MANHAJ PEMIKIRAN AHLUL TASAWUF

I. Pendahuluan

Tasawuf menurut Ibnu Khaldun adalah ilmu yang memberi perhatian khusus pada usha menjaga tata krama bersama Allah S.W.T. secara dzahir dan batin, yakni dengan tetap menjalankan hukum-hukum syari’at secara formal sambil mensucikan hati secara substansial sehingga fokus hanya kepada Allah.[1]

Tasawuf tumbuh dan berkembang sebagai menifestasi dari kesadaran spiritual manusia tentang dirinya sebagai makhluk Tuhan. Kesadaran itu mendorong manusia-para sufi utnuk memusatkan perhatiannya untuk beribadah kepada Allah S.W.T yang dibarengi dengan kehidupan asketisme atau zuhud, dengan tujuan pertama sebagai pembinaan moral. Kecenderungan kepada moralitas itu, mendorong mereka untuk mempercakapkan pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya. Tindak lanjut dari percakapan itu mengarahkan mereka kepada aspek-aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan atau hubungan Khaliq dengan makhluk.

Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai manhaj/ pemikiran ahlul tasawuf falsafi dan ahlul- tasawuf akhlaqi. Selain itu, akan dibahas juga mengenai tarekat dan perkembangannya.[2]

II. Rumusan masalah

A. Bagaimana  manhaj/ pemikiran Ahlul-Tasawuf Falsafi?
B. Bagaimana manhaj/ pemikiran Ahlul-Tasawuf Akhlaqi?
C. Bagaimana perkembangan tarekat dan Substansi pemikiran tarekat?

III. Pembahasan

A. Manhaj/ pemikiran ahlul-Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (makrifat) dengan pendekatan Rasio (filsafat) hingga menuju ke tempat yang lebih tinggi bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.[3]

Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat di kalangan para filosof, seperti filosof tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengSan Tuhan dan lain sebagainya. [4]

Tasawuf falsafi lebih menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asa rasio dengan pendekatan-pendekatan filosof yang sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang-orang awam.

Menurut At-Taftazani, taawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad ke-6 H. Meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof sampai menjelang akhir-akhir ini.

Ciri umum taswuf falsafi adalah ajarannya samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (dzauq). Tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.

Menurut Ibnu Khaldun, ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, diantaranya yaitu: Pertama, latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta instropeksi diri yang timbul darinya. Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam ghaib, seperti sifat-sifat rabbani, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh. Ketiga, peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk keramatan atau keluarbiasaan. Keempat, menciptakan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya dan menyetujuinya.[5]

Dalam bukunya Nasirudduin, M. Ag, tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa (dzauq) tasawuf dan pemikiran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari tasawuf falsafi adalah menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.

Diantara konsep tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

a.) Fana’

Fana’ dalam tasawuf pada umumnya dipahami sebagai tidak adanya kesadaran indrawi dan yang disadari hanya Allah SWT. Sehingga orang yang tenggelam (fana’) kedalam Tuhan (fana’ fi al-khaliq) berarti tidak lagi sadar terhadap selain Tuhan.[6]

b.) Ittihad

Ittihad adalah apabila seorang sufi telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa’. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan.

c.) Hulul

Pengertian al-Hulul secara singkat ialah Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan dirinya dari sifat-sifat kemanusiaanya melalui fana atau ektase. Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya dan terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan.[7]

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

1. Ibn’Arabi

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al- wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya itu, tidak berasal dari dia, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentral tersebut.

Menurut Ibn’Arabi, wujud semua yang ada ini hanyalah satu dan pada hakikatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (khalik dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira adanya perbedaan wujud khalik dan makhluk, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari kesatuan Dzatiyah, yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya.

2. Al-Jili dengan ajaran tasawufnya, yaitu:

a. Ajaran tentang insan kamil

Ajarannya yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Menurut Al-Jilli, Insan kamil adalah nuskhoh atau copy Tuhan, Al-jilli memperkuatnya dengan “Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang maha Rahman”. Hadis lainnya; “ Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya.

Sebagaimana diketahui Tuhan memiliki sifat seperti hidup, pandai, mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia Adam pun memiliki sifat-sifat seperti itu.Setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan Huwiyah Adam, dan Dzat Nya dihadapkan pada dzat Adam. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil dengan segala kesempurnaan-Nya. Al-jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat ilahiah itu pada dasarnya milik insan kamil sebagai suatu kemestian yang inheren dengan esensinya. Sebab, sifat-sifat dan nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan kepada insan kamil.[8]

b. Maqamat

Al-Jilli dengan filsafat insan kamilnya merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi. Tingkat-tingkat itu adalah:

Pertama, Islam yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi tidak hanya dilakukan ritual saja, tetapi ahrus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Kedua, Iman yakni membenarkan denagn sepenuh keyakinan akan rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Ketiga, as-shalah, yakni dengan maqam ini seorang sufi mencapai tingkat ibadah yang terus-menerus kepada Allah dengan penuh perasan khauf dan raja’. Keempat , ihsan, yakni dengan maqam ini menunjukkan bahwa seorang sufi telah mencapai tingkat menyaksikan efek (atsar) nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya, ia merasa seakan-akan berada di ahdapan-Nya. Kelima, syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai iradah ayng bercirikan; Mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan pribadi. Keenam, shiddiqiyah, istilah ini menggambarkan tingkat pencapaian hakikat yang makrifat yang diperoleh secara bertahap. Ketujuh, qurbah, maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan seseorang dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.[9]

3. Ibnu Sab’in dengan ajaran Tasawuf nya yaitu:

a. Kesatuan mutlak

Ibn Sab’in menggagas sebuah paham dalam tasawuf filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak, gagasan esensialnya adalah sederhana yaitu Wujud adalah satu alias wujud Allah semata. Wujud yang lainnya yaitu wujud yang satu itu sendiri.

Dalam paham ini, Ibn Sab’in menempatkan ketuhanan pada tempat pertama. Sebab wujud Allah menurutnya adalah Asal segala yang ada pada massa lalu, masa kini maupun masa depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dia rujukan pada wujud mutlak yang rohaniyah.

Pemikiran Ibn Sab’in ini mengambil rujukan Dari Al-Qur’an, “Dia itulah Yang awal dan yang akhir yang dzahir dan yang batin.” (QS. Al-Hadid (57): 3).

b. Penolakan Terhadap Logika Aristotelian

Paham tentang kesatuan mutlak telah membuatnya menolak logika Aristotelian.Terbukti dalam karyanya Budd Al-Arif, ia menyusn suatu logika baru yang bercorak iluminatif, sebagai pengganti logika yang berdasarkan pada konsep jamak, Ibn Sab’in menanamkan logika barunya itu dengan logika pencapaian kesatuan mutlak, tidak termasuk logika yang bisa dicapai dengan penalaran tetapi termasuk tembusan Ilahi yang bisa membuat manusia bisa melihat apa yang belum dilihatnya maupun mendengar apa yang belum didengarnya. Dengan demikian logika tersebut bercorak intuitif.[10]

B. Manhaj/ pemikiran ahlul-Tasawuf Akhlaqi

Secara etimologi, tasawuf akhlaki bermakna membersihkan tingkah laku atau saling membersihkan tingkah laku.

Tujuan dari tasawuf ini yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan yang terpuji.

Pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang yang tahapannya terdiri dari: [11]

1. Takhalli

Takhalli yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku atau akhlak tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak.

2. Tahalli

Tahalli adalah upaya menghias diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik, membina pribadi agar berakhlak mulia. Sifat-sifat itu antara lain: tauhid, ikhlas, taubat, zuhud, hubb, wara’ sabar, syukur, dan lainnya.[12]

3. Tajalli

Tahap tajalli ini termasuk penyempurnaan kesucian jiwa. Para sufi sependapat bahwa tingkat kesempurnaan kesucian jiwa hanya dapat ditempuh dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.

Ciri-ciri tasawuf akhlaki antara lain:

1. Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam ajaran ajarannya, cenderung memakai landasan Qur’ani dan Hadis sebagai kerangka pendekatannya.

2. Kesinambungan antara hakikat dengan syari’at, yaitu keterkaitan antara tasawuf (sebagai aspek batiniyah) dengan fiqih (seb agai aspek lahiriyah).

3. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antar Tuhan dan manusia.

4. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan, pembinaan akhlak dan pengobatan jiwa dengan cara latihan mental (takhalli, tahallli, dan tajalli).

5. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat, terminlogi-terminologi yang dikembangkan lebih transparan.

Tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki adalah sebagai berikut:

1. Hasan Al-Bashri (21-110 H)

Prinsip ajaran Hasan Al-Bashri yang berkaitan dengan hidup kerohanian senantiasa diukurnya dengan sunnah Nabi. Dasar pendirian Hasan Al-Bashri adalah hidup zuhud terhadap kehidupan duniawi yang tahu terhadap dosanya dan selalu beribadah kepada Allah. Konsep zuhud Hasan Al-Bashri berdasarkan rasa takut kepada Allah, bukanlah takut masuk neraka, akan tetapi takut akan murka Allah S.W.T.[13]

2. Al-Muhasibi (165-243H)

a. Pandangan Al-Muhasibi tentang makrifat

Menurut Al-Muhasibi makrifat harus ditempuh melalui jalan tasawuf yang mendasarkan pada kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya tahpan-tahapan makrifat sebagai berikut: Tahapan pertama, yaitu taat. Taat merupakan awal dari kecintaan kepada Allah. Kedua, aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati. Ketiga, Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan keghaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Keempat, apa yang dikatakan oleh sementara sufi dan fana’ yang menyebabkab baqa’.

b. Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’

Pandangan al-Muhasibi mengenai khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam perjalanan seseorang dalam membersihkan jiwa.

Raja’ dalam pandangan al-Muhasibi harus melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan oleh mukmin yang sejati dan para sahabat Nabi. [14]

3. Al-Ghazali (450-505 H)

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menguraikan ajaran ketasawufannya dengan tamsil-tamsil dan analogi-analogi yang jelas dan mudah dipahami. Misalnya: keberadaan Tuhan secara realitas yang sebenarnya ngegla (terang benderang) ditamsilkan seperti halnya matahari. Manusia dengan kekuatan panca inderanya ditamsilkan seperti halnya kelelawar. Kelelawar selama hidupnya tidak bisa melihat matahari lantaran indera matanya terlalu lemah, tidak sesuai untuk menangkap cahaya matahari yang terlalu terang cahayanya.

Demikian pula mata manusia, tidak bisa menangkap cahaya Tuhan lantaran terlalu terang. Sedang sebenarnya Dzat Tuhan itu ngegla (terang benderang) tanpa tabir apa-apa. Jadi menrut Al-Ghazali cahaya Allah itu teramat terang, mata manusia tidak mampu menangkapnya. Oleh karena itu, manusia bisa menangkap cahaya Allah langsung menurut Al-Ghazali, dengan mata hatinya. Hati atau qalb oleh Al-Ghazali diibaratkan laksana cermin (mir’ah). Bila kaca hatinya dibersihkan dari kotoran keduniawiaan, akan mampu menangkap cahaya Allah, sehingga manusia bisa melihat bayang-bayang Allah secara langsung melalui cermin hatinya.[15]

C. Perkembangan tarekat dan substansi pemikiran tarekat

1. Perkembangan Tarekat

Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah yang artinya jalan, cara, aliran atau metode. Secara istilah tarekat adalah suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagamaan sebagai upaya spiritualisasi pamahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatullah.

Tarekat berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya.

Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, tarekat terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penamaan suatu tarekat diambil dari nama pimpinan kelompok belajar itu. Misalnya tarekat Naqsyabandiyah dinamai demikian adalah karena kelompok pembelajaran tasawuf itu dirintis oleh Bahauddin al-Naqsyaband. Hal ini berarti nampaknya tarekat mirip dengan aliran tasawuf-the sufi orders, atau semacam pranata sosial keagamaan yang visi dan misinya sufism.[16]

Dilihat dari sisi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula- mula timbul sebagai lembaga tidak dapat diketahui secara jelas. Akan tetapi nampaknya tarekat Taifuriyah adalah tarekat tertua.

Tarekat ini berdiri pada abad ke XI di Persia yang dikembangkan oleh Abu Yazid Al-Busthami al-Taifuriyah.

Namun perkembangan nyata tarekat adalah sekitar abad ke XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia( Irak ). Tarekat yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan tarekat yang berkembang di daerah Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid Al-Baghdadi. Pada era abad dua belas itu, di Khurasan berdiri tarekat Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi (w. 1169) dan tarekat Khawajaganiyat yang didirikan oleh Abdul Khaliq al-Ghazdawani (1220).

Tarekat Yasaviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru tarekat Bekthasiyah diidentikan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bektash(w. 1335). Terekat ini cukup populer pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena tarekat ini memiliki pasukan komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Usmani, yang disebut “jenisari”. Tarekat Naqsyabandiyah merupakan pengembangan dari tarekat Khawajaganiyah yang didirikan Muhammad Bahauddin an-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam perkembangan selanjutnya, tarekat ini menyebar ke Turki, India dan Indonesia dengan nama baru sesuai dengan pendirinya di kawasan setempat. Di Indonesia, tarekat yang merupakan cabang dari Naqsyabandiyah antara lain tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujaddidiyah, Ahsaniyah, dan lain-lain. Selain dari kedua induk tadi, tarekat yang tergolong rumpun khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia tarekat, seperti tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati(w.1379).

Tarekat yang berasal dari rumpun mesopotamia (Irak) anutannya berakar pada tasawuf Abdul Qadir Qasim Al-Junaidi yang meninggal sekitar tahun 910 atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir Al-Jailani(w.1078).Tarekat Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi(1234), tarekat Kubrawiyah yang dipelopori oleh Najamuddin Kubra(w.1221) dan tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Jalaluddin al-Rumi(w.1273), adalah tarekat-tarekat yang besar yang mengacu pada tasawuf Junaidi.

Tarekat Qadiriyah yang dibangun oleh Muhayyidin Abdul Qodir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui tarekat Shadziliyah yang di dirikan oleh Nuruddin as-Shadzili(w.1258) dan tarekat Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad Ibn Ali Ar-Rifai (w.1182). Tarekat yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas dihampir seluruh negeri Islam. Tarekat Faridiyah yang mengilhami lahirnya tarekat Sanusiyah dan Idrisiyah di Kawasan Afrika Utara , adalah tarekat-tarekat yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar tasawuf Dzuna Nun al-mishri (w.860). Tarekat Qadiriyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al-Ghawthiya sekitar tahun 1617.[17]

Dengan demikian, Tarekat yang pada awalnya dimaknai sebagai metode mendekatkan diri kepada Allah, berubah menjadi sistem pembelajaran tasawuf yang melembaga. Dalam tarekat sebagai lembaga, ditemui adanya seorang mursyid atau pembimbing dan biasanya didampingi satu orang asisten atau lebih yang disebut khalifah atau wakil, pengikutnya dinamai “ murid” yang berminat. Tempat untuk belajar dan pondokan semacam asrama disebut ribath atau zawiyah dan juga dinamai taqiyah yang dalam bahasa Persia disebut khonaqah.[18]

2. Substansi Pemikiran Tarekat

Sebagai jalan spiritual, tarekat ditempuh oleh para sufi atau zahid di sepanjang zaman. Setiap orang yang menempuhnya mungkin mempunyai pengalaman yang berbeda-beda. Sekalipun tujuannya adalah sama, yaitu untuk menuju atau mendekati Tuhan atau bersatu dengan-Nya.[19]

Sedangkan tarekat dalam arti metode spiritual, sebagaimana ynag dipraktikkan tarekat-tarekat tertentu, meliputi program penyucian jiwa, dzikir, tafakkur, meditasi, mendengarkan musik dan menari, qiyamul lail dan sebagainya.

Dalam hal ini kita melihat beberapa praktik yang berbeda antara satu tarekat dengan tarekat yang lain, tetapi sebenarnya substansi dan tujuan mereka adalah sama, yaitu mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ila Allah).[20]


                                     
[1]Muhammad fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlak, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm.6.
[2] A. Rivey Siregar, Tasawuf (Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 34.
[3] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.33.
[4]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.18.
[5] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.33-34.
[6] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2010), hlm. 109-110.
[7] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 152-156.
[8] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.37.
[9] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.38-39.
[10]Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.33-41.
[11] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf..., hlm.18.
[12]Muhammad Solikhin, Tasawuf Aktual Menuju Insan Kamil, (Semarang: Pustaka Nuun, 2004), hlm.15-16.
[13] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm. 206-207.
[14] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Harum Siregar, Akhlak..., hlm.217-219.
[15] Simuh, Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.162
[16] A. Rivey Siregar, Tasawuf ..., hlm. 264.
[17] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 266-268.
[18] A. Rivey Siregar, Tasawuf..., hlm. 264.
[19] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.16.
[20] Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk..., hlm.177.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama