I. Pendahuluan
Agama Islam berakar tunjang pada sikap percaya yang sungguh-sungguh atau tulus (iman). Meskipun mungkin pendekatan empiris dapat dilakukan, untuk menguji kebenaran suatu nilai keagamaan, tetapi dasar kebenaran suatu nilai keagamaan terutama terletak dalam verifikasi empiris, melainkan dalam percaya kepada pemberitaan dari atas (wahyu). Karena itu kedudukan sebuah kitab suci dalam agama adalah mutlak. Sebab itu dalam spektrum bidang kognitif manusia, agama menempati ujung yang berlawanan dengan pengetahuan alam. Ilmu pengetahuan, baik yang alamiah maupun yang sosial adalah netral. Artinya tidak mengandung nilai kebaikan atau kejahatan pada dirinya sendiri. Nilainya diberikan oleh manusia yang memilikinya atau menguasainya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang integrasi ilmu-ilmu keislaman dan sains modern di abad ke-21.
II. Rumusan Masalah
A. Bagaimana paradigma integrasi ilmu agama dan sains serta upaya islamisasi ilmu pengetahuan?
B. Bagaimana transformasi IAIN menjadi UIN di Indonesia?
III. Pembahasan
A. Paradigma Integrasi Ilmu Agama dan Sains serta Upaya Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
Hingga kini, masih kuat anggapan dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa “agama” dan “ilmu” adalah dua entitas yang tidak bisa dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya, baik dari segi objek formal - material, metode penelitian, kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing bahkan sampai ke institusi keagamaan.[1]
Pembicaraan tentang ilmu akan selalu hangat dan menarik untuk diperbincangkan, karena ilmu akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Ilmu tidak akan terhenti selama manusia masih mampu berpikir untuk mencermati segala fenomena-fenomena yang terjadi, baik fenomena dalam dirinya sendiri maupun di luar dirinya.[2]
Pada bagian lain, ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak selalu membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam waktu yang bersamaan, keduanya menimbulkan ancaman yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia. Tampaknya, sains dan teknologi itu melahirkan kondisi yang kontras: ada realitas yang positif dan ada pula realita yang negatif. Keduanya beriringan, realitas negatif menyertai realitas positif dan begitu juga sebaliknya. Akibat yang terjadi dari sains dan teknologi modern terhadap lingkungan semesta.
Dampak negatif dari sains dan teknologi modern itu dan itu bermula dari paradigma sekuler yakni model berpikir memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan duniawi, sehingga membahayakan kehidupan manusia. Ketika dampak negatif itu benar-benar merusak, islam harus meresponsnya dengan memberikan solusi terbaik. Kunto Wijoyo menegaskan bahwa dalam sebuah dunia di mana kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan menjadi dektruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, islam jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatiknya di bidang ilmu. Paradigma Islam di bidang keilmuan ini bertitik tolak pada wahyu yang mengandung premis-premis normatif terutama dari Al-Qur’an kemudian dirumuskan cara berpikir.[3]
Dalam pandangan islam posisi ilmu menempati tingkat yang sangat tinggi, karena itu tidaklah heran jika banyak nash baik Al-Qur’an maupun al-Sunnah yang menganjurkan kepada manusia untuk menuntut ilmu, di antaranya, firman Allah dalam surat Al-Alaq. Bentuk serta ilmu keislaman terangkum dalam syahadah, “kesaksian” yang menjadi dasar tauhid. Oleh karena itu, hal yang terpenting dari berbagai ilmu adalah ilmu tentang Tuhan, sedangkan ilmu tentang selain tuhan merupakan sarana untuk mencapai ilmu tentang Tuhan, karena segala sesuatu pasti akan kembali kepada-Nya.
Dalam hal ilmu, Al-Ghazali membaginya menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, ilmu-ilmu ini tidak ada manfaatnya baik di dunia maupun akhirat, seperti ilmu nujum, sihir, ilmu ramalan. Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, jenis ilmu ini dibagi menjadi dua, yaitu wajib ain dan wajib kifayah, yang termasuk kategori ilmu wajib ain untuk dipelajari ini mencakup ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya sedangkan ilmu yang termasuk fardhu kifayah mencakup ilmu keselamatan, kedokteran, hitung, dan lain-lain. Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan akan tercela jika dipelajari secara mendalam, karena akan menyebabkan kekacauan antara keyakinan dan keraguan serta membawa kekafiran, ilmu kategori ini mencakup filsafat, ilmu ilahiyat, logika dan lain-lain.
Berbeda dengan Al-Ghazali, Ibnu Arabi berpendapat bahwa ilmu terdiri dari ilmu tentang Tuhan, ilmu tentang dunia yang akan datang, ilmu tentang dunia ini, ilmu tentang penciptaan serta pemeliharaan dunia, maka segala urusan manusia akan selalu berada “di tangannya” di mana pun dia berada dan manusia pun sadar akan diri dan segala perbuatannya. Masih menurutnya, bahwa ilmu adalah sifat Tuhan yang meliputi segala sesuatu, sehingga ia merupakan karunia Tuhan yang paling besar. Sebagai karunia yang paling besar, ilmu merupakan tuntutan di samping agama bagi manusia dalam mengabdikan dirinya sebagai khalifah di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut memaknai hukum-hukum Allah yang kemudian diambil manfaatnya untuk membangun dunia ini. Namun begitu bahwa ilmu yang dijadikan pegangan tidak bisa lepas begitu saja dari agama karena agama merupakan puncak dari pencapaian, sedangkan ilmu adalah alat atau jalan dari pencapaian tersebut. Agama tidak mengadakan perubahan dan memang bukan alat pembaruan, melainkan ilmulah yang mengadakan perubahan dan menjadi alat pembaruan.
Dari sini tampak jelas bahwa tidak ada dikotomi antara agama dan ilmu. Agama dan ilmu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat berjalan sendiri-sendiri, karena ketika kita membiarkannya berjalan terpisah, hal itu merupakan malapetaka bagi manusia itu sendiri.[4]
Sejarah hubungan ilmu dan agama di barat mencatat bahwa pemimpin gereja menolak Teori Heliosentris Galileo atau teori Evolusi Darwin. Pemimpin gereja membuat pernyataan yang berada di luar kompetensinya. Sebaliknya Issac Newton dan tokoh-tokoh ilmu sekuler menempatkan Tuhan hanya sekedar sebagai penutup sementara lobang kesulitan (to fill gaps) yang tidak pernah terpecahkan dan terjawab oleh teori keilmuan mereka, sampai tiba waktunya diperoleh data yang lebih lengkap atau teori baru yang dapat menjawab kesulitan tersebut. Begitu kesulitan itu terjawab, maka secara otomatis intervensi Tuhan tidak lagi diperlukan. Akhirnya Tuhan dalam benak ilmuwan “sekuler” hanya ibarat pembuat jam (clock maker). Begitu alam semesta ini selesai diciptakan, Ia tidak peduli lagi dengan alam raya ciptaan-Nya dan alam semesta pun berjalan sendiri secara mekanis tanpa campur tangan tujuan agung ketuhanan.
Sementara dalam dunia timur, dalam hal ini dunia Islam, pengajaran ilmu-ilmu agama Islam yang normatif-tekstual terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu-ilmu sosial, ekonomi, hukum dan humaniora pada umumnya.[5]
Sejarah telah mencatat kontribusi peradaban islam dalam peradaban umat manusia, lewat kontribusi mereka dalam peradaban barat. Untuk itu barangkali dapat kita susun sederet nama intelektual islam yang terdiri dari para filosof, sastrawan, penulis, maupun ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. Berikut ini dapat kita ikuti deretan jenis kontribusi:
1. Astronomi
Astronomi ternyata bukan hanya dipelajari oleh para ilmuwan melainkan juga menarik minat para sultan, Khifah maupun alkhan yang menjadi raja dalam masyarakat muslim. Khalifah Al-Mansyur, misalnya, yang menjadi khalifah kedua dari bani Abasiyah yang berpusat di Baghdad (754-775 M), adalah termasuk salah seorang ahli astronomi dari mazhab Baghdad.
2. Matematika
Salah seorang ahli matematika muslim yang terkenal adalah Muhamad bin Musa bin Khawarizmi yang hidup di masa khalifah Al-Ma’mun, yang menulis buku Al-Jabar berjudul Al-Jabar Wal’maakalala (perhitungan dan simbol). Kata Al-jabar sendiri berarti perhitungan, dan istilah al-goritma berasal dari nama penemunya, yaitu Al-khawarizmi.
3. Kedokteran
Batang tubuh ilmu kedokteran telah ditulis oleh Rhases (Abu bakar ibnu zakaria Al-Razi ) dalam judul havi, yang ditulis dalam khalifah Al-Mansur. Havi merupakan satu dari Sembilan jilid buku kedokteran yang terpampang dalam fakultas kedokteran di Paris pada tahun 1395.[6]
4. Filsafat
Abu Yusuf Ya’kub al-Kindi di anggap termasuk ke dalam barisan terdepan para pemikir yang muncul pada periode pembentukan filsafat islam dan pada permulaan periode-periode transisi kebudayaan dari masa teologi murni ke masa di mana pemikiran islam berakulturasi dengan filsafat Yunani, Persia, India
B. Transformasi IAIN menjadi UIN di Indonesia
Aktivitas pendidikan dan keilmuan di Perguruan Tinggi Umum dan Perguruan Tinggi Agama di tanah air mirip-mirip seperti pola kerja keilmuan awal abad renaissance hingga era revolusi reformasi, yang sekarang ini mulai diratapi oleh banyak kalangan. Hati nurani terlepas dari akal sehat. Nafsu serakah menguasai perilaku cerdik pandai. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Lingkungan alam rusak berat. Tindakan kekerasan dan mutual distrust mewabah di mana-mana.[7]
Pendidikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan sebuah institusi sosial yang menjadi bagian integral dari masyarakatnya. Sebagai institusi sosial fungsi pendidikannya secara ideal menjadi fungsi budaya untuk melestarikan dan mengembangkan sistem nilai masyarakatnya. Sebagai suatu organized intelegence, ia menjadi centrum dari berbagai kecerdasan yang diorganisasi untuk menyelenggarakan sebuah masyarakat yang beradab. Dalam fungsi itu Perguruan Tinggi Islam mempunyai kekuatan vital karena bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sulit dibayangkan, ilmu pengetahuan akan dapat dipertahankan dan dikembangkan tanpa adanya lembaga yang bergerak di bidang itu.[8]
Belakangan ini, muncul ide di kalangan pembuat kebijakan pendidikan tinggi Islam untuk mengembalikan semangat kajian Islam yang lebih komprehensif lagi; disiplin keilmuan yang dicakup IAIN tidak melulu meliputi disiplin ilmu agama semata, namun juga ilmu-ilmu umum yang bernuansa keislaman, seperti psikologi, komunikasi, sosiologi, antropologi, dan lain sebagainya, ke depan IAIN akan dikembangkan dalam bentuk Universitas Islam Negeri (UIN) yang membawahi bidang kajian keislaman dan ilmu-ilmu sekuler.
Rencana besar transformasi IAIN menjadi UIN didasari oleh kesadaran futuristik umat Islam terhadap urgensi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan zaman yang begitu cepat. Selain itu, transformasi itu muncul sebagai wujud kesadaran umat islam yang tidak mau mengikuti pola dualisme keilmuan, antara ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu sekuler sebagai dampak historis kebijakan kolonialisme Belanda.[9]
Pengembangan dan konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Bukan berubah asal berubah, bukan sekedar ikut-ikutan, bukan pula sekedar proyek fisik. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[10]
Terlepas dari persoalan kontroversi transformasi IAIN menjadi UIN, hal menarik yang perlu digaris bawahi di kalangan IAIN adalah kecenderungan kajian Islam yang berlangsung di dalamnya. Sejak berdirinya, lembaga pendidikan tinggi Islam ini membawa dua tugas utama: sebagai lembaga keagamaan dan sebagai lembaga keilmuan. Sebagai sentral pengkajian keagamaan, IAIN membawa misi religius untuk memberikan pencerahan masyarakat muslim untuk memahami ajaran Islam (lembaga dakwah). IAIN diharapkan menjadi avant garde dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin akademis, bukan sebagai doktrin agama.[11]
Atas dasar berbagai analisa tentang konsep pendidikan Islam dan berbagai kritisi dari kalangan ilmuwan dan masyarakat terhadap masa depan IAIN, dapat dinyatakan di sini bahwa terdapat dua persoalan spesifik yang dihadapi IAIN, yaitu perihal esensi-substansi kurikulum yang masih berorientasi persial, dan perihal pemberdayaan kelembagaan dalam konteks manajemen dan relevansi SDM. Perubahan sejumlah IAIN menjadi UIN tidak menjadi persoalan sepanjang perubahan tersebut disertai dengan reformulasi esensi-substansi kurikulum, pemberdayaan tenaga birokrasi, pemberdayaan manajemen tenaga edukasi, yang kesemuanya dimaksudkan untuk merespons kebutuhan masyarakat pada era milenium ini.[12]
[1] M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 92.
[2] Abuddin Nata, dkk., Integrasi Ilmu Agama & Ilmu Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 111.
[3] Mujamil Qomar, Pemikiran Islam Metodologis Model Pemikiran Alternatif Dalam Memajukan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 210 – 211.
[4] Abuddin Nata, dkk., Integrasi..., hlm. 112 – 113.
[5] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 93 – 94.
[6] Abu Su’ud, Islamologi Sejarah, Ajaran dan peranannya dalam peradaban umat manusia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 201 – 206.
[7] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 94.
[8] Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 584 – 585.
[9] Masdar Hilmy dan Akh. Muzakki, Dinamika Baru Studi Islam, (Surabaya: Arkola, 2005), hlm. 54.
[10] M. Amin Abdullah, Islamic..., hlm. 399.
[11] Azyumardi azra, Studi-studi Agama Di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Dalam Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 169 – 170.
[12] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 201.
Posting Komentar