I. PENDAHULUAN
Pengelolaan pendidikan yang baik sebenarnya adalah pendidikan yang dapat memnfaatkan potensi budaya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia yang dihuni oleh bermacam suku, agama, dan adat istiadat yang sangat berbeda satu sama lain, maka seberagam itu pula pola pendidikan yang mereka kembangkan. Atas dasar ini konstitusi UUD 1945 dan UU Sisdiknas mengamanatkan perlunya penyelenggaraan pendidikan dengan melestarikan keanekaragaman penyelenggaraan pendidikan di masyarakat, akan tetapi berada dalam satu payung pengelolaan, bernama “ Sistem Pendidikan Nasional”.
Undang-Undang Dasar di Indonesia tahun 1945 pasal 31 ayat 3 mengamanatkan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa yang diatur dengan undang-undang ”. Tanggung jawab pengelolaan satu sistem ini menjadi tugas Mentri Pendidikan.
Oleh karena itu pembahasan makalah ini akan menuju kepada berbagai macam lembaga pendidikan islam yang termaktub dalam UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Sistem Pendidikan Nasional
B. Undang-Undang SISDIKNAS tentang pendidikan Islam
C. Pendidikan Keagamaan dalam UU SISDIKNAS
III. PEMBAHASAN
A. Sistem Pendidikan Nasional
a. Definisi sistem pendidikan nasional
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar dapat berperang aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang. Pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan kepada pencapaian tujuan pembangunan nasional Indonesia. Sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) merupakan satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang saling berkaitan untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta di bawah tanggung jawab Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan mentri lainnya, seperti pendidikan agama oleh Mentri Agama, AKABRI oleh Mentri Pertahanan dan Keamanan. Juga departemen lainnya menyelenggarakan pendidikan yang disebut Diklat.
Setiap bangsa memiliki sistem pendidikan nasional. Pendidikan nasional masing-masing bangsa berdasarkan pada dan dijiwai oleh kebudayaanya. Kebudayaan tersebut sarat dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang melalui sejarah sehingga mewarnai seluruh gerak hidup suatu bangsa.
Sistem pendidikan nasional Indonesia disusun berlandaskan kepada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasar pada Pacasila dan UUD’45 sebagai kristalisasi nilai-nilai hidup bangsa indonesia. Penyelenggaraan sistem pendidikan nasional disusun sedemikian rupa, meskipun secara garis besar ada persamaan dengan sistem pendidikan nasional bangsa lain, sehingga sesuai dengan kebutuhan akan pendidikan dari bangsa Indonesia yang secaa geografis, demografis, historis dan kultural berciri khas.[1]
b. Upaya pembangunan pendidikan nasional
Sistem pendidikan selalu menghadapi tantangan baru, karena masyarakat selalu mengalami kemajuan dengan serta merta timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru. Untuk menghadapi tantangan-tantangan baru itu pendidikan berupaya melakukan penbaharuan dengan jalan menyempurnakan sistemnya. Pembaharuan yang terjadi meliputi:
1. Pembaharuan landasan yuridis
Suatu pembaharuan pendidikan yang sangat mendasar ialah pembaharuan yang tertuju pada landasan yuridisnya, karena pembaharuan ;andasan yuridis berhubungan dengan hal-hal yang bersifat mendasar (pundamental) dan yang bersifat prinsipal. Dikatakan demikian karena landasan yuridis itu medasari semua kegiatan pelaksanaan pendidikan dan mengenai hal-hal yang penting seperti komponen struktur pendidikan, kurikulum, pengelolaan, pengawasan dan ketenagaan.
2. Pembaharuan kurikulum
Ada dua faktor pengendali yang menentukan arah pembaharuan kurikulum, yaitu yang sifatnya mempertahankan dan mengubah. Termasuk yang pertama ialah landasan filosofis, yaitu falsafah bangsa Indonesia, yaitu Pancasila, UUD’45 dan landasan historis (mencakup unsur-unsur yang dari dahulu hingga sekarang menguasai hajat hidup oang banyak). Sedangkan faktor pengendalian yang kedua yaitu yang bersifat mengubah ialah landasan sosial (berupa kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat) dan landasan psikologis (ayitu cara peserta di dalam belajar, mengenai hal ini banyak penemuan-penemuan baru yang menopangnya)
3. Pembaharuan pola masa studi
Pembaharuan pola masa studi termasuk yang meliputi pembaharuan jenjang dan jenis pendidikan serta lama waktu belajar pada suatu satuan pendidikan. Pada bagian ini pembaharuan pola masa studi itu hanya disinggung sekedarnya untuk menujukkan adanya upaya pembaharuan pendidikan. Pembaharuan pola masa studi sebagai suatu pertanda adanya pembaharuan pendidikan berupa penambahan (perpanjangan masa studi) ataupun pengurangan (perpendekan masa studi). Perubahan pola tersebut dilakukan untuk tujuan dan alasan –alasan tertentu. Misalnya untuk mempersiapkan tenaga guru SD yang dahulunya dianggap cukup tamatan SPG (jenjang pramasa studi akademik), cara untuk menjadi guru SD harus berpendidikan Diploma II (jenjang akademik). Tujuannya ialah untuk mendapatkan tenaga yang lebih kompeten
4. Pembaharuan tenaga kependidikan
Disamping pembaharuan landasan yuridis dan kurikulum, pengembangan sistem pendidikan nasional juga menyentuh pembaharuan komponen lain, yaitu tenaga kependidikan. Yang dimaksud dengan tenaga kependidikan adalah tenaga yang bertugasmenyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan. (UU RI No. 2 Bab VII Pasal 27 Ayat 1) pembaruan terhadap komponen tenaga kependidikan dipandang sangat penting karena pembaruan pada komponen-komponen lain tanpa ditunjang oleh tenaga-tenaga pelaksana yang kompeten tidak akan ada artinya. Berdasarkan aneka ragam tugas seperti yang dinyatakan dalam Pasal 27 ayat 1 tersebut, maka diperlukan jenis tenaga yang lain di samping guru meskipun guru sendiri mengalami perubahan peran dari peran tunggal ke multiperan ( lihat Bab VII butir E 1.c). tenaga yang lain di samping guru ialah pustakawan, laboran, konselor, teknisi sumber belajar , dan lain-lain.[2]
B. Undang-Undang SISDIKNAS tentang Pendidikan Islam
Diantara peraturan perundang-undangan Ri yang paling banyak membicarakan pendidikan adalah Unadang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003. Sebab undang-undang ini bisa disebut sebagai induk peraturan perundang-undangan pendidikan. Undang-undang ini mengatur pendidikan pada umumnya, artinya segala sesuatu bertalian dengan pendidikan , mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi ditentukan dalam Undang-Undang ini.[3]
Pendidikan Islam di Indonesia sebagai sub-sistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kwalitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat dipahami dari hasil rumusan seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, ia memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua jaran islam(Hisbullah, 1999: 28). Dalam kontek ini Ahmad D. Marinda (1986: 23) mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Sementara itu, tujuan ideal yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia lewat proses dan sistem pendidikan nasional yang termaktub dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 adalah sebagai berikut:
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradabaan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Dengan melihat tujuan pendidikan di atas, baik pendidikan Islam maupun pendidikan nasional, tampaknya paling tidak terdapat dua dimensi kesamaan yang ingin diwujudkan:
a. Dimensi transendental (lebih dari hanya sekedar ukhrowi yang berupa ketaqwaan, keimanan, dan keikhlasan)
b. Dimensi duniawi melalui nilai-nilai material sebagai sarana, seperti kecerdasan, pengetahuan dan ketrampilan.
Dengan demikian keberhasilan dalam Islam akan membantu keberhasilan nasional. Begitu juga sebaliknya keberhasilan pendidikan Nasional secara makro turut membantu tujuan pendidikan islam. Oleh karena itu, perbedaan lembaga pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Islam Nasional, merupakan undang-undang yang mengatur penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional sebagai mana dikehendaki UUD 1945. Proses perjalanan yang melelahkan, sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1989 dengan kelahiran UU No 2 Tahun 1989, dan kemudian disempurnakan menjadi UU No 20 tahun 2003, merupakan puncak dari usaha mengintegrasikan pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.
Terdapatnya peluang dan kesempatan untuk berkembangnya pendidikan Islam secara terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional tersebut dapat dilihat pada pasal-pasal UU No. 20 tahun 2003.[4]
1. Pasal 1 ayat (2), disebutkan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap tehadap tuntutan perubahan zaman.
2. Pada pasal 3 tentang dasar, fungsi dan tujuan , pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
3. Pada pasal 15 tentang jenis pendidikan, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum , kejuruan akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
4. Pada pasal 17 ayat ( 2). Tentang pendidikan dasar, pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama ( SMP) dan Madrasah tsanawiyah ( MTs), atau bentuk lain yang sedarajat.
5. Pasal 18 ayat (3). Tentang pendidikan menengah. Pendidikan menengah berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
6. Pasal 30 ayat (1-4). Pendidikan keagamaan. (1). Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.(3). Pendidikan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. (4) pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,pasraman,pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
7. Pasal 37 ayat (1-2). Tentang kurikulum. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama.[5]
C. Pendidikan Keagamaan dalam UU SISDIKNAS
Pendidikan agama dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketakwaan sebagaiman diamanatkan dalam undang-undang. Pendidikan agama ini didefinisikan menjadi usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai ajaran islam. Ini dibedakan dari pengajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan agama kepada anak , agar supaya mempunyai ilmu pengetahuan agama.
Sejak peraturan perundangan Indonesia mewajibkan materi pendidikan agama dibelajarkan, selama itu pula tidak diatur di sana mengenai agama apa dan untuk siapa. Seringkali pendidikan agama tersebut diberikan secara mismacth ( salah taruh). Misalnya siswa katolik di sekolah negeri diberi pelajaran agama islam. Demikian pula siswa muslim di sekolah Kristen atau hindu diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Prektek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dinilai tidak proporsional , juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (bahasa islamnya pemurtadan siswa-siswa).
Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti, alibi kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience),dan moralitas, yang disebabkan oleh karena agama diajarakan secara mismatch (tidak cocok antara agama guru dan siswa) hanyalah salah satu sebab kelemahan pendidikan agama. Yang benar adalah adanya faktor-faktor lain yang turut serta menjadi penyebabnya. Di beberapa sekolah agama sudah diberikan secara cocok antara agama guru dan siswa, kelemahan-kelemahan pendidikan agama yang sama tetap saja menghantui. Faktor-faktor pelemah utama lainnya misalnya : soal keterbatsan waktu dan metode pembelajaran.
Lepas dari berbagai kelemahan pendidikan agama di sekolah umum, banyak penyelenggara sekolah umum akhirnya melekatkan suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama. Kemunculan sistem madrasah , sekolah berlambang agama, misalnya SD Islam, SMP Nurul Hidayah, atau SMA Islam Terpadu, beberapa lengakap dengan boarding school, pondok pesantren dan semacamnya., merupakan terapi pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yanga biasa terjadi bisa diatasi. Slogan yang dipampang beragam, ada yang 30 % agama 70 % umum, atau sebaliknya. Ada yang masing-masing 50 % atau 100%. Dengan kemunculan kecenderungan baru pendidikan islam semacam ini, masalah pendidikan agama di sekolah umum relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.
Tetapi siapapun bisa menerka, dengan mengandalkan 2 jam pembelajaran, kiranya masalah pendidikan agama mungkin kondisinya tidak akan jauh berbeda. Dari sini guru-guru agama harus mulai mencari terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan. Diantaranya dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui : 1.- belajar lagi dirumah, baik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji.2- sekolah madrasah diniyah sore, 3- sekolah negeri sambil menjadi santri di pondok pesantren. Akan tetapi penyempurnaan ini bersifat bebas. Sehingga tidak semua orang tua menyadari kepentingan melakukannya. Persoalan yang hampir sama dihadapi oleh siswa disekolah negeri adalah yang bersekolah di yayasan dengan lambang agama lain. Nasib mereka sedikit tertolong oleh pasal 12 ayat (1) huruf a UU sisdiknas, dimana mereka akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarakan oleh guru yang seagama. [6]
a. Madrasah
Bersamaan dengan perkembangan pendidikan agama di sekolah umum, perhatian terhadap madrasah atau pendidikan islam umumnya terjadi sejak badan pekerja komite nasional Indonesia pusat ( BPKIP) di masa setelah kemerdekaan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 22 desember 1945. Isinya , menganjurkan bahwa dalam memajukan pendidikan dan pengajaran agar pengajaran di langgar, surau, masjid dan madrasah berjalan terus dan ditingkatkan. Madrasah dalam bentuknya yang kita kenal saat ini secara harfiyah berasal dari bahsa arab yang artinya sama atau setara dengan kata Indonesia sekolah ( school). Madrasah ini kemudian memiliki konotasi spesifik, dimana anak memperoleh pembelajaran agama. Dari segi jenjang pendidikan, mulanya madrasah identik dengan belajar mengaji al quran, jenjang pengajian kitab tingkat dasar dan pengajian kitab tingkat lanjut, kemudian berubah ke jenjang madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, dan madrasah aliyah.
Namun perhatian pemerintah yang begitu besar di awal kemerdekaan yang ditandai dengan tugas Departemen Agama dan beberapa keputusan BP KNIP ini tampaknya tidak berlanjut. Hal ini tampak ketika Undang-Undang Pendidikan Nasional pertama (UU No. 4 tahun 1950 , UU No.12 Tahun 1945) diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali , yang ada hanya masalah pendidikan agama di sekolah (umum) dan pengakuan belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari Mentri agama dianggap telah memnuhi kewajiban belajar.
Reaksi terhadap sikap pemerintah yang diskriminatif ini menjadi lebih keras dengan keluarnya keputusan Presiden No. 34 tahun 1972, yang kemudian diperkuat dengan intruksi Presiden No. 15 tahun 1974. Kepres dan inpresini isinya dianggap melemahkan dan mengasingkan madrasah dari pendidiakan nasional.
Pada tanggal 24 maret 1975 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama ( SKB) tiga mentri ( Mentri Agama, Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan Mentri Dalam Negri). SKB ini merupakan model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan system pendidikan nasional yang integrative. Dalam SKB tersebut diakui ada tiga tingkatan madrasah, yakni Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan aliyah yang ijazahnya diakui sama dan setingkat dengan SD, SMP, dan SMA. Kemudian lulusannya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi , serta siswanya dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih tinggi, serta siswanya dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
Perjuangan agar mendpat perlakuan yang sama (integrasi madrasah dalam sisdiknas secara penuh), baru dicapai dalam UUSPN No.2 Tahun 1989, dimana madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan sekolah , plus pelajaran agama islam.
Perjuangan untuk memasukkan madrasah dengan fokus utama pengajaran agama dalam sistem sisdiknas baru berhasil setelah diundangkannya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam undang-undang ini diakui kehadiran keagamaan sebagai salah satu jenis pendidikan disamping pendidikan umum, kejuruan, akademik, vokasi, dan khusus ( pasal 15). Dalam pendidikan keagamaan ini tidak termasuk lagi madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas islam . MI, MTs, MA dan MA kejuruan sudah dimasukkan dalam jenis pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Pendidikan keagamaan ini diatur dalam bagian tersendiri ( bagian kesembilan) pasal 30.[7]
Pendidikan keagamaan yang berupa madrasah tercantum dalam Peraturan Pemerintah pasal 11 ayat 1-3. 1- peserta didik pada pendidikan keagamaan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terakreditasi berhak pindah ke tingkat yang setara di Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat setelah memenuhi persyaratan. 2- hasil pendidikan keagamaan non formal dan atau informal dapat dihargai sederajat dengan hasil pendidikan formal keagamaan/umum/kejuruan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi yang ditunjuk oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah. 3- peserta didik pendidikan keagamaan formal, non formal, informal yang memperoleh ijazah sederajat pendidikan formal umum atau kejuruan dapat melanjut ke jenjang berikutnya pada pendidikan keagamaan atau jenis pendidikan yang lainnya.
b. Pesantren
Menurut istilah Mastuhu mendefisinikan pesantrensebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami dan mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[8]
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang telah tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat, kegiatan pendidikannya memadukan tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sejarah perkembangan pondok pesantren memiliki sistem pendidikan dan pengajaran non klasikal yang dikenal dengan nama bandongan dan sorogan atau sistem halaqah.
Dibandingkan dengan sistem pendidikan yang ditawarkan, umumnya sistem pendidikan sekolah, maka sistem pendidikan di pondok pesantren memang mempunyai beberapa keunikan, baik itu menyangkut orientasi kependidikannya, model kepemimpinannya, menejemen kelembagaannya maupun literatur buku yang dipeliharanya dalam kurun waktu yang cukup lama. Apabila prinsip-prinsip pendidikan yang tersurat dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional lebih kelihatan anthropocentric, maka prinsip pendidikan di pesantren lebih dilihat theocentric. Orientasi pendidikan pesanren ( tradisonal) memusat pada sikap “ taqarrub” ( mendekatkan diri kepada Allah dengan ketundukan dan ketaatan beribadah serta melaksanakan doktrin –doktrin agama secara ketat ) dan sikap “tahassun “ ( melaksanakan amal-amal soleh, baik kesalehan individual maupun kesolehan sosial, dan perilaku yang etis dan bermanfaat.) [9]
UU Sisdiknas dewasa ini memfokuskan regulasi pengakuan yang didasarkan pada tingkat kompetensi yang standar, bisa di ukur dan selaras dengan semangat pendidikan nasional. Pendekatan ini bagi pesantren menggunakan kriteria minimal sebuah lembaga pendidikan yang kemungkinan disebut pendidikan keagamaan ( diniyah). Apabila pesantren tidak pas juga dengan kriteria dalam pendidikan yang digariskan disitu, maka pemerintah akan menguji dan membuat rekomendasi kepada mentri pendidikan atau mentri agama untuk mengakuinya sesuai aturan lain dalam PP No 19 / 2004 tentang SMP.
UU Sisdiknas sesungguhnya bisa diposisikan sebagai jalan tengah dari posisis tawar menawar yang selama ini dipertahankan oleh masing-masing pemerintah dan pesantren. Pesantren ingin bertahan menjadi lembaga pendidikan keagamaan yang mampu menyiapkan generasi alim ulama’. Kalaupun bukan alim ulama tetapi muslim intelektual yang punya pengetahuan cukup dan ketaatan memadai tehadap agamanya. Sementara pemeintahan telah sepakat dengan UU Pendidikan untuk menyelenggarakan pendidikan secara holistik dan multi makna sebagimana tercermin dalam ujuan pendidikan nasional. [10]
Pesantren juga termaktub dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no 55 tahun 2007 pasal 26 ayat 1-3. 1) pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan ketrampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agaam Islam ( muttafaqqih fiddin) dan atau menjadi muslim yang memiliki ketrampilam atau keahlian untuk membangun kehidupan yang islami di masyarakat. 2) pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidiakn anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan atau pendidikan tinggi.3) Peserta didik dan atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmu agama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal menjadi pendidik mata pelajaran atau kuliah pendidikan agama disemua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang memerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c. Diniyyah
Diantara paradigma baru UU Sisdiknas adalah perubahan mendasar mengenai jalur pendidikan yaitu yang semula disebut jalur sekolah dan luar sekolah, kini dirubah menjadi tiga jalur, yaitu pendidikan formal, non formal dan informal.[11]
Pembagian jalur pendidikan ini telah temaktub dalam pasal 14 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 55 Tahun 2007 yaitu “ Pendidikan diniyah sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan pada jalur formal, non formal dan informal.”
Mencermati elaborasi pendidikan diniyah dan pesantren dalam draf RPP Pendidikan Agama dan Keagamaan, maka sesuatu yang dibilang paling penting di dalamnya adalah kehadiran pendidikan diniyah formal. Seperti telah disinggung mengenai tujuan pendidikan keagamaan, yakni untuk memberikan jalan keluar bagi santri pondok pesantren dan pendidikan diniyah yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama saja, ataupun yang membelajarkan ilmu umum juga,tetapi menolak untuk mengikuti 100% pola sekolah dan madrasah.
Fakta di lapangan menunnjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan itu yang selanjutnya disebut pendidikan keagamaan formal memang ada dan berkembang. Sayangnya namanya sangat fariatif sehingga perlu nama generik, yakni pendidikan diniyah formal tadi. Pada kebanyakan pesantren salaf, umumnya kita jumpai nama “madrasah salafiyah”. Pondok Gontor Darussalam dan cabangnya menggunakan nama “ Kuliatul Muallimin”, di Sumatra Barat tumbuh nama “ Perguruan Agama Islam”. Di pesantren langitan, Tuban, ada nama madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah, tetapi kurikulumnya agama murni, alias berbeda dengan nomenkaltur MI, MTs, MA yang selama ini kita kenal. [12]
Pendidikan diniyah non formal mula-mula adalah pendidikan keagamaan yang melalui berbagai media dakwah dan pendidikan, yang modelnya identik dengan karakter pendidikan non formal. Bentuk-bentuknya hampir mengisi seluruh model pendidikan dan dakwah yang dibutuhkan masyarakat, karena tumbuhnya memang didasarkan atas kebutuhan itu. Ada pengajian kitab metode membaca sorogan, bandongan dan wetonan bagi santri atau orang awam. Bagi yang sudah berkeluarga biasanya bergabung dalam majlis taklim. Yang sedikit agak bisa dibilang masalah adalah ketentuan pasal 62 UU Sisdiknas berkenaan dengan masalah perijinan majlis taklim. Pada ayat itu secar implisit dikatakan bahwa majlis taklim merupakan salah satu bentuk pendidikan, sehingga sering dipahami semua majlis taklim terkena peraturan tidak Cuma harus memberitahukan kegiatan yang hendak diselenggarakannya, namun juga harus terlebih dahaulu memnuhi persyaratan pendirian satuan pendidikan.
Sedangkan pendidikan diniyah informal merupakan penyelenggaraan pendidikan keagamaan paling banyak dilaksanakan oleh masyarakat, karena karaktenya yang tidak terstruktur, tidak berjenjang, dan tidak memiliki pola tetap. Contoh pendidikan ini adalah anak yang belajar ngaji kepada orang tuanya, belajar secara mandiri, dan lain sebagainya. Karena pendidikan informal ini merupakan salah satu jenis pendidikan yang diatur oleh UU Sisdiknas, maka siapapun yang memiliki kewenangan seharusnya memiliki hak dan kewajiban untuk mengatur, membina dan memberikan sanksi bila dipelukan.[13]
[1] Umar Tirtaraharja, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, hlm. 262-263.
[2] Umar Tirtaraharja, dkk, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, 288-293
[3] Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm.45.
[4] Hasbullah,Otonomi Pendidikan, Jakarta :Rajawali, 2010, hlm.156-158.
[5] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Media Wacana Press,2003, Hlm.9-27
[6] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (Paradigma Baru), Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2005 hlm.39-43
[7] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional (paradigma baru), Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005,hlm.62-67
[8] Ahmad Muthohar,Ideologi Pendidikan Pesantren,Semarang:Pustaka Rizki Putra,2007, hlm.12.
[9] Abdur Rohman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Jakarta: PT Gemawindu Pancaprakasa,2000, hlm.117-119
[10] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional ( Paradigma Baru), Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005, hlm. 84-86.
[11] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional ( Paradigma Baru), Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005, hlm. 107.
[12] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional ( Paradigma Baru), Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005, hlm. 94-95
[13] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional ( Paradigma Baru), Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Islam, 2005, hlm. 104-105
Posting Komentar