MEREKA YANG DIWAJIBKAN PUASA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, shalawat salam kepada Rasulullah SAW juga kepada para sahabat serta kepada para pengikut beliau sampai hari kiamat.
Pembaca Rahimakumullah!!!
Pada tulisan hari ini, pengasuh akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan syarat-syarat sah ibadah shaum, juga syarat-syarat mengerjakannya. Adapun yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dari yang wajib, sunat, makruh dan haram sudah kami tulis pada beberapa waktu yang lalu sebelum memasuki Ramadhan, karena itu kami tidak menggulanginya kembali.

Pembaca Rahimakumullah!!!
Puasa menurut syara’ seperti yang kami tulis pada tanggal 1 Ramadhan yang lalu, ia tidak sah dilakukan kecuali apabila ia memenuhi syarat berikut :

Islam, puasa tidak sah dilakukan oleh orang bukan islam, dan keislamanya itu dijamin dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Seandainya ia keluar dari Islam atau murtad pada sebagian hari, sekalipun beberapa detik maka puasanya batal atau tidak sah sehingga dengan sendirinya tidak ada pahalanya kelak diakhirat.

Dewasa ini, sering terjadi dimana saudara-saudara kita sebangsa hidup rukun satu sama lain dengan orang bukan islam, namun pada saat memasuki bulan Ramadhan tidak sedikit diantara mereka (bukan orang islam) yang ikut berpuasa atas nama toleransi, atau ikut berpuasa karena mereka simpati dengan ajaran Islam yang mulia, atau karena sebab lain. Maka sesuai dengan ketentuan diatas, puasa mereka tidaklah sah, semoga mereka diberikan hidayah oleh Allah SWT sehingga ia memeluk agama islam.

Berakal, syarat sah puasa itu adalah berakal dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Bila ia gila sekalipun sebentar sahaja, puasa menjadi batal. Adapun orang pitam maka batal puasanya, apabila ia pitam sepanjang hari dari terbit fajar sampai matahari tenggelam, dan sekiranya ada sadarnya sekalipun sebentar maka puasanya sah.

Naqa’ (suci) dari haid dan nifas sepanjang hari. Perempuan yang haid sekalipun hanya lagi beberapa menit tenggelamnya matahari, maka puasanya batal (tidak sah).

Harus mengetahui bahwa hari-hari dimana berpuasa padanya itu merupakan hari-hari yang diperbolehkan berpuasa, atau dengan kata lain dia harus mengetahui juga hari-hari yang tidak boleh kita berpuasa.

Berikutnya berkaitan dengan syarat-syarat sah shaum (puasa), ada lima yaitu :
Islam, orang yang tidak Islam tidak diperintahkan untuk berpuasa sesuai dengan perintah Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 183, sehingga bila ia masuk Islam tidak diwajibkan padanya untuk mengqada’ puasanya selama ia dalam kekafiran. Adapun orang yang murtad maka bila ia kembali kedalam Islam wajib ia mengqada’ puasanya, begitu juga dengan shalatnya selama ia murtad – Nauzubillah. Oleh sebab itu, kita mengingatkan saudara-saudara kami yang telah diberikan hidayah Islam, agar selalu menjaga nikmat Allah berupa hidayah dengan sebaik-baiknya jangan sampai lepas dari kita walaupun sedikit.

Mukallaf (baligh, berakal), anak kecil tidak wajib berpuasa tetapi walinya berkewajiban untuk menyuruh anaknya shalat dan berpuasa pada usia tujuh tahun dan boleh ia memukul anaknya dengan pukulan yang tidka melukakan apabila anak tersebut berumur sepuluh tahun.

Mampu berpuasa, kemampuan berpuasa itu dapat dilihat dari dua sisi (sudut) :
a.    Kemampuan bersifat hissi(dapat dipantau) secara nyata dengan panca indra seperti orang yang masih muda, belum tua bangka atau orang yang masih segar bugar. Bukan orang yang yang sakit menahun yang tidak diharapkan kesembuhannya. Karenanya orang yang sudah tua bangka dan orang yang sakit yang tidak mungkin sembuh tidak wajib mereka berpuasa.
b.    Kemampuan syar’iseperti perempuan yang sedang tidak haid atau nifas. Adapun wanita yang sedang haid dan nifas mereka termasuk orang yang tidak mampu secara syara’.

Sehat, orang yang sakit tidak wajib berpuasa, terlebih lagi apabila puasa membuat penyakit itu menjadi terlambat kesembuhanya atau penyakitnya akan bertambah parah.
Syarat kelima wajib puasa ialah orang itu sedang mukim atau tidak sedang musafir. Orang yang sedang musafir tidak wajib berpuasa asalkan perjalanan tersebut sepanjang dua marhalah atau lebih, yaitu delapan puluh dua kilometer, dengan catatan bahwa musafir itu mubah bukan dalam rangka untuk berbuat maksiat, karena mereka yang melakukan perjalanan dalam rangka berbuat maksiat mereka tidak mendapatkan dispensasi untuk tidak berpuasa.

Berbeda dengan seseorang yang melakukan perjalanan jauh dengan tujuan yang mubah, kemudian ditengah perjalanan ia tergoda sehingga terjerumus dalam kemaksiatan ia masih boleh melakukan rukhsah (keringanan) dengan tidak berpuasa asalkan ia mengqada’nya dibelakang hari. Namun demikian, bagi yang kuat berpuasa pada saat musafir lebih afdhal dia berpuasa. Sedangkan bagi yang merasa susah atau berat untuk berpuasa maka lebih afdhal dia tidak berpuasa.


Ya Allah terimalah amal ibadah puasa kami dan ibadah-ibadah lainnya selama Ramadhan yang penuh barokah itu. Amin Ya Rabbal Alamin. (Oleh: TGH. Shafwan Hakim)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama