorang putra Ya’qub dengan istrinya Liah.
Menurut alur Al-Kitab asal usul bangsa Yahudi adalah keturunan salah satu cabang ras Semitik kuno yang berbahasa Ibrani (kejadian 10:1, 21-32; 1), (tawarikh 1:17-28, 34; 2:1,2). Hampir 4000 tahun yang lalu, Ibrahim nenek moyang mereka beremigrasi dari kota besar Ur Kasdim yang sangat makmur di Sumeria ke negeri Kana’an. Darinya garis keturunan orang Yahudi dimulai dengan Ishak putranya dan Yakub cucunya, yang namanya diubah menjadi Israel (kejadian 32:27-29).
Nabi Ya’kub menikah dengan dua orang sepupunya (dari sebelah ibu), yaitu Liah dan Rahil, kemudian menikah lagi dengan Zilfah, yaitu jariah Liah dan Bilhah, yaitu jariah Rahil. Dari keempat istrinya, ia mendapatkan 12 putra, yang menjadi pendiri 12 suku, di antaranya ialah:
a. Dari Liah melahirkan: Raubin, Syam’un, Lawi (dari keturunannya lahir Nabi Musa), Yahuza/Yehuda (dari namanya diambil nama ‘Yahudi’), Yassakir, dan Zabulun.
b. Dari Rahil melahirkan: Yusuf dan Benyamin.
c. Dari Zilfah melahirkan: Jad dan Asyir.
d. Dari Bilhah melahirkan Dan dan Naftali.
Di antara garis keturunan tersebut, untuk bangsa Yahudi, Musa as mendapat tempat yang sangat istimewa meskipun Isa juga diutus untuk bangsa Israel. Musa dianggap memenuhi peranan penting sebagai perantara perjanjian Taurat yang Allah berikan kepada Israel, di samping sebagai nabi, hakim, pemimpin dan sejarawan (Keluaran 2:1-3:22).[9]
Beliau semenjak masa kanak-kanak hingga dewasa dan diangkat Tuhan menjadi Nabi, Nabi Musa juga menyaksikan secara langsung bagaimana nasib kaum Israel hidup di Mesir. Bekerja sebagai budak yang tertindas. Melihat penderitaan bangsa ini, Musa berjuang, membawa mereka keluar dari kegelapan hidup dalam penindasan, berpindah ke negeri yang telah dijanjikan untuk mereka. Tugas menyelamatkan bangsa ini , dilaksanakan oleh Musa dengan baik, karena itulah tugas yang diberikan oleh Tuhan dalam firman-firmanNya yang diterima Musa, setelah Dia mengetahui keadaan kaum ini.
Sepeninggalan Musa bani Israel melupakan Tuhannya (Yehovah) kembali. Mereka mulai memuja patung anak lembu emas lagi yang mereka buat sendiri. Karena pelanggaran ini, mereka harus menanggung kepahitan hidup mengembara lagi selama 40 tahun di padang tandus. Musa, nabi besarnya meninggal dunia sebelum dapat memimpin kaumnya memasuki negeri yang dijanjikan itu sebab sebagian yang dikatakan oleh seorang penulis Yahudi “mereka belum siap memasuki negeri itu, dan negeri itu pun belum sedia menerima mereka”.
Akhirnya umat Yahudi berhasil memasuki kanaan di bawah Yoshua, setelah lebih dahulu memerangi penduduk daerah Arab selama beberapa tahun. Setelah Yoshua meninggal, umat Israel kembali lagi meninggalkan ajaran Musa, dan mulai menyembah Baal dan Astartes, unsur-unsur ketuhanan bangsa kanaan. Atau mereka mulai membayangkan Tuhan, Yehovah untuk dilambangkan sebagai ular. Tapi pelambangan ini segera dihancurkan oleh Yehezekil. Ditempat lain Yehovah disembah dalam bentuk anak sapi. Peti buatan musa bersama umatnya diangkat ke mana-mana dianggap sebagai salah satu tempat atau alat untuk disembah yang paling penting.
Dalam buku “al-mutala’at fil-adyanil alamiyah”(selayang pandang tentang agama-agama di dunia ), bahwa Yahudi itu mempunyai ikatan dengan bangsa tertentu, sebagaimana dibuktikan oleh namanya “Jewisme” atau “Hebrewisme”, dn sama dengan ‘Hinduisme”(agama Hindu), yakni agama yang tertutup, atau agama yang bukan untuk dipropagandakan . seruannya, merupakan suatu paduan untuk suatu umat yang tertentu pula, atau sebagai secuil kebudayaan dari suatu masyarakat tertentu yang tidak dapat menerima orang-orang asing.[10]
2. Agama Sikh
Sikhisme (bahasa Punjabi) adalah salah satu agama terbesar di dunia. Agama ini berkembang pesat pada abad ke 16 dan 17 di India. Kata Sikhisme berasal dari kata Sikh, yang berarti “murid” atau “pelajar”. Agama Sikh atau Sikhisme adalah sebuah agama orang India , agama ini mengandung sedikit ajaran Islam dan Hindu di bawah semboyan “Bukan Hindu dan bukan Muslim”. Agama Sikh bermula di Sultanpur, berhampiran dengan Amritsar di wilayah Punjab, India. Pendiri dari agama Sikh ini ialah Guru Nanak (1469-1539).[11]
Pada suatu hari, ketika Nanak pulang ke rumah dari menyepi sambil membaca syair-syair Ramanand (ajaran Hindu Brahma) dan Kabir (ajaran Islam) di hutan (waktu itu ia berumur 30 tahun), dengan tiba-tiba ia berkata kepada istrinya bahwa dia adalah seorang guru.
Istrinya bertanya: “Apakah guru itu?”
“Guru adalah seorang yang mengajarkan suatu agama”, jawab Nanak.
“Agama yang bagaimana yang engkau ajarkan?”, tanya ayahnya.
“Agama yang saya ajarkan bukan agama Hindu bukan pula agama Islam”. Nanak menjelaskan faham yang dianutnya, yaitu mempercayai satu Tuhan dan kasta-kasta dalam masyarakat harus dihapuskan, dan pemujaan terhadap berhala-berhala itu pun harus dihentikan, karena hal yang demikian adalah perbuatan dosa. Selain itu untuk melaksanakan pengabdian kepada Tuhan yang satu mestilah di bawah pimpinan seorang guru. Sedangkan gurunya adalah saya sendiri.
Nanak mempunyai seorang pelayan yang pandai bernyanyi dan suaranya amat merdu. Dia membawa pelayannya mendatangi berbagai tempat berkumpul banyak orang. Pelayan itu langsung bernyanyi, orang ramai berkumpul, dan ketika itulah Nanak menyampaikan ajaran-ajarannya kepada mereka. Begitulah cara dia menyampaikan ajarannya kepada masyarakat ramai.
Agama Sikh percaya kepada adanya satu Tuhan dan dipanggil waheguru. Selepas beliau meninggal dunia (70 tahun), kedudukannya digantikan oleh seorang muridnya yang bernama Angad. Ketika Angad meninggal dunia, ia digantikan seorang bernama Amar, setelahnya digantikan Ram dan digantikan lagi oleh Arjan, sebagai pemimpin kelima bagi pengikut Nanak.
Arjan mengumpulkan ucapan-ucapan dan kata-kata Nanak serta pidato-pidatonya dan syair-syair Ramanand dan Kabir dijadikan sebuah buku yang diberi nama “Granth Saheb”. Buku itulah yang dijadikan kitab suci dari pengikut Nanak.
Mereka mempunyai lambang tersendiri untuk membedakan mereka. Tanda-tanda mereka itu adalah:
a. Kes, yaitu berambut panjang.
b. Kunga, yaitu sisir kayu pendek di kepala.
c. Kach, yaitu kulit badan yang dicacah (tato).
d. Kara, yaitu berkalung besi.
e. Khanda, yaitu keris pendek berujung dua yang selalu dibawa kemana-mana.[12]
3. Agama Shinto
Agama Shinto di Jepang itu tumbuh dan hidup dan berkembang dalam lingkungan penduduk, bukan datang dari luar. Nama asli bagi agama itu adalah Kami no Michi yang bermakna Jalan Dewa.
Pada saat Jepang berbenturan dengan kebudayaan Tiongkok maka nama asli itu terdesak ke belakang oleh nama baru, yaitu Shin-To. Nama baru itu perubahan bunyi dari Tien-Tao, yang bermakna Jalan-Langit. Perubahan bunyi itu serupa halnya dengan aliran Chan, sebuah sekta agama budha madzhab mahayana di Tiongkok, menjadi aliran Zen sewaktu berkembang di Jepang.
Agama Shinto itu berpangkal apada mitos bahwa bumi Jepang itu ciptaan dewata yang pertama-tama dan bahwa Jimmu-Tenno (660 SM), kaisar jepang yang pertama itu, adalah turunan langsung dari Ameterasu omi kami, yakni dewi matahari, dalam perkawinannya dengan Tuoki Iomi, yakni dewa bulan. Sekalian upacara dan kebaktian terpusat seluruhnya pada pokok keyakinan tersebut.
Sejarah perkembangan agama Shinto di Jepang dapat dibagi kepada beberapa tahap masa sebagai berikut:
a. Masa perkembangannya dengan pengaruh yang mutlak sepenuhnya di Jepang, yaitu dari tahun 660 SM - 552 M , di dalam masa 12 abad lamanya.
b. Masa agama Budha dan ajaran Kungfutzu dan ajaran Tao masuk ke Jepang, yaitu dari tahun 552 M - 800 M, yang dalam masa dua setengah abad itu agama Shinto memperoleh saingan berat. Pada tahun 645 M kaisar KOTOKU merestui agama budha dan menyampaikan Kami no Michi (Mihoji, 2:195). Pada tahun 671 M, sang Kaisar membelakangi dunia dan mengenakan pakaian rahib. (Mihoji, 2:302).
c. Masa Shintonisasi secara berangsur antara agama Shinto dengan tiga ajaran lainnya, yaitu dari tahun 800 M - 1700 M, yang dalam masa 9 abad itu pada akhirnya lahir Ryobu-shinto (shinto-42). Dibangun Oleh kobo-diasyi (774 - 835 M) dan Kita Batake Chikafuza (1293 - 1354 M) dan Ichijo kanoyoshi (1465 - 1500 M) dan lain-lainnya.
Kemunduran pengaruh agama Shinto pada masa belakangan itu dapat disaksikan pada kenyataan bahwa upacara keagamaan yang terpandang sangat penting dalam agama Shinto, yaitu upacara Oho-Nihe (Penambalan mahkota antara tahun 1465 - 1687 M, sudah dikesampingkan oleh acara keagamaan Buddha).
Kitab Suci agama Shinto, kitab suci yang tertua dalam agama Shinto itu ada dua buah, akan tetapi disusun sepuluh abad sepeninggal Jimmu Tenno 660 SM, Kaisar Jepang yang pertama. Dan dua buah lagi disusun pada masa yang lebih belakangan. Keempat kitab itu adalah sebagai berikut:
a. Kojiki, yang bermakna catatan peristiwa purbakala. Disusun pada tahun 712 M, sesudah kekaisaran Jepang berkedudukan di Nara yang ibukota Nara itu dibangun pada tahun 710 M menurut model ibukota Changan di Tiongkok.
b. Nihonji, yang bermakna riwayat Jepang, disusun pada 720 M oleh penulis yang sama dengan dibantu oleh seorang pangeran istana.
c. Yengishiki, yang bermakna berbagai lembaga pada maswa Yengi. Kitab itu disusun pada abad sepuluh masehi terdiri atas 50 bab. Tetapi inti isinya ialah, mencatat 25 buah Norito, yakni doa-doa pujaan yang sangat panjang pada berbagai upacara keagamaan.
d. Mayoshiu, yang bermakna himpunan sepuluh ribu daun. Berisikan bunga rampai, terdiri atas 4496 buah sajak, disusun antara abad ke-5 dengan abad ke-8 M.
Sekalian kitab suci itu berisikan himpunan kisah-kisah legendaris, nyanyian-nyanyian kepahlawanan, beserta sajak-sajak tentang asal-usul kedewaan, asal-usul kepulauan Jepang dan kerajaan Jepang. Ragam kisah tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan para Dewa dan para Dewi dalam kayangan di langit. Catatan peristiwa pada masa-masa akhir barulah didasarkan pada kenyataan sejarah.[13]
[1]M.Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta:Sinar Grafika Offset, 2006), hlm. 15
[2]Taufik Abdullah, dkk. Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105
[3]A. Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1992), hlm.76
[4]Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama: Pengenalan Awal Metodologi Studi Agama-agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 39 – 40
[5]Zakiah Daradjad, dkk, Perbandingan Agama I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 8
[6]Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 83 – 85
[7]Bashori dan Muliyono, Ilmu Perbandingan Agama, (Indramayu: Pustaka Sayyid Sabiq, 2010), hlm. 91
[8]Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Al-Husna Dzikra, 1996, Cet. ke III), hlm. 268
[9]http://erniheryani.wordpress.com/2012/06/07/asal-usul-dan-pembawa-agama-yahudi/, di unduh Rabu 25-9-2013 pkl. 14.33
[10]Ahmad Syalabi, Perbandingan Agama: Agama Yahudi, (Jakarta: Sawo Raya, 1996, Cet. ke II), hlm, 185
[11]Hidayatulisnainy, Sejarah Agama Sikh, dalam http://sejarahagamasikhHidayatulisnainyBlog.html, di unduh Jumat 27-9-2013, pkl. 17.23 WIB
[12]Agus Hakim, Perbandingan Agama: Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi, Shabiah, yahudi, Kristen, Hindu, Budha, Sikh, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2002), hlm. 190 – 192
[13]Joesoef Sou’yb, Op. Cit, hlm. 206 – 210
Posting Komentar