SELAMATKAN PEJABAT YANG TIDAK TAHU KORUPSI!


Beberapa hari kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan steatment dalam pidato kenegaraannya pada hari anti korupsi sedunia yang menggemparkan masyarakat, yaitu terkait pernyataannya yang menganggap bahwa pejabat yang tidak tahu bahwa perbuatan dan kebijakannya adalah perilaku korupsi perlu diselamatkan.

Pernyataan Persiden Sosilo Bambang Yodhoyono tersebut membuat beberapa pakar dan aktivis melancarkan protes atas pernyataan presiden dan menganggap bahwa presiden tidak etis mengeluarkan pendapat seperti itu di depan publik. Apalagi tidak jauh dari kasus yang menjerat kader Partai Demokrat sekaligus menteri pemuda dan olahraga Andi Alfian Malarangeng. Perntayaan tersebut dapat menjadi sebuah klaim atas kasus yang menimpa Andi Alfian Malarangeng adalah bukan perilaku korupsi, hanya saja ia tidak tahu kalau kebijakannya termasuk perilaku korupsi yang merugikan negara.
Memang dengan banyaknya kader Partai Demokrat yang diduga melakukan “korupsi” pada beberapa kasus proyek di kementrian terutama kementrian pemuda dan oleharaga, Membuat elektabiltas Partai Demokrat semakin melorot dan menjadi perhatian masyarakat. Lihat saja bagaimana kasus Wisma Atlet dan Sport center Hambalang, hampir sebagian besar menyeret kader-kader “terbaik” partai demokrat. Yang menurut orang-orang tidak mungkin mereka akan melakukan tindakan korupsi. Kasus ini menjadi besar, tidak terlepas dari kicauan Nazaruddin yang juga mantan bendahara Partai Demokrat yang membongkar semua aliran-aliran dana di kementrian dan masalah yang terjadi pada wisma atlet dan Hambalang.
Apakah kemudian pernyataan presiden pada saat pidato peringatan hari anti korupsi lalu sebagai sebuah pembelaan terhadap kader-kader partai demokrat yang terseret kasus korupsi, atau hanya sebuah pernyataan untuk memberikan penegasan makna korupsi yang sebenarnya?. Kalau pernyataan tersebut sebagai sebuah pembelaan, maka itu sangat fatal akibatnya bagi presiden sendiri walaupun tahun ini sudah tidak bisa mencalonkan diri, tapi posisinya sebagai dewan pembina Partai Demokrat akan membuat partai tidak mendapatkan dukungan selanjutnya dari masyarakat. Apalagi masyarakat sudah muak dengan perilaku korupsi para pejabat yang hanya memperkaya diri dan membiarkan masyarakat tertindas dan terpuruk dalam kemiskinan. Tapi kalau pernyataan tersebut sebagai sebuah pemaknaan akan korupsi itu sendiri, maka ada benarnya, namun itu menunjukkan ketidakmampuan seseorang menjadi pemimpin, pada bidang yang ia pegang.
Sudah menjadi sebuah resiko dan konsekuensi bagi seorang pemimpin untuk menanggung semua akibat dari keputusan dan kebijakan yang ia putuskan, baik mengatakannya secara langsung, atau dengan perbuatannya, atau dengan pengakuannya (taqrir) tidak mengiyakan dan tidak juga mengatakan tidak pada satu perkara. Semuanya menjadi tanggung jawab pemimpin, dan bukan tanggungjawab bawahan, karena mereka melakukan pekerjaan atas dasar perintah atasan. Jika Atasan menganggap bawahan melakukan pekerjaan yang keliru, maka pada saat itu ia harus mengoreksi dan memberikan teguran. Kalau kasusnya sudah menjadi kasus yang melanggar hukum dan undang-undang, maka itu menjadi tanggung jawab pemimpin. Baik pemimpin puncaknya atau pemimpin pada sub bidang tertentu.
Persoalan korupsi penekanannya pada mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri atau beberapa orang dan merugikan negara. Ini sebenarnya masih sangat sederhana, karena masih banyak peluang bagi pejabat untuk melakukan sesuatu yang mengutungkan diri sendiri atau beberapa orang, tapi tidak merugikan negara, yang dirugikan adalah person-person. Kasus seperti ini sangat jarang sekali tersentuh hukum, karena biasanya ada deal-deal tertentu antara salah satu pihak. Seperti jabatan-jabatan tertentu yang strategis di departemen di bawahnya, untuk bisa menduduki jabatan-jabatan tersebut, mereka yang menginginkannya harus mengeluarkan sejumlah uang tertentu sebagai sebuah jaminan atau sebagai bentuk keseriusan akan jabatan tersebut. Jumlahnya pun tidak tanggung-tanggung bisa tembus sampai milyaran, karena dengan jabatan yang ia pegang akan bisa mendapatkan uang melebihi dari uang yang ia berikan kepeda kementrian. Kasus sederhana yang terjadi saat ini pada Bupati Garut Aceng Fikri. Bukan masalah pernikahannya, tapi kasus lowongnya jabatan wakil bupati yang ditinggalkan oleh Dicky Candra. Di mana Bupati Aceng Fikri menawarkan ke beberapa orang untuk mengisinya, tapi dengan mengeluarkan sejumlah uang. Salah seorang yang telah mengeluarkan uang akhirnya tidak jadi menjadi wakil bupati, dan sekarang melaporkannya ke polisi dengan kasus pemerasan, dan bukan kasus korupsi.
Baik, mungkin pada kasus seperti di atas masih belum tersentuh oleh KPK dan lembaga penegak hukum lainnya. Tapi pada kasus pejabat yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri dan beberapa orang dengan mengambil uang negara dan rakyat, maka orang seperti tidak perlu ditolerir. Bahkan hukuman yang tepat bagi mereka minimal hukuman penjara semumur hidup dan harus mengembalikan semua uang rakyat yang sudah diambil dan bahkan jika memungkinkan dimiskinkan. Dan maksimal adalah hukum mati, seperti kasus teorisme, karena mereka yang mengambil uang rakyat sudah melakukan pembunuhan secara perlahan-lahan kepada rakyat miskin, sedangkan mereka tertawa terbahak-bahak dengan penderitaan masyarakat.
Korupsi dalam bentuk seperti di atas, dengan tegas memang Bapak presiden menyatakan harus dibrantas. Tapi yang menjadi masalah adalah, orang yang salah dalam membuat kebijakan dalam kepemimpinannya dalam lembaga pemerintahan, di mana bawahan yang melakukan kasus korupsi, tapi sebagai pimpinan ia harus menaggung akibat perbuatan bawahannya. Atau tidak tahu bahwa kebijakannyanya adalah perilaku korupsi. Menurut Bapak presiden mereka harus dibela dan diselamatkan agar tidak terkena sebagai kasus korupsi. Padahal sudah jelas dalam undang-undang tindak pidanan korupsi bahwa mereka yang menyalahi wewenang dan melakukan pembiaran yang mengakibatkan kerugian negara adalah perilaku korupsi yang bahkan hukumannya maksimal seumur hidup.
Pada masalah ini, sepertinya ada hal yang sangat ganjil dan tidak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin seorang pemimpin negara tingkat kementrian tidak tahu bahwa perilaku kebijakan yang ia lakukan tidak tahu salah atau benar?. Logikanya adalah kalau seseorang dianggarkan untuk membeli roti dengan harga Rp. 2000 dan kemudian membelinya dengan Rp. 2000, maka ia sudah benar, Tapi jika membeli roti dengan harga Rp. 1000, maka ia sudah menyalahi, apalagi roti yang dibeli tidak sesuai dengan apa yang telah diangarkan. Atau seseorang dianggarkan untuk membeli roti Rp. 2000, kemudian ia membeli pisang Rp. 2000, maka ia tetap salah. Sepeti itulah kira-kira contoh secerhananya, apalagi uang dalam jumlah sangat besar. Sangat tidak mungkin tidak tahu, bagaimana ia harus menggunakannya dan untuk apa penggunaannya?. ini hanya contoh kecil saja.
Ketidaktahuan seorang pemimpin akan hukum, apalagi masalah korupsi yang setiap hari menjadi konsumsi media elektronik dan cetak tentang perilaku-perilaku korupsi, sangat tidak masuk akal. Apalagi ada pengawas penggunaan anggaran, dengan kontrol berkala, karena uang yang dipakai sangat besar, sampai triliyunan rupiah. Atau mereka sudah sangat paham tentang perilaku-perilaku korupsi, tapi kemudian mencari celah agar aman dari perilaku-perilaku yang sering disebut, tapi mereka tersandung juga. Orang awam saja, walaupun tidak secara menyeluruh, paham akan pelanggaran hukum. Dan tidak ada orang yang melakukan pelanggaran hukum, karena tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah melanggar hukum. Mereka paham, walaupun tidak tahu secara tertulis, tapi dari bentuk perilakunya mereka tahu bahwa suatu perbuatan melanggar hukum atau tidak. Hukum tidak berlaku hanya bagi mereka yang tidak waras atau gila, karena mereka sendiri tidak paham dan tidak tahu akan perbuatannya sendiri, apalagi perbuatan melanggar hukum. Lalu, apakah para pejabat yang dianggap tidak tahu hukum orang gila? atau mereka pura-pura tidak tahu?. Karena ketahuan melakukan pelanggaran hukum, sengaja mengekspose diri bahwa ia tidak tahu.
Posisi ketidaktahuan pejabat akan perilaku korupsi harus diselamatkan, sebagaimana pernyataan SBY, mengingatkan akan empat tipe orang dalam posisi tahu dan tidak tahu. Ada orang yang tidak tahu dan ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu. Orang seperti ini adalah orang yang betul-betul bodoh. Dalam bahasa kitabnya termasuk jahl basit (bodoh permanen) atau jahl murakkab. Tidak ada yang banyak perlu dilakukan pada orang seperti ini, hanya perlu diajar secara terus menerus, dan tidak mungkin menjadi pemimpin bagi orang lain, untuk dirinya sendiri saja masih diragukan. Kedua adalah orang yang tidak tahu dan ia tahu dirinya tidak tahu. Tipe orang seperti ini adalah orang yang masih mampu untuk diajarkan, hanya perlu untuk diingatkan saja agar ia mau belajar dan mencari tahu apa yang ia belum tahu dan pahami. Ketiga adalah orang yang tahu dan ia tidak tahu dirinya tahu. Orang seperti ini adalah orang yang berpura-pura, dalam bahasa agamanya adalah orang munafik, bermuka dua dalam satu masalah. Maka pada posisi seperti ini, ia harus ditegur agar ia tidak terus berada dalam kepura-puraan. Keempat adalah orang yang tahu dan ia tahu dirinya tahu. Tipe seperti ini adalah orang yang paham akan apa yang dilakukan, sehingga tidak perlu lagi diajarkan, diingatkan, atau ditegur, cukup dengan melakukan dialog saja.
Kalau dilihat dari empat tipe orang di atas, maka dapat dikatakan, pada kasus korupsi yang menimpa Andi Alfian Malarangeng terkait dengan pernyataan presiden, termasuk tipe orang yang ketiga. Di mana, ia sebenarnya tahu tapi sengaja tidak tahu tentang masalah yang putuskan. Karena posisinya sebagai seorang pemimpin dan akademisi, sangat tidak mungkin tidak tahu apa yang ia lakukan, pikirkan, dan putuskan.
Oleh karena itu, sangat janggal kiranya menganggap pejabat negara saat ini, mereka yang terjanggal kasus korupsi atau kasus-kasus lainnya dianggap ada yang tidak tahu akan hukum, apalagi tindakan perbuatan melanggar hukum. Namaun jika pejabat negara dianggap melakukan pelanggaran hukum, maka sebelum menjadi kasus hukum, presiden harus melakukan teguran kepada pejabat, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung melalui pembantunya, yaitu menteri-menteri di kabinet. Selamatkan mereka agar tidak berperilaku melanggar hukum atau mereka yang sudah melanggar hukum, diselamatkan dengan dipenjarakan agar tidak membuat kerusakan lebih besar kepada bangsa dan merugikan negara. Wallahu ‘A’alam bi al-Shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama