Untuk menjadi kyai atau ustadz di desa sebenarnya tidak susah-susah amat, hanya butuh sedikit pengabdian dam penampilan yang islami dan dipoles dengan beberapa gaya, sudah cukup dianggap menjadi kyai dan ustad. Untuk penampilan sendiri, kyai/ustadz desa, maka harus menggunakan sarung, baju koko, dan topi tetap melekat di kepala. bagi yang sudah haji, maka atribut haji harus tetap melekat dalam segala situasi kehidupan bermasyarakat. Dengan modal itu, secara kontinu, lama-kelamaan, masyarakat pun akan memanggil kyai/ustadz dan akan dipakai dalam segala kegiatan dan acara.
Tidak perlu pemahaman agama yang sangat luas, seperti bisa membaca kitab kuning, menghafal al-qur’an dan al-hadis, atau memahami beberapa usul dalam agama. Masyarakat tidak akan pernah meminta untuk diajarkan kitab kuning, tidak akan pernah bertanya apa itu mubtada’ atau khabar dan lain sebagainya. Hanya hukum-hukum dasar yang dipraktekkan masyarakat sehari-hari, seperti shalat dan puasa.
Tapi bisa berpidato menjadi mutlak dan keharusan bagi kyai/ustad desa, karena khutbah jum’at menjadi tolak ukur derajat dan tingkatnya. Biasanya untuk shalat jum’at sebelum menjadi khatib, maka sebelumnya harus menjadi tukang adzan, hadi, dan imam shalat.
Namun kadang-kadang, keberadaaan kyai/ustad desa dengan keadaan seperti itu, sedikit “memalukan” pada waktu-waktu tertentu. Taruh saja pada saat ditanya tentang masalah agama lebih mendalam, selalu ujungnya adalah, “itu cara dan yang dipraktekkan ulama’-ulama’ terdahulu”. Atau lebih parah lagi, “seperti itu nenek moyang melakukannya”. Atau dalam keadaan tertentu secara khusus, seperti shalat mayyit, selakaran, do’a, di mana di dalamnya ada pengkhususan. Sering terjadi kesalahan dan memberikan makna yang berbeda. Shalat mayyit sendiri, orang yang dishalatkan berbeda-beda. Bisa seorang mayyit laki-laki saja, perempuan saja, perempuan dan laki-laki, dua orang laki-laki, dua orang perempuan, atau banyak orang. Tentu do’anya akan berbeda-beda, terutama pada dhamir penunjukannya. Kalau mayyit laki-laki dengan menggunakan dhamir perempuan, maka secara tata bahasa sudah salah peruntukannya.
Begitu juga dengan do’a, banyak sekali kyai/ustadz desa yang selalu salah menempatkan dhamir penunjukkan pada do’a. Kesalahan yang sering terjadi adalah penunjukkan do’a hanya untuk dirinya sendiri, padahal ia berdo’a berjama’ah. Mereka asyik aja mendo’akan dirinya, sedangkan jama’ah mengamini, dan tidak paham maksud dari do’a.
Melekatkan gelar kyai/ustad pada seseorang tidak salah, selama ia mampu menjelaskan risalah agama dengan baik dan mempraktekkannya. Seorang yang diberikan gelar juga tidak hanya puas dengan gelar yang diberikan, tapi ia juga harus mampu mengembangkan diri dan terus belajar agama. Sehingga dalam penjelasan masalah agama tidak bersandar pada perilaku nenek moyang atau mengarang. Jika tidak mampu menjawab, maka tidak salahnya bertanya kepada yang lebih ahli. Dan yang terpenting adalah memahami bahasa arab sendiri agar tidak salah dalam menempatkan dhamir, atau lebih parah lagi adalah membuyikan harakat huruf, seperti baris atas, bawah, mati, dhommah, dan tanwin.
Sehingga agama adalah ajaran itu sendiri. Tidak bisa hanya paham agama dan mampu menjelaskannya, tapi tidak bisa membaca al-Qur’an. Begitu juga sebaliknya, bisa membaca al-Qur’an tapi tidak paham masalah agama, hanya bersandar pada perilaku orang-orang terdahulu. Seseorang paham agama dan harus mampu membaca al-Qur’an dengan baik dan fasih, apalagi posisinya sebagai kyai/ustad dalam masyarakat.
Seseorang harus mampu memahami dirinya dan dapat menimbang dirinya, pada posisi mana ia berada. Tujuannya agar agama ini menjadi benar dipraktekkan dan diajarkan kepada masyarakat. Semakin paham masyarakat akan pengetahuan agama, maka akan semakin diberkahi Allah. Sebagaimana janji Allah dalam al-Qur’an bagi mereka yang beriman dan melakukan amal shalih. Wa’llahu a’lam bi al-shawab
Posting Komentar