JANCOK

Ucapan ini adalah ucapan umpatan yang hanya dikenal di daerah jawa timur, saat seseorang mengalami kekesalan, musibah, atau tidak tercapainya harapan dengan kenyataan yang ada. Artinya juga tidak ada, seperti umpatan yang lain seperti “asu” menunjuk pada binatang anjing atau umpatan lain tapi mempunyai makna. Baik untuk mengucapkan kekesalan atau menyerupakan perilaku orang yang diumpat dengan binatang tertentu.
Walapun bukan menjadi sebuah kebiasaan di daerah jawa Timur, tapi hampir semua tahu kalau ucapan “jancok” adalah umpatan. Jika dimaknai secara personal memberikan makna yang sangat jelek dari segi perasaan, bukan secara makna. Seseorang diumpat saja dengan sesuatu yang maknanya tidak mengandung sesuatu yang jelek pun akan tersinggung. Contoh seperti umpatan orang yang mengatakan, “matamu”, maknanya bagus, tapi dengan nada dan intonasi yang berbeda, menjadikannya sebagai ucapan pedas di telinga orang.
Umpatan “Jancok” di Surabaya dikeluarkan pada saat-saat tertentu, tidak terlalu diumbar dan dipakai oleh banyak orang. Walaupun karakter bahasa orang-orang Surabaya sedikit lebih “kasar” katanya. Tapi umpatan “Jancok” tidak banyak diucapakan mereka. Atau mungkin punya umpatan sendiri-sendiri. tapi sedikit terbalik dengan Malang ,ucapan jancok sangat sering terdengar, tidak hanya dari orang tua, muda, dan bahkan anak-anak kecil sangat fasih mengucapkannya. Atau mungkin bagi mereka ucapan tersebut menjadi salam dan bahkan jadi ucapan istigfar. Karena saat mereka bertemu dengan temannya dan berbicara sedikit, terdengar kata-kata “jancok”, dan bahkan saat mereka sedikit mendapat kekesalan atau musibah, bukannya kalimat istigfar yang keluar, tapi kata “jancok” yang pertama keluar. Apalagi kalau mereka sudah berkumpul sambil menonton bola atau permainan lainnya, tidak dapat dihitung berapa kali mereka mengatakan ‘jancok”.
Bagi mereka mungkin sah-sah saja, karena itu bahasa mereka. Tapi dalam ilmu budaya atau antroplogi, bahasa sering menjadi identitas seseorang. Mereka yang mempunyai bahasa sedikit lembut, biasanya mempunyai perilaku yang baik dan sopan. Begitu juga sebaliknya, mereka yang mempunyai bahasa kasar dan dengan nada suara yang lebih besar, biasanya mempunyai perilaku yang sedikit agak kurang baik. walapun tentunya tergantung dari pribadi setiap orang, karena bahasa bukan satu-satunya yang memberikan corak dan warna dari budaya seseorang.
Susahnya jika bahasa yang diucapakan menjadi sebuah perilaku yang jelek, maka itu akan menjadi watak dalam diri seseorang, dan untuk mengubahnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Dan berubah dari kebiasaan adalah sesuatu yang sangat berat, seperti meninggalkan makan nasi dan berpindah ke roti.
Tapi terlepas dari semua itu, tergantung setiap pribadi orang. Bukan berarti kemudian orang Malang mempunyai perilaku yang buruk. Mungkin saja ungkapan ini baru saja muncul dan menjadi trend di kalangan orang-orang saat ini. Namun perlu diantisipasi agar tidak menjadi sebuah kebiasaan dan memberikan pengaruh yang jelek kepada generasi berikutnya. Wallahu ‘a’alam

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama