REVIEW JURNAL:INTEGRATING SPRITUALITY AND ORGANIZATIONAL LEADERSHIP


REVIEW JURNAL INTERNASIONAL
INTEGRATING SPRITUALITY AND ORGANIZATIONAL LEADERSHIP

Judul Artikel             : On the Relation Between Organizational
   Justice and  Workplace Sprirituality
Penulis                       : Iman Sabbagh Molahosseini ( Departement of
  Management, Islamic Azad University, Iran)


TUJUAN PENULISAN
Perubahan budaya organisasi saat ini semakin kompleks dan tidak teratur. Individu dan sosial dilanda kegelisahan, ketidaksenangan, dan ketidakpuasan di lingkungan pekerjaan. Sudah banyak cara telah dilakukan untuk menghilangkan hal tersebut, namun belum dapat memperbaikinya. Kaena hal-hal tersebut berkaitan dengan maslaah ketenangan  dan kepuasan hati, maka dengan pendekatan spritualitas akan lebih dapat menyelesaikannya. Yaitu bagaimana di lingkungan kerja dihadirkan budaya-budaya religius yang dapat menghadirkan ketenangan antar semua individu.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan menggunkan hipotesa. Hipotesa utama dalam tulisan ini adalah ‘ ada hubungan antara organisasi dan spritulaitas di lingkungan kerja’. Sedangkan hipotesa (udjust) pendukung adalah; (1) ada hubungan antara keadilan distribusi dan rasa bekerja yang berarti, (2) ada hubungan antara keadilan distribusi dan rasa komunitas, (3) ada hubungan antara keadilan distribusi dan keselarasan dengan nilai-nilai organisasi, (4) ada hubungan antara keadilan prosedural dan rasa bekerja yang berarti, (5) ada hubungan antara keadilan prosedural dan rasa komunitas, (6) ada hubungan antara keadilan prosedural dan penyelarasan dengan nilai-nilai organisasi, (7) ada hubungan antara keadilan intraksional dan rasa bekerja yang berarti, (8) ada hubungan antara keadilan interaksionla dan rasa komunitas, (9) ada hubungan antara keadilan interaksionla dan keselarasan dengan nilai-nilai organisasi, dan (10) ada hubungan antara organisasi keadilan dan bekerja berdasarkan soritualitas lingkungan  beberapa variabel.
Untuk dapat mengukur hipotesa ada beberapa varibel penentu dalam tulisan ini yaitu; (1) Variabel Independen, organisasi keadilan, (2) Variabel Dependen, Lingkunngan spritualitas kerja, (3) interaksi varibel, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, usia, dan pengalaman kerja.

METODE ANALISA
Tulisan ini didasarkan pada keadilan dan spritualitas organisasi lingkungan kerja dengan fokus pada keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Serta aspek spritualitas yang mengedepankan mereka fokus pada pekerjaan, bermasyarakat dan keselarasan dengan nilai-nilai organisasi.
Teori yang digunakan/ Tinjauan Literatur
Teori dan kajian literatur yang dipergunakan dalam tulisan ini antara lain;
1.      Schappe (1998) diterbitkan sebuah makalah berjudul "Understanding employe job satisfaction: the importance of procedural and distributive justice" dengan berkonsentrasi pada perhatian perilaku adil dan dampaknya terhadap kepuasan kerja.
2.      Cropanzano dan Rupp (2002) telah melakukan penyelidikan yang komprehensif tentang keadilan organisasi dengan mempertimbangkan aspek perilaku nya.
3.      Hoy dan Tarter (2004) telah menyelidiki keadilan organisasi di sekolah-sekolah dalam makalah dengan judul "Organizational Justice in School: No Justice without Trust". Penelitian mereka menunjukkan bahwa, ada hubungan simbolis antara keadilan organisasional dan kepercayaan.
4.      Campbell dan Finch (2004) menganggap ada hubungan antara keadilan organisasional dan manajemen psikis. Mereka juga menemukan bahwa untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dengan efektif menggunakan teknik keadilan prosedural.
5.      Eberlin dan Tatum (2005) dalam makalah dengan judul "Organizational Jusstice and Decision Making" melakukan penelitian untuk menyelidiki keadilan organisasi dan pengambilan keputusan.
