I’tikaf bulan puasa pada tahun terasa sangat hambar dengan ketidakhadiran mudir ma’had di Masjid Zakaria al salamah. Tidak seperti tahun-tahun lalu, setiap masuk malam ke 21 Ramadhan, beliau sudah berada di masjid dan iktikaf penuh selama sepuluh terakhir bulan suci Ramadhan. Tahun ini, beliau masih di kota Makkah, wal hasil sejak malam ke 21 ramadhan sampai saat ini terasa sepi, jama’ah pun sepertinya kurang antusias untuk ikut i’tikaf di Masjid Zakaria al Salamah.
Ketidakhadiran mudir ma’ahad untuk i’tikaf pada Bulan Ramadhan ini membuat santri, para asatidz, dan jama’ah kurang semangat menjalankan ibadah, baik tarawih maupun qiyam al-lail. Tapi bukan beribadah karena adanya mudir ma’had, hanya saja belum terasa afdhal. Biasanya, dengan adanya beliau kegiatan di masjid menjadi rutin, mulai dari pengajian di pagi hari setelah subuh, pengajian jam 10 sampai dzuhur, pengajian ashar sampai mejelang berbuka, shalat tarawih, dan qiyam lail mulai jam 03.00 sampai menjelang berbuka puasa. Dengan tidak adanya beliau, secara otomatis kegiatan-kegiatan di atas tidak ada sama sekali, kecuali hanya pengajian subuh yang masih diisi bergantian oleh beberapa tuan guru dan ustadz.
Sebenarnya, kepergian mudir ma’had ke makkah al mukarromah untuk umrah harus ditanggapi dengan reflek yang lebih baik oleh dewan pembina dan yayasan yang ada. Beliau sebagai orang terdepan yang selalu berada di Masjid Zakaria al Salamah untuk i’tikaf seharusnya dapat digantikan dan mempunyai inisiatif untuk menggantikan belaiu selama beliau tidak ada. Agar kegiatan beliau yang sudah dirintis lama, tidak hanya sekedar beliau saja yang melakukan, tapi bagaimana para pimpinan dan dewan asatidz juga mempunyai pemikiran yang sama dengan beliau. Bukan sebaliknya, di saat beliau tidak ada, yang lain saling menyalahkan dan mengandalkan satu sama lain untuk menggantikan posisi beliau.
Suasana i’tikaf memang dibutuhkan orang-orang yang mempunyai semangat kuat dan girohibadah yang besar. Sebenarnya bukan sekedar i’tikaf, tapi bagaimana menghidupkan malam dengan qiyam al lail, agar masjid tidak sepi dari ibadah. Padahal di sepuluh terakhir dari bulan suci Ramadhan, kaum muslimin dianjurkan untuk beribadah sebanyak-banyaknya di malam hari untuk mengejar lailatul qadr, yang lebih baik dari seribu bulan.
Menghidupkan malam dengan shalat malam, dibutuhkan seorang imam yang dapat memberikan semangat beribadah. Karena untuk melaksanakan ibadah di tengah malam akan sangat susah. Kalau imamnya tidak dapat memberikan semangat kepada para jama’ah, maka jama’ah pun akan enggan untuk ikut shalat. Imam di sini dibutuhkan mereka yang mempunyai bacaan baik, sehingga yang mendengarkan pun dapat meresapi dengan baik setiap ucapan kata-kata dari al Qur’an itu sendiri. Tidak hanya sekedar bisa membaca atau menghafal al-Qur’an, paling tidak dapat melagukannya dengan fasih, sehingga membawa suasa yang lebih bergairah kepada jama’ah yang ikut shalat. Bandingkan saja, berada di belakang imam dengan bacaan tidak baik, walapun pendek ayat yang dibaca, akan terasa lama dan membosankan. Berbeda dengan berada di belakang imam dengan bacaan yang baik, sepanjang-panjang ayat yang dibaca, aka terasa pendek dan tidak membosankan.
Oleh karena itu, orang yang menggantikan mudir ma’had harus juga dapat memberikan semangat yang sama kepada para asatd, santri dan para jama’ah yang shalat dan i’tikaf di Masjid Zakaria al Salamah. Karena kalau tidak, maka masjid Zakaria al Salamah hanya sekedar masjid dengan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid kampong lainnya.
Kita tentu ingin memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, bahwa dengan datangnya sepuluh terakhir bulan suci Ramadhan, berarti harus bisa memburu lailatul qadr. Beribadah sepanjang malam di masjid dengan memandu dan mengimami mereka dalam menjalankan ibadah shalat. Sehingga Masjid Zakaria al Salamah dapat menjadi warna dan memberikan pelajaran bahwa masjid dibuat untuk dimakmurkan, apalagi di Bulan Ramadhan seperti ini.
Jangan menjadi sebaliknya, saat mudir ma’had tidak ada dan uzur i’tikaf di Masjid Zakaria al Salamah. Semua orang juga bermalas-malasan untuk menghidupkan malam di Bulan Ramadhan. Lebih parah lagi, mereka yang seharusnya tampil untuk menggantikan beliau juga ikut tertidur pulas dalam heningnya malam dan dinginnya angin. Kalau seperti itu, orang-orang terdekat mudir ma’had saja tidak dapat memberikan pengaruh pada diri mereka, apalagi masyarakat luar yang tidak berinteraksi secara langsung dengan beliau.
Kita semua perlu berpikir, kalau tidak kita yang mengambil peran, siapa lagi yang akan menggantikan tradisi beliau sepeninggal beliau kelak. patut untuk dijadikan ibrah dan pelajaran, bukan hanya sekedar untuk kepentingan “saya” tapi untuk kepentingan “kita” bersama. Membangun masyarakat yang gemar beribadah dan dekat kepada sang khalik. Paling tidak, kalau tidak bisa i’tikaf penuh siang dan malam, cukup hanya malam saja dengan mendirikan shalat malam. Supaya suasa terakhir malam Bulan Ramadhan menjadi ramai dan Alhamdulillah kalau mendapatkan lailatul qadr. Wallahu a’lam bi al shawab
Posting Komentar