I. PENDAHULUAN
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi ini. Maka keberadaannya di bumi sangat dibutuhkan agar kelangsungan hidup manusia tetap lestari. Oleh karena itu, manusia dianjurkan untuk menikah bagi yang sudah mampu dari segi apapun. Selain untuk menghindari perzinaan, nikah juga merupakan Sunnatullah. Dalam masalah pernikahan ini, tentunya ada ketentuan-ketentuan tersendiri.
Pada esensinya, Allah SWT telah menentukan jodoh masing-masing bagi manusia. Tidak pandang berlainan ras, suku, etnik, bangsa dan golongan. Jika telah menjadi jodohnya, maka ibarat “Asam digunung dan garam dilaut, akhirnya bertemu juga“.
Agama Islam juga telah mengatur tentang tata cara pernikahan, di antaranya adalah masalah sighot akad nikah, wali nikah, dan mahar (maskawin). Hal ini mempunyai maksud agar nantinya tujuan dari pernikahan yaitu terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat tercapai tanpa suatu halangan apapun.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Ketentuan Sighot Akad Nikah
B. Ketentuan Wali dalam Pernikahan
C. Mahar dan Ketentuan Mahar
III. PEMBAHASAN
A. Ketentuan Sighot Akad Nikah
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang berakad dalam bentuk ijab qabul. Ijab merupakan penyerahan dari pihak pertama sedangkan qabul merupakan penyerahan dari pihak kedua.Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapan: "Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Al Qur'an ". Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapan :"Saya terima nikahnya anak bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Al Qur'an".[1]
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwasannya akad nikah, ijab qabul boleh dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja yang oleh masyarakat umumnya dianggap sudah menyatakan terjadinya nikah.[2]
Syarat- syarat akad adalah :
a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul. Yang melakukan ijab boleh dari pihak laki-laki dan boleh pula dari pihak wali perempuan. Bentuk ijab dari suami umpamanya ucapan suami: "Saya nikahi anak Bapak yang bernama si A dengan mahar satu kitab Al Qur'an". Qabul dari pihak wali perempuan bunyinya: "Saya terima engkau menikahi anak saya yang bernama si A dengan mahar satu kitab Al Qur'an".
b. Materi ijab qabul tidak boleh berbeda
c. ijab qabul harus diucapkan secara bersambungan
d. ijab qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang
e. ijab qabul tidak boleh menggunakan lafaz yang mengandung maksud membatasi perkawinan untuk masa tertentu.[3]
Syarat kedua mempelai diantaranya :
a. Suami disyaratkan seoarng muslim. Apabila non Muslim berakad nikah ,meskipun ia ahli kitab, terhadap perempuan muslimah maka akadnya batil
b. Istri disyaratkan bukan perempuan yang haram untuk dinikahi.[4]
Al Qurthubi rahimahullah mengatakan,
وأجمعت الامة على أن المشرك لا يطأ المؤمنة بوجه، لما في ذلك من الغضاضة على الاسلام.
“Para ulama kaum muslimin telah sepakat tidak bolehnya pria musyrik (non muslim) menikahi (menyetubuhi) wanita muslimah apa pun alasannya. Karena hal ini sama saja merendahkan martabat Islam.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين
“Ayat ini (surat Al Mumtahanah ayat 10) menunjukkan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki musyrik (non muslim)”[5]
Dengan demikian, lafadz ijab qabul oleh wali/ayah terhadap calon mempelai pria adalah:
أَنْكَحْتُكَ وزَوَّجْتُكَ بِبِنْتِى . . . بِمَهْرٍ . . . حَالاً.
Artinya; “Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan engkau dengan anakku….(nama) dengan maskawinnya….tunai.” (ijab)
قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيـْجَهَا بِالْمَهْرِ. . . حَالاً.
Artinya; “Aku terima nikahnya dengan maskawinnya….tunai.” (qabul)
Bagi yang bisa bahasa dan mengerti bahasa Arab hendaklah dengan bahasa Arab, tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya.[6]
B. Ketentuan Wali dalam Pernikahan
Wali adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali dalam suatu pernikahan merupakan suatu hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita, yang bertindak menikahkannya.[7]
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya, dan keberadaan seorang wali dalam akad nikah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali.
Seorang wali dalam suatu akad nikah sangat diperlukan, karena akad nikah tidak sah kecuali dengan seorang wali (dari pihak perempuan).
Dasarnya ialah firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 232:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya
Dan Hadits Rasulullah SAW:
عنعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ أِذْنِ وَلِيُّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ (أخرجه الأربعة إلا النسائ وصححه أبوعوانة وأبن حبان والحاكم)
Dari ‘Aisyah RA., ia berkata: Rasulullah SAW. telah bersabda: “Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizin walinya, maka batallah pernikahannya (H.R. Imam yang empat kecuali Nasa’I dan disahkan oleh Abu ‘Awanah dan Ibnu Hibban serta Hakim)
Orang yang berhak menjadi wali :
a. Wali dekat atau wali qarib (الولى القريب)
Yaitu ayah dan kalau tidak ada ayah pindah kepada kakek. Keduanya mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadap anak perempuan yang akan dinikahkannya.
b. Wali jauh atau wali Ab'ad (الولى البعد), yang menjadi wali jauh ini secara berurutan adalah :
1. Saudara laki-laki kandung
2. Saudara laki-laki seayah
3. Anak saudara laki-laki kandung
4. Anak saudara laki-laki seayah
5. Paman kandung
6. Paman Seayah
7. Anak paman kandung
8. Anak paman seayah
9. Ahli waris kerabat lainnya kalau ada
10. Wali hakim[8]
Sedangkan yang berhak menempati kedudukan sebagai wali itu ada tiga kelompok :
a. Wali Nasab yaitu wali berhubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.
b. Wali Mu'thiq yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekakannya.
c. Wali Hakim yaitu wali dalam kedudukannya sebagai hakim atau penguasa.
Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali bila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.
b. Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali
c. Muslim. Tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi wali untuk muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al Imran ayat 28 :
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.
d. Orang Merdeka
e. Tidak berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya bahwa orang yang berada dalam pengampuan tidak dapat berbuat hukum dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu tindakan hukum
f. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah. [9]
C. Mahar dan Ketentuan Mahar
Mahar adalah mas kawin yang diberikan oleh seorang lelaki kepada calon istrinya, baik berupa uang maupun barang, guna membuktikan kesetiaan suami terhadap calon istrinya. Menurut istilah fiqih mahar berarti pembayaran yang wajib diberikan kepada perempuan karena akad nikah, dan sebagai kehalalan terhadap wanita.
Membayar mahar hukumnya wajib, namun tidak termasuk rukun nikah. Karena itu bentuk dan nilai mahar disunnahkan disebutkan dalam sighat akad nikah.[10]
Kewajiban pemberian mahar sesuai dengan Al Qur’an surat An Nisa ayat 4:
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ اَنَّ النَّبِيَّ ص جَائَتْهُ امْرَأَةٌ وَ قَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، اِنِّى قَدْ وَهَبْتُ نَفْسِى لَكَ، فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَالَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، زَوِّجْنِيْهَا اِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ فِيْهَا حَاجَةٌ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ ص. اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ، فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَ سُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ص: قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Sahl bin Sa’ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”. Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur’an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur’an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim][11]
Mahar merupakan suatu perlambang yang jumlah nilainya tidak ditentukan banyak atau sedikitnya akan tetapi terletak pada perasaan orang yang memberi dan keinginannya untuk memuliakan teman hidupnya yang telah Allah halalkan baginya yang termasuk hak mutlak istri. Karena mahar tidak ditentukan jumlah nilainya mahar harus berbentuk dan mengandung manfaat.
[1] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 87-88
[2] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 6, (Bandung: PT Alma’arif,1980), hlm. 55
[3] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 88
[4] Abdul Majid Mahud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Yogyakarta: Era Intermedia, 2005), hlm. 50-51
[5] Muhammad Abduh Tuasikal, Nikah Beda Agama, http://muslim.or.id/aqidah/nikah-beda-agama.html, diakses tanggal 4 Desember 2013 pukul 16:00 WIB
[6] Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama Semarang,1993), hlm.22-24
[7] Ibid, hlm. 65
[8] Amir Syarifuddin, Op.Cit, hlm. 92-93
[9] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di InndonesiaAntara Fiqh Munakahah dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 76-78
[10] Ilham Abdullah, Kado Buat Mempelai Membentuk Keluarga Sakinah Mawadah Warohmah, (Yogyakarta: Absolut, 2004), hal.246-249.
[11] http://1001hadits.blogspot.com/2012/01/9-tidak-ada-ketentuan-besar-kecilnya.html
Posting Komentar