6.      DeCremer (2005) meneliti interaksi antara keadilan distribusi dan prosedural, dan dampaknya pada kolaborasi organisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari interaksi ini adalah kuat di mana ada ketergantungan organisasi yang kuat.
7.      Mitroff dan Denton (1999) telah dilakukan penelitian eksperimental paling serius tentang spiritualitas lingkungan kerja, menggunakan kuesioner dan wawancara dengan manajer sumber daya manusia pada lingkungan bekerja di Amerika Serikat. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa spiritualitas kerja dapat dikelola, dan manajemen ini adalah salah satu tugas paling penting dari manajer. Mereka menekankan bahwa metode spiritualitas manajemen harus dievaluasi tanpa terkecuali dari bagian lain.
8.      Kinjerski dan Skrypnek (2004) mendefinisikan spiritualitas di tempat kerja dengan menggunakan sebuah novel dan metode kuantitas. Dapat memberikan informasi yang komprehensif dan berharga tentang konsep spiritualitas lingkungan kerja.


TEMUAN dan PEMBAHASAN
Era globalisasi telah membawa semua orang pada kejumudan dengan konsep-konsep organisasi di lingkungan kerja dengan sesuatu yang dinilai dengan uang. Kemampuan dan motivasi kerja akan didapatkan apabila reward berupa materi sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Hal ini menjadi sebuah penyakit yang kronis, sehingga semua organisasi terjangkiti. Dengan keadaan seperti itu, para peneliti kemuadian melakukan analisa-analisa yang daapt memberikan motivasi kerja tanpa harus dengan pandnagan materi saja. Merekapun memberikan sebuah kesimpulan bahwa motivasi dari dalam yang berupa spritualitas mungkin dapat menjadi sebuah alternatif. Akhirnya para manajer di Amerika Serikat, akhir-akhir ini tertarik mengabungkan spritualitas dan manajemen dalam struktur organisasi/perusahaan. Dengan kombinasi ini diharapkan mereka akan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai spritulitas yang akan memberikan motivasu dan dapat menjanjikan kesuksesan.
Sejak tahun 1992, penelitian tentang spritualitas di lingkungan pekerjaann meningkat drastis. Ini ditandai dengan beberapa jurnal penelitian mengangkat masalah sprituliatas. Seperti Jurnal Bussines Week dan Jurnal Fortune yang mempublikasikan artikel yang berkaitan dengan spritualitas di tempat kerja. Yang mana menurut mereka, spritualitas di tempat kerja akan menjadi pembicaraan hangat pada abad dua puluh satu ini. Bahkan lebih spesifik, dibuat sebuah akademi manajemen yang mengkhususkan diri dalam mengkaji ‘ manajemen spritualitas dan agama’. Begitu juga dengan jurnal manajemen perubahan organisasi yang telah menerbitkan artikel khusus tentang spritualitas kerja.
Di antara spritualiatas kerja yang dikembangkan dalam organisasi adalah nilai keadilan dan kesetaraan. Keadilan dianggap sebagai sesuatu yang urgen dalam kaitannya antara karyawan dan manajer. Karena berkaitan juga dengan kesetaraan, saat orang merasakan ketidakadilan maka secara ototmatis kesetaraannya pun hilang juga.
Banyak peneliti telah melakukan penelitian tentang pemahaman keadilan, multideimensi aspek keadilan, balasan dan ouput berdasarkan pada hasil kerja. Dalam tulisan ini keadilan dalam organisasi dianggap sebagai salah satu variabel yang dapat mempengaruhi spritualitas.
Doktrin yang paling penting yang harus dijalankan dalam organisasi adalah keadilan dan kesetaraan. Ini juga menjadi isu yang paling penting dalam psikologi industri dan organisasi.
Ketidakadilan dapat mengakibatkan ketidakseimbangan bawahan/ karyawan, akibatnya organisasi berjalan ke arah yang tidak baik dan rusak. Biasanya, lembaga dengan diskriminasi dan ketidakadilan yang kurang baik, dan memiliki stabilitas tinggi. Oleh karena itu, seorang manajer harus menjunjung tinggi semangat keadilan dalam organisasinya. Begitu juga, perlakuan ketidaksetaraan antara karyawan juga akan mengakibatkan loyalitas karyawan kepada atasan akan berkurang. Akibatnya, kinerja mereka pun akan mengalami kemunduran dan produktifitas yang menurun, dan organisasi pun akan menjadi tidak stabil.
Dengan tidak adanya ketidakadilan dan kesetaraan akan mengurangi bahkan tidak ada spritualitas di tempat kerja. Penelitian telah menunjukkan bahwa spritualitas di tempat kerja dapat mengakibatkan inovasi, kepercayaan, kepribadian, komitmen organisasi, moralitas kerja, dan kepuasan kerja. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan peningkatan kinerja organisasi.

KESIMPULAN
Hubungan antara manajer dan karyawan saat telah telah berubah. Dalam dekade sebelumnya, para manajer. dianggap sebagai orang yang hanya harus memberikan perintah ke karyawan tanpa perhatian pada kepribadian mereka. Tapi, saat ini, manajer sebagai guide yang membantu karyawan untuk membuat target dan spiritualitas. Dengan menggunakan spiritualitas, para manajer dapat meningkatkan kinerja kerja dan juga memberikan kebahagiaan bagi karyawan. Perubahan dari sifat hasil kerja kepada perubahan sifat organisasi. Organisasi-organisasi secara perlahan bergerak dari tempat aktivasi ekonomi kecil dan sosial yang serius, ke tempat-tempat untuk  peningkatan spiritualitas. Oleh karena itu, spiritualitas positif dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hasil penyelidikan keadilan organisasi dan spiritualitas kerja pada makalah penelitian dan buku telah menunjukkan bahwa ada hubungan antara keadilan organisasi dan spiritualitas di tempat kerja. Namun, kebutuhan untuk penelitian yang lebih komprehensif di bidang ini dengan menggunakan beberapa kuesioner yang tepat dan analisis statistik masih dapat dilakukan.

TELAAH KRITIS
Apa yang ditulis oleh Iman Sabbagh Molahosaeni tentang spritualitas dalam lingkungan kerja adalah hal yang sangat bagus. Karena segala hal yang berkaitan dengan hati dan motivasi akan lebih baik jika pendekatannya dengan pendekatan spritualitas.
Namun dalam artikel ini, konsep spritualitas yang ingin dikembangkan tidak begitu jelas, sehinggga aplikasi dari spritualitas tidak memberikan gambaran yang jelas dalam pelaksanaannya di lingkungan kerja. Keadilan spritualias yang diusung tidak memberikan kejelasan makna untuk mencapai kesetaraan yang diinginkan. Padahal nilai spritulitas sangat banyak, apalagi dalam agama islam, atau palingg tidak nilai spritualitas secara umum yang ada pada setiap agama.
Pereview sangat setuju nilai-nilai spritualitas dalam kerja diterapkan bagi semua elemenn organisasi, baik dari pimpinan sampai pada bawahan. Namun dalam artikel ini tidak memberikan pemahaman kepada banyak orang tentang nilai spritualitas yang lebih aplikatif.
Pereview sendiri pada dasarnya kata spritualitas yang dipergunakan penulis artikel masih memberikan makna yang ambigu. Kenapa belum jelas, karena spritualitas dalam pemahaman makna pereview lebih kepada masalah yang berkenaan perasaan di dalam hari, atau sesuatu yang tersembunyi dalam hati. Mungkin penulis ingin spritualitas yang ingin dikembangkan adalah bentuk-bentuk ketawadu’an, qona’ah, dan ikhlas dalam ajaran agama. Tapi makna-makna tersebut tidak dapat aplikatif bisa diterapkan dalam lingkungan organisasi. Oleh karena itu, tidak menyentuh aspek yang bisa menjadi sebuah kebiasaan yang dapat dicontoh atau dilihat oleh orang lain di lingkungan kerja.
Dari kerancuan makna yang diinginkan tersebut, pereview memberikan sebuah tawaran istilah yang lebih aplikatif yaitu religiusitas. Religuisitas bermakna lebih aplikatif, baik perasaan dalam hati maupun tindakan nyata dalam keseharian. Religiusitas masih memberikann sebua ruang di luar ajaran sebagai sebuah bentuk religiusitas, namun spritualitas lebih bermakana ajaran itu sendiri yang bersifat dogma atau tidak dapat ditentang oleh siapapun.
Kebiasaan- kebiasaan satu suku atau daerah bisa masuk dalam kategori religiusitas bila tidak bertentangan dengan ajaran yang qat’i. jika masih dalam persoalan fiqhiyah atau masih ada ruang ijtihad orang padanya, maka bisa masuk sebagai sebuah nilai religius atau bahkan sebagai sebuah ajaran.
Sesuatu yang biasa dalam anggapan seseorang, bila dibalut dan dikemas dengan nilai religius akan menjadi sebuah bagian dari ajaran. Sebagai contoh pakaian sehari-hari. Pada dasarnya berpakaian di mana saja sama untuk siapa saja, yang penting orang menutup aurat, tapi pada kasus di lingkungan masyarakat orang yang shalat dengan menggunakan sarung dan peci akan lebih diterima sebagai suatu yang lebih religius ketimbang mereka yang shalat dengan celana panjang. Dan pada masyarakat tertentu, klaim seperti itu bisa menjadi sebuah ajaran yang dianjurkan dalam islam, apakah dilihat dari masalhul mursalah atau yang lainnya dalam kaidahh ushul fiqh.
Oleh karena itu dalam lingkungan kerja sendiri, nilai-nilai religius yang lebih aplikatif dapat diterapkan. Atau istilah yang lebih buming saat ini adalah menciptakan budaya religius di tempat kerja. Ada beberapa tawaran yang mungkin dapat dijadikan sebagai sebuah budaya religius dalam lingkungan kerja sehingga dapat tercipta suasana yang lebih menghargai semua kalangan dan keterikatan internalisasi nilai dalam dunia kerja, antara atasan dengan atasan, atasan dengan bawahan, mapun  bawahan dengan bawahan sendiri.
Pertama, budaya salam di tempat kerja. Salam adalah kata-kata yang mengandung keselamatan yang diucapkan saat orang bertemu dengan yan lainnya. Salam tidak memandang orang dari bentuk fisik, jabatan sosial, maupun kekayaan. Salam seifatnya universal yang disunnahkan Rasulullah kepada siapa saja yang bertemu dengan orang lain dalam majlis yang berbeda.
Budaya memberikan salam dalam lingkungan tempat kerja sangat baik untuk mencairkan suasa lingkungan kerja, terutama pada saat pagi hari, baik atasan kepada bawahan maupun bawahan kepada atasan atau bahkan orang lain yang berada di lingkungan kerja. Dalam sebuah hadis Rasulullah dijelaskan:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ خَالِدٍ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ يَزِيدَ عَنْ أَبِي الْخَيْرِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
Artinya: ……ada seeorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Islam apa yang paling baik?”, Nabi bersabda, “ memberi makan, dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan kepada orang yang tidak engkau kenal”.
Salam adalah sebuah ucapan pembuka dalam segala suasana. Salam tidak membedakan antara atasan maupun bawahan, tapi dalam waktu tertentu seseorang harus mengucapkan salam kepada orang yang ia jumpai. Seperti anak kecil memberi salam terlebih dahulu kepada orang yang lebih dewasa, orang yang berjalan memberi salam kepada orang yang duduk, orang yang memakai kendaraan mengucapkan salam kepada orang yang berjalan, dan yang lebih sedikit mengucapkan salam kepada orang yang lebih banyak. Ini artinya dengan salam kesetaraan orang daapt dijunjung tinggi, sehingga akan terjalin sebuah persaudaraan keimanan yang lebih baik. Dan tentunya mereka yang paling dulu mengucapkan salam adalah lebih baik.
Jika budaya salam diterapkan dalam lingkungan kerja, maka suasa kerja akan terasa lebih baik dan semua orang yang berada dalam lingkungan kerja tersebut akan termotivasi untuk bekerja, tidak hanya sebatas materi sebagai sebuah penghargaan, tapi moril juga memberikan efek yang tidak kalah penting. Apalagi seorang atasan bisa mendahului salam dari bawahannya, maka itu akan memberikan contoh yang sangat bagus. Sebagaimana Rasulullah melakukannya kepada para sahabat, bahwa Rasulullah selalu sebagai orang yang pertama mengucapkan salam kepada para sahabat.
Kedua, pajangan-pajangan islami, seperti kaligrafi al-quran maupun mutiara hadis. Menempel pajangan berupa kaligrafi atau yang sejenis yang mengandung nilai-nilai islami merupakan sarana untuk menginternalisasi budaya religius dalam lingkungan kerja. Karena ini akan memberikan ingatan setiap saat kepada setiap orang yang ada di lingkungan tersebut, baik atasan maupun bawahan atau orang lain yang berada di lingkungan tersebut.
Kata-kata seperti ‘ kebersihan adalah sebagian dari iman‘, kata-kata ini akan memberikan ingatan terus menerus kepada setiap orang untuk menjaga kebersihan, sehingga tidak membuang sampah sembarang tempat atau merokok di tempat umum. Atau kata-kata bijak lainnya seperti anjuran berlomba-lomba dalam kebaikan, keutamaan meluruskan niat, sikap ikhlas, tawakkal, profesional, dan lain sebagainya yang banyak sekali terdapat dalam al-qur’an maupun al-hadis.
Ketiga, Shalat Berjama’ah di kantor. Shalat di samping adalah kewajiban, shalat juga dapat sebagai sarana untuk memererat ikatan batin antara setiap orang yang berada di satu lingkungan kerja. Pada dasarnya membiasakann budaya shalat berjama’ah di lingkungan kerja tidak akan susah, karena biasa bersamaan dengan waktu istirahat untuk makan siang. Pada lingkungan kerja yang lebih fleksibel dapat melakukannya dengan lebih leluasa, tapi bagi lingkungan pekerjaan dengan intensitas yang sangat tinggi, maka dapat dilaukan dengan sistem rolling atau bergantian. Atau tidak apa-apa dengan berjama’ah sekalian, tapi waktu untuk makan siang dapat dilakukan di meja kerja masing-masing, karena makan sendiri bukanlah hal yang serius dengan waktu tertentu, dengan santai pun setiap orang dapat melakukannya.
Peranpimpinan memang menjadi sentral dalam membuat keputusan seperti ini. Oleh karena itu, seorang pemimpin seharusnya dapat memberikan toleransi yang lebih baik, apalagi pemimpin dalam lingkungan kerja tersebut adalah seorang muslim, maka ia sepatutnya juga menjadi contoh bagi bawahannya. Bahakan jika memungkinkan, pemimpin juga menjadi imam dalam shalat mereka, sehingga tidak hanya sebagai pimpinan lingkungan kerja saja, dengan itu proses internalisasi nilai religius dalam lingkungan kerja akan lebih baik.
Keempat, pengajian dalam waktu tertentu di kantor. Pengajian umum dapat juga menjadi sebuah sarana internalisasi nilai atau budaya religius dalam  lingkungan kerja. Kalau pada budaya-budaya yang ditanamkan di atas sidatnya lebih kepada praktek dengan nyata, namun pengajian adalah sarana untuk menambah keilmuan setiap orang sehingga tidak hanya sebatas praktek namun mempunyai keilmuan yang memadai. Karena praktek tanpa ilmu juga tidak baik, dan berilmu tanpa praktek juga tidak baik, maka dua-duanya harus seimbang. Karena proses internalisasi akan menjadi lebih sempurna, jika antara ilmu dan amal dapat bersamaan didapatkan.
Namun pengajian umum yang dilaksanakan di kantor tidak hanya sebatas perempuan saja, sebagaimana yang terjadi saat ini. Tapi bagaimana semua unsur yang ada di lingkungan kerja hadir dalam satu jama’ah. Bila perlu dapat dijadikan sebagai ajang muhasabah antar sesama. Baik dengan diskusi atau tanya jawab seputar pekerjaan yang ada di kantor atau hubungan antar semua orang yang ada di lingkungan kerja tersebut.
Kelima, membaca al-Qur’an pada saat free dari pekerjaan. Nilai ini tidak kalah penting untuk daat diterapkan di lingkungan kerja. Di samping untuk memaksimalkan kerja, juga untuk menghemat biaya pengeluaran kantor yang selama ini di dunia kerja, mereka yang free atau tidak ada pekerjaan yang dilakukan, sibuk dengan bermain game atau bermain facebook saja. sangat jarang ditemukan mereka yang membaca buku apalagi membaca al-Qur’an.
Nilai ini memang terlihat idealis, namun setiap orang dapat melakukannya, tidak harus repot-repot dengan membawa al-qur’an dengan media digital pun dapat dilakukan, tapi alangkah baiknya membaca mushaf yang dalam bentuk cetakan. Dan disini fungsi manajemen lingkungan kerja untuk menyediakan mereka al-qur’an ditempat kerja.
Tapi apakah tidak akan mengganggu pekerja lainnya?, tentu tidak! Karena membaca al-qur’an tidak perlu dengan suara keras, cukup dengan membaca sirr, sebatas ia mendengarkan sendiri atau membaca dalam hati.
Namun pimpinan juga harus memberikan motivasi kepada bawahan, tidak hanya sebatas moril, kalau bisa dengan materi berupa hadiah akan lebih baik. Dan apabila memungkinkan semua orang di lingkungan kerja dapat menghafal al-qur’an. Dalam waktu tertentu mereka yang dapat menghafal al-qur’an 30 juz dapat diberikan imbalan seperti gratis naik haji atau yang lainnya. Ini tentu akan memberikan motivas yang lebih bagi mereka. Karena di sini tidak ada lagi dominasi atasan, tapi semuanya sama dalam mencapai target. Bahkan mungkin office boy (OB) dapat meraihnya.
Keenam, silaturrahim antar semua. Ini adalah nilai terakhir, yang meungkin dapat diterapkan oleh seorang pimpinan dalam upaya untuk menumbuhkan budaya religius dalam lingkungan kerja.
Silaturrahim dalam arti saling menjeguk antar semua orang pada saat-saat tertentu. Seperti dalam anjuran agama, saat tertimpa musibah, kematian, sakit, perayaan, dan lain sebagainya. Tidak hanya sekedar antar sesama, tapi bawahan dengan atasan atau akan lebih baik atasan kepada bawahan.
Silaturrahmi juga berarti membangun jaringan persaudaraan dan menciptakan cinta kasih di antara sesama. Bagi mereka yang tertimpa musibah dengan silaturrahim berarti mengobati hati, memperbaiki sikap dan meringankan beban hati. Akan lebih baik jika diberikan hadian, bisa dalam bentuk uang, tenaga nasihat, petunjuk, do’a, atau hal-hal lainnya yang dapat membawa manfaat bagi orang yang dikunjuungi.
Nilai ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena tidak terikat oleh jam kerja di kantor. Ini daapt dilakukan di luar pekerjaan sehari-hari, baik pada sore hari maupun malam hari. Dengan mengajak serta keluarga juga akan lebih baik karena dapat mempererat ikatan silaturahim antar semua keluarga yang ada di lingkungan kerja. Dengan itu akan tercipta rasa persaudaraan dan kekeluargaan, maka akan tumbuh saling percaya serta motivasi untuk memajukan dan maksimal kerja akan tercapai.

KESIMPULAN TELAAH KRITIS
Dari hasil kajian dan telaah kritis dari artikel yang ditulis oleh Iman Sabbagh Mollhosaini di atas, beberapa kesimpulan dapat diambil antara lain:
1.      Nilai spritualitas sangat baik untuk diterapkan dalam linglungan kerja, namun nilai spritualitas tersebut harus hal-hal yang praktis bisa dilakukan oleh setiap orang.
2.      Nilai keadilan spritualitas dalam artikel tidak jelas seperti apa, sehingga tidak dapat diterapkan dalam lingkungan kerja.
3.      Nilai spritual;itas yangg ditawarkan tidak aplikatif dan masih terkesan ambigu. Oleh karena itu nilai religiusitas lebih baik utnuk digunakan daripada spritualitas.
4.      Nilai religiusitas yang dapat dikembangkan dalam lingkungan kerja antara lain; budaya mengucapkan salam, membuat pajangan-pajangan kaligrafi atau kata bijak, shalat berjama’ah di kantor, pengajian halaqoh/umum dalam waktu tertentu di kantor, membaca al-qur’an saat free dari pekerjaan, dan silaturahim antar sesama.
Walllahu ‘alam bi al-sawab

REFRENSI
Barclay, Laurie J. (2005), Following in the footsteps of Mary Parker Follet Management Decision, vol. 43, no. 5.
Burack, E. (1999). Spirituality in the workplace. Journal of Organization Change Management, vol. 12, no. 4, pp. 280-291.
Campbell, L., Finch, E. (2004), Customer satisfaction and organizational justicice Facilities, vol. 22, po. 7, pp. 178-189.
Cropanzano, R, Ambrose, M, (2001), Advances in Organizational Justice Stanford, CA: Stanford University Press.
Cropanzano, R., Rupp, D.E. (2002), Some reflections on the morality of organizational justice, Chapter 9 In: Emerging Perspectives on Managing Organizational Justice, Information Age Publishing, pp. 225-278.
Delbecq, L.A. (1999). Christian spirituality and contemporary business leadership, Journal of Organizational Change Management, vol. 12, no. 4, pp. 345-349.
Deutsch, M. (1985), Distributive justice: A social-psychological perspective. New Haven, CT: Yale University Press.
Eberlin, R., Tatum, B.C. (2005), Organizational justice and decision making, Management Decision, vol. 43, no. 7, pp. 1040-1048.
Freshman, B., (1999). An exploratory analysis of definitions and applications of Spirituality in the workplace. Journal of Organizational Change Management, vol. 12, no. 4, pp. 318-327.
Gerald F. Cavanah (1.999), Spirituality for Managers: Context and Critique, Journal of Organizational Change Management, vol. 12, no. 3, pp. 186-199.
Greenberg, J. (1990a), Looking fair vs. being fair: Managing impressions of organizational justice, In L.L. Cummings & B.M. Stave (Eds.), Research -in organizational behavior (vol. 12, pp. 111-157). Greenwich, CT: JAI Press.
Greenberg, J. (1990b), Organizational justice: yesterday, today, and tomorrow, Journal of Management, vol. 16, no. 2, pp. 399-432.
Hoy, W.K., Tarter, C.J. (2004), Organizational justice in schools: no justice without trust, Journal of Educational Management, vol. 18, no. 4, pp. 250-259.
Kidder, Deborah L. (2007), Restorative justice: not "rights", but the right way to heal relationships at work, International Journal of Conflict Management, vol. 18, no. 1.
Kinjerski.V.M. and Skrypnek, B.J. '(2004). Defining spirit at work: finding common ground. Journal of Organizational Change Management, vol.17, no.1, pp. 26-42.
Lund Dean, k., Forhaciarl, C.J. and McGee, J.J. (2003). Research in spirituality, religion, and work. Journal of Organizational Change Management, vol. 16, no. 4, pp.378-395.
Marques, J., Dhiman, S. and King, R. (2005). Spirituality in the workplace: Developing an Integral model and a Comprehensive Definition. Journal of American Academy of Business, vol. 7, no. 1, pp.81-91.
Milkman, J., Czaplewski, A.J. and Ferguson 1. (2003). Workplace spirituality and employee work attitudes, An exploratory empirical assessment. Journal of Organizational Change Management, vol. 16, no. 4, pp.426-447.
Mitroff, I. and Denton, E. (1999). A Spiritual Audit of Corporate America: A Hard Look at Spirituality, Religion, and Values in the Workplace. Jossey-Bass, San Francisco, CA.
Mitroff 1. and Denton E. (1999), A Study of Spirituality in the Workplace, Sloan Management Review, pp. 83-92.
Moorman, R. H. (1991), Relationship between organizational justice and organizational citizenship * behaviors: Do fairness perceptions influence employee citizenship, Journal of Applied Psychology, vol. 76, no. 6, pp. 845-855.
Morris, T. (1997). If Arlstotle Ran General Motors. New York: Henry It
Neal, J. (1997), Spirituality in management education : a.guide to resources, Journal of Management Education, vol. 21, no. 1, pp. 121-39.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama