Berita hangat seputar politik minggu-minggu ini terus terekspose di media elektronik maupun media cetak. Tidak hanya sekedar isu korupsi, tapi juga isu perselingkuhan dan seks para politikus menjadi bahan yang hangat untuk dibicarakan.
Politik, harta, wanita, dan seks sepertinya menjadi satu kesatuan yang terus bergulir secara tidak teratur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Lebih parah lagi, semuanya terjadi pada pemimpin-pemimpin bangsa ini. Yang seharusnya menjadi teladan baik bagi keluarganya dan bagi anak bangsa.
Coba kita lihat empat hal di atas, hampir tidak dapat dipisahkan, mulai dari awal hingga akhir dari karier-karier mereka di dunia perpolitikan, dan yang lebih tragis adalah mereka yang tidak dapat bertanggungjawab harus menelan pil pahit masuk ke dalam penjara.
Saat orang terjun ke duania politik, taruh saja mencalonkan diri menjadi anggota DPRD atau menjadi pejabat publik dari tinggkat pusat hingga tingkat desa. Semuanya tidak ada yang free (gratis), membutuhkan biaya dan ongkos politik yang sangat besar. Jangan Tanya mereka yang mencalonkan diri menjadi anggota DPR pusat, berapa biaya dan uang yang harus dikeluarkan. Jutaan…!, itu sangat sedikit sekali, mungkin hanya cukup untuk membuat poster dan baliho saja. Uang yang dibutuhkan dapat mencapai milyaran rupiah. Apalagi yang bersangkutan bukan dari kader partai, maka harus mempunyai uang lebih untuk dapat “merayu” partai politik agar dapat diusung. Sehingga politik adalah uang. Seseorang mengeluarkan uang dalam jumlah milyaran rupiah bukan jumlah yang sedikit. Walaupun ia seorang pengusaha, jutawan, atau milyarder. Kalau berpikir sehat, dengan uang milyaran rupiah, kalau diinvestasikan, maka akan mendapat keuntungan sangat fantastis. Tidak mungkin mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk ongkos politik dan mengeluarkannya dengan ihklas agar dapat menembus kursi jabatan politik tertentu.
Dengan kondisi sepeerti itu, kalau mereka terpilih, maka akan berpikir bagaimana modal ang telah dikeluarkan dapar kembali dengan cepat. Apakah dengan transaksi legal maupun illegal?. Berapalah gaji pejabat publik seperti DPR tingkat kabupaten yang hanya berkisar 15 jutaan setiap bulannya. Kalau untuk dapat megembalikan uang milyaran rupiah selama jabatan lima tahun, sudah barang tentu tidak akan kembali. Lalu, bagaimana mereka dapat mengembalikan ongkos politik mereka?. Sebuah pertanyaan besar yang harus perlu diketahui dan dipahami oleh masyarakat, agar tidak terus-menerus dibohongi dan ditipu oleh pejabat-pejabat publik.
Cara yang paling mudah untuk mengembalikan uang adalah dengan melakukan tindakan korupsi dalam bentuk pengalihan dana Negara dengan kegaitan-kegiatan tertentu atau proyek-proyek tertentu agar bisa dapat keuntungan dari kegiatan dan proyek-proyek tersebut. Pada pembahasan anggaran menjadi pertaruhan untuk mempertahankan pendapat agar apa yang dinginkan dapat tercapai. Cukup dengan analisa yang kuat dan logika yang mantap, dan menyakinkan semua anggota yang lain, dipastikan akan berjalan mulus.
Mereka setelah terpilih tidak hanya sekedar memikirkan bagaimana uang politik untuk mendapatkan jabatan kembali lagi. Di tengah jalan, mereka juga disunat oleh partai politik sendiri dengan memberikan sekoan persen dari penghasilan menjadi pejabat, baik gaji maupun pada proyek-proyek tertentu. Kalau tidak, mereka bisa saja diganti oleh partai, karena kekuasaan ada di lembaga partai politik.
Uang politik yang didapatkan dari jabatannya sebagai pejabat publik, ibarat uang panas yang mudah terbakar. dan peruntukkannnya pun untuk hal-hal yang panas. Atau sesuatu yang berasal yang haram, maka diperuntukkan juga untuk yang haram. Maka seringkali kemudian pejabat publik tidak jauh dari yang namanya perempuan.
Perempuan sebagai penghias jabatannya atau sebagai pengisi kekosongan dalam kesehariannya, tentu yang dicari adalah yang dapat mudah dicari dan dipakai dalam paruh waktu tertentu. Istri yang menjadi perempuan sah dianggap sebagai barang yang sudah terlalu lama untuk mendampingi dalam berbagai kegiatan.
Bahkan dalam berbagai kunjungan, menurut berita yang tersebar dan pernah ditanyangkan dalam sebuah stasiun televisi swasta yang bertajuk investigasi menyebutkan bahwa dalam setiap kunjungan kerja pejabat ke luar daerah, selalu ada agen yang menyediakan para pejabat untuk ditemani di sela-sela kunjungannya oleh perempuan-perempuan yang pekerjaan mendampingi para pejabat. Mendampingi hanya sekedar untuk membawakan barang atau mendampingi sebatas obrolan atau mendampingi untuk kebutuhan khsusus.
Jika urusannya sudah menyangkut perempuan, maka urusan selanjutnyanya adalah urusan seks. Menyalurkan kebutuhan fitrah kelaki-lakian dari pejabat dan mereka anggap sebagai dharuriyat. Bagi mereka yang sudah “tidak beragama” mencari perempuan yang bisa diganti-ganti adalah pilihan. Karena tidak mau mengambil resiko untuk bertanggungjawab, asalkan naluri sudah tersalurkan. Mereka tidak mau menyakiti hati istri dengan menikah lagi. “lebih baik selingkuh daripada poligami”, menjadi slogan yang mantap untuk mencari dan memburu perempuan-perempuan yang berbeda dalam setiap kunjungannya. Tapi bagi mereka yang masih “beragama”, kalaupun ingin menyalurkan naluri kelaki-lakiannya, maka dengan menikah sirri adalah pilihan yang tepat dan masih pada jalur agama. Sehingga tidak heran, pejabat publik yang “agamis” menempuh jalan dengan menikah lagi, dikketahui atau tidak oleh istri pertama menjadi urusan belakang, ada izin atau tidak, yang penting niat sudah tersalurkan dengan sah.
Kalau pejabat yang selingkuh sudah menjadi santapan biasa, bahkan ada di antara mereka yang menvideokan dirinya beradegan mesum. Bukan dihukum dengan berat, malah dibela dengan alasan-alasan tertentu. Berbeda dengan mereka yang menikah lagi atau poligami. Mereka dihujat, disalahkan, dan disudutkan sebagai orang yang tidak bertanggungjawab. Walapaun dalam konteks yang berbeda, kedua-duanya tetap “salah”, karena yang menikah dengan sirri pun, setelah mempunyai anak baru mengumumkan pernikahannya, atau setelah tidak lagi menjadi pejabat baru menyakan bahwa mereka sudah menikah.
Tapi yang jelas, saat politik bersanding dengan uang, maka ujung-ujungnya akan mengarah pada perempuan dan seks. Atau begitu juga sebaliknya, saat politikus dipenjara dan berada di bawah kekuasaan perempuan, maka sering kali juga secara membabibuta untuk mencari harta dengan bagaimanapun caranya, bahkan dengan cara mengkorupsi uang negara, seperti melakukan money lundry. Membeli barang tertentu dengan nama perempuan-perempuan yang menjadi perempuan simpanan atau menjadi istri siirinya.
Untuk mengubah perilaku tersebut dibutuhkan perangkat yang lebih ketat, seperti pengawasan terhadap segala bentuk penganggaran dan penggunaan uang, ataupun program-program yang direncanakan oleh anggota dewan. Yang tidak kalah penting adalah sistem yang dapat mengikat dan mengingatkan mereka akan perilaku-perilaku menyimpang.
Mereka bukanlah orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Mereka orang-orang pintar dan bepengetahuan luas. Tapi dalam sanubari mereka belum terbentuk rasa malu dan kesadaran diri akan tanggung jawab yang mereka emban. Oleh karena itu, harapan perubahan bangsa ada di tangan penerus bangsa yang masih muda saat ini. Hukum tetap berjalan terhadap generasi saat ini, dan pelan-pelan menunggu mereka musnah dari dunia ini. Mudah-mudahan Indonesia dapat menjadi Negara yang hebat, sebagaimana ceritera dan dongeng kerajaaan sriwijaya ataupun majapahit. Wallahu A’lam bi al-Shawab
Posting Komentar