SOSIOLOGI DAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN MEMBANGUN KULTUR DAN MASYARAKAT SEKOLAH


I.       PENDAHULUAN
Indonesiamerupakan negara yang besar dan secara geografis Indonesia merupakan negara yang terdiri dari pulau – pulau. Indonesiayang merupakan negara kepulauan, menyebabkan adanya batas laut antara satu pulau dengan pulau yang lain. Jarak yang timbul akibat batasan ini menimbulkan keberagaman. Keberagaman itu mulai dari bahasa, pakaian, adat, aturan, kultur, dan lain – lainnya.
Adat, bahasa, pakaian dan lain sebagainya terangkum dalam sebuah kultur yang tiap daerah di Indonesia berbeda. Kultur yang beragam merupakan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia. Perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan adanya percampuran kultur dari luar negeri. Kultur negeri sendiri semakin lama semakin luntur. Kultur yang sangat berharga mulai diremehkan dan dianggap norak. Masyarakat asli Indonesia lebih mengaggumi kultur negara lain. Padahal mempelajari dan memahami kultur sendiri jauh lebih penting. Setidaknya untuk menjaga eksistensi negri ini dibutuhkan sesuatu yang dapat dijadikan keunikan dan kekhasan, yaitu keberagaman kultur.
Berkaitan dengan kultur, masyarakat Indonesiayang kulturnya masih tradisional, sehingga dalam menjalani kehidupan sebagian besar masih berfikir tradisional. Masyarakat Indonesia masih banyak yang tidak memprioritaskan pendidikan sebagai hal yang penting. Kepedulian atau partisipasi masyarakat terhadap pendidikan sangat kurang, entah karena tidak ada biaya atau kurangnya kesempatan untuk mendapatkan pendidikn di sekolah.
Memajukan negara ini dimulai dengan meningkatkan kualitas pendidikan di mulai dari generasi muda. Membudayakan masyarakat untuk mementingkn sekolah merupakan langkah awal memajukan negara ini. Masyarakat sekolah harus dikembangkan di negara ini, sehingga pendidikan dapat benar- benar dirasakan di masyarakat kita ini

II.    RUMUSAN MASALAH
A.  Apa Pengertian Membangun Kultur dan Masyarakat Sekolah?
B.  Bagaimana Membangun Kultur?
C.  Bagaimana Membangun Masyarakat Sekolah?
D.  Bagaimana Cara Membangun Masyarakat Sekolah?
  
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Membangun Kultur dan Masyarakat Sekolah
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sansekerta) buddhayah yang merupakan bentuk jamak kata “buddhi” yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal”.
Adapun istilah culture yang merupakan istilah asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin colere. Artinya mengolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut yaitu colere kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[1]
Jadi, Membangun kultur adalah segala daya atau usaha untuk membangun budi dan akal manusia untuk menghasilkan suatu karya.
Sekolah bisa diartikan beberapa pengertian:
·                   Pendidikan
·                   Gedung Sekolah - tempat belajar secara formal.
·                   Sekolah (institusi) - tempat pendidikan diberikan.
·                   Sekolah (Dungeons & Dragons), dewa dalam permainan tersebut.[2]
Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.[3]
Masyarakat sekolah yaitu Unsur-unsur yang melaksanakan proses persekolahan, tanpa adanya unsur ini maka dipastikan kegiatan persekolahan akan terganggu. Yang kemudian berkembang dengan sebutan stakeholder yang berisi antara lain : guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa dan pemerintah.[4]


B.     Membangun Kultur
Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Khusus dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah kultur yang dibangun adalah nilai-nilai atau norma-norma yang dianut dari generasi ke generasi.
Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala. Kultur sekolah yang baik misalnya kemauan menghargai hasil karya orang lain, kesungguhan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, motivasi untuk terus berprestasi, komitmen serta dedikasi kepada tanggungjawab. Sedangkan kultur yang negatif misalnya kurang menghargai hasil karya orang lain, kurang menghargai perbedaan, minimnya komitmen, dan tiadanya motivasi berprestasi pada warga sekolah.
Berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia, juga perlu diciptakan kultur yang baik. Pada semua tenaga pendidik dan tenaga kependidikan harus ada komunikasi dan kolaborasi yang apik sehingga mendukung sebuah lembaga untuk terus berinovasi, untuk terus melakukan perubahan yang positif, atau Tajdid dalam bahasa persyarikatan kita. Tenaga pendidik dan kependidikan yang memiliki kultur yang baik akan meciptakan suasana pembelajaran kepada peserta didik yang juga menyenangkan, dilakukan dengan kesungguhan dan sepenuh hati.
Untuk siswa perlu ditingkatkan motivasi belajar dan pentingnya kedisiplinan, kejujuran dan motivasi berprestasi sehingga kompetisi antar siswa akan tercipta. Contoh kultur negatif yang masih sering dilakukan siswa antara lain masih kurang diperhatikannya persoalan kedisiplinan, ini terbukti dari angka keterlambatan yang cukup tinggi.
Budaya inovasi juga perlu ditingkatkan dalam semua elemen dan warga sekolah. Misalnya saja guru harus membudayakan untuk terus berinovasi dalam pembuatan media pembelajaran. Metode pembelajaran yang konvensional harus diganti dengan metode baru yang kontemporer dan profesional tanpa meninggalkan penekanan kepada makna dan kearifan lokal.
Setiap perubahan budaya menuju perbaikan jelas akan menemui tantangan, terutama oleh mereka yang merasa sudah mapan, status quo yang yang sudah terlanjur nyaman dengan kemapanan. Kelompok pembaharu umumnya akan ditentang, memang karena perubahan itu akan terkesan menakutkan bagi sebagian orang. Dalam manajemen organisasi ini sesuatu yang wajar namun tetap perlu dikendalikan.
Solusinya, harus ada kemauan untuk membangun budaya yang kondusif bagi pembelajaran itu dari semua pihak. Lembaga sekolah harus melakukan berbagai pendekatan agar terjadi komunikasi yang baik antara sekolah dengan warga sekolah. Pendekatan yang dilakukan bisa massal maupun personal. Namun agaknya kecenderungan yang lebih efektif adalah pendekatan personal. Dalam pendekatan itu sekolah wajib menyadarkan warga sekolah akan kebutuhan terhadap perubahan itu sendiri, dilakukan sosialisasi, pelatihan dan sebagainya. Disamping juga peraturan yang sudah dibuat melalui konsensus itu mesti ditegakkan.
Bagi guru, agar mudah menerima perubahan maka mesti memperluas wawasan, sharing perkembangan yang sudah terjadi di luar sanasehingga bisa berpikir lebih akomodatif terhadap perubahan positif kebudayaan. Dan yang tidak kalah penting, kepada siswa perlu dilakukan sosialisasi mengenai tantangan dunia ke depan sehingga mereka termotivasi untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan zaman.
Terhadap kultur yang dibawa oleh kecanggihan teknologi memang tidak semuanya baik. Kita perlu menyaring, memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik. Tidak semuanya konsekuensi teknologi itu kita biarkan, diperlukan adaptasi, bukan adopsi. Namun adanya sisi negatif itu bukan berarti kita harus menutup diri dari teknologi, kalau kita antipati maka kita pasti semakin tertinggal.[5]

C.    Membangun Masyarakat Sekolah
Lembaga pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Masyarakat sekolah juga amat dipengaruhi oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah yang mendudungnya. Suatu lembaga pendidikan berasrama milik militer atau kepolisian akan terlihat mulai dari adanya sistem penjagaan yang ketat. Begitu masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai terasa.  Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di depan pos jaga yang siap akan menanyakan kepada semua tamu yang datang. Penjaga itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang ditugasi untuk itu. Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk kepada pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana pendidik berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah, dan juga kepada masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah sekolah, dan sekaligus memecahkan masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma lama dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah, maka lahirlah satu bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat yang sangat birokratis. Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala sekolah. [6]

D.    Cara Membangun Masyarakat Sekolah
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Ingin menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah. Demikian seterusnya dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya. Contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam pada masyarakat sekolah sekolah:
·         Pertama, kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad SAW selalu melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Adanilai religius dan medis yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.
·         Kedua, etika. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain yang bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.
·         Ketiga, kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu harus dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali KPK telah membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini. Konon, materi materi mata pelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan manusia yang jujur di negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan Agama. Tetapi nyatanya tidak demikian. Malah telah menghasilkan banyak koruptor. Materi tentang penjumlahan, pengurangan, dan perkalian ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang pembagian. Hasilnya, membagi kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi kebahagiaan ternyata jarang dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi, mengalikan bunga bank untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran harus dapat dibangun di sekolah.
·         Keempat, kasih sayang. Menurut pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1) kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
·         Kelima, mencintai belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau mencintai belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta dan data.
·         Keenam, bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab. Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.
·         Ketujuh, menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
·         Kedelapan, menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
·         Kesembilan, mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan senang hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.
·         Kesepuluh, suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola hidup konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk tujuan yang mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa depan.
·         Kesebelas, suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama di pedesaan kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.
·         Kedua belas, tepat waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi. Time is money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri yang sampai saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita ganti? Maka tanamlah benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita. Sudah barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat kita.[7]



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi suatu pengantar, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 172
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2000), hlm. 143-144
[4]http://masbied.com/search/definisi-mayarakat-sekolah

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama