Broker politik atau makelar politik dalam tataran perpolitikan di Indonesia dari sejak dahulu sampai sekarang menjadi pekerjaan sebagian orang yang mempunyai kedekatan dengan para penguasa dan pemerintah. Makelar politik berkaitan dengan semua aktivitas politik, terutama deal-deal soal jabatan, program, fee, dan lain sebaginya.
Pada tataran partai politik, makelar politik mempunyai pekerjaan penting dalam melakukan lobi-lobi kepentingan untuk mendapatkan suara sebanyak-banyak dalam pemilihan legislatif maupun eksekutif. Ada yang betul-betul sebagai makelar dengan mengajukan diri mencari suara dengan imbalan tertentu atau ongkos untuk mobilisasi massa. Ada juga yang hanya mencari kesempatan pada saat pemilihan umum saja menjadi makelar, tujuannya bukan untuk pemenangan salah seorang calon, tapi bagaimana ia bisa mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menawarkan suara, seolah-oalh ia mempunyai suara yang banyak yang dapat memenangkannya dalam pemilihan.
Setelah pemilihan umum, jumlah dan aktivitas makelar politik tidak semakin berkurang, jumlahnya semakin bertambah banyak. Kalau pada awal sebelum terpilih sebagai pejabat, makelar yang ia tawarkan hanya untuk kepentingan pribadinya saja atau beberapa kelompok. Tapi setelah terpilih menjadi penajabat, maka mereka yang menganggap diri “berjasa” dalam pemenangannya akan menagih janji untuk menjadi makelar dalam jabatan-jabatan tertentu, agar keluarga, saudara, kerabat, atau orang lain dapat masuk dalam tataran pemerintahan.
Atau dapat saja para pejabat yang sudah terpilih, bergantian menjadi makelar politik. Dengan posisi sebagai pejabat penting pada isntansi tertentu, ia menjadi makelar untuk masyarakat yang menginginkan jabatan tertentu untuk diduduki. Ia menganggap dengan kekuatannya sebagai pejabat publik, maka akan dengan mudah untuk meluluskan permintaan beberapa jabatan, taruh saja menjadi seorang pegawai negeri. Jasa-jasa makelar pejabat bertebaran saat-saat pembukaan pegawai negeri. Proses transaksi pun tergantung dari jabatan yang diinginkan, semakin besar dan basah jabatan yang diinginkan, maka jasa makelar pun semakin tinggi, bisa mencapai milyaran.
Makelar politik juga dapat dilakukan oleh masyarakat biasa yang mempunyai kepentingan tertentu pada pemerintah dan penguasa. Seperti yang dilakukan oleh Ahmad Fatanah, yang sementara ini tertangkap tangan menyogok salah satu pejabat agar proyek perusahaan tertentu dapat berjalan dengan mulus.
Aktivitas para makelar politik dari pusat hingga daerah sudah merajalela dan terbilang akut. Sangat susah untuk diberantas, baik dalam skala kecil apalagi skala besar. Tidak tahu muaranya di mana, dan harus memulai dari mana. Kepolisian sebagai penegak hukum, setali tiga uang. Jangan pernah masalah besar dapat diselesaikan dengan baik, kalau masalah kecil saja tidak dapat dituntaskan. Taruh saja pembuatan surat izin mengemudi (SIM). Memang di depan kantor polisi jelas tertulis tidak boleh menggunakan jasa calo atau makelar. Tapi di luar kantor, bertebaran orang-orang yang menjadi makelar SIM, baik oknum anggota polisi sendiri atau orang-orang yang pekerjaannya menjadi makelar. Apalagi urusan dengan kalkulasi uang yang cukup tinggi, siapa yang tidak tertarik untuk mejadi makelar.
Apakah keberadaan makelar politik karena sistem yang membuatnya atau sistem yang diperalat?. Kalau kita lihat bagaimana proyek-proyek pemerintah ditentukan, sepertinya sistem telah melahirkan makelar-makelar di setiap proyek dan bidang garapan.
Anggaran pemerintah pusat sudah jelas ada untuk setiap daerah dan kementrian yang ada. Besar alokasi anggaran tergantung pendapaan daerah dan kesepakatan para anggota DPR pusat. Begitu juga, saat pemerintah daerah mengajukan anggaran untuk satu tahun dalam masa kerja, maka harus ada persetujuan DPR di masing-masing provinsi dan kabupaten. Saat program dijalankan, kementrian atau dinas terkait yang mendapatkan program, dalam jumlah uang tertentu, ia tidak bisa menunjuk langsung, harus melalui proses tender. Dan pada proses ini kemudian sering terjadi makelar politik untuk mendapatkan proyek atau untuk memuluskan proyek.
Jadi sebenarnya, sistemlah yang telah membuat dan menciptakan makelar-makelar politik di negeri ini. Solusinya tentu perlu dipikirkan bersama, baik dengan merubah aturannya atau dengan melakukan tranparansi dalam setiap programnya kepada masyarakat luas, baik pusat maupun daerah. Masyarakat terkadang tidak tahu sama sekali apa yang menjadi program pemerintah pusat dan daerah, dan berapa besar alokasinya. Hanya orang-orang tertentu yang tahu di sekitar mereka. Kalaupun program dilaksanakan, maka itu hanya seputar wa alihi wa ashabih (antara kelaurga dan teman saja). Orang yang tidak mempunyai kepetingan tidak mendapatkan apa-apa.
Tapi saya kira, keberadaan makelar juga tidak sepenuhnya salah, hanya cara dan prosesnya saja yang perlu diperbaiki. Kalaupun sistem telah melahirkan makelar, maka pemerintah dituntut untuk lebih transparan dan masyarakat dapat juga berlaku fairdalam setiap urusan untuk kepentingan rakyat, tidak hanya sekedar untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Wallahu ‘alam bi al shawab
Posting Komentar