Ketahuilah sesungguhnya sebagian orang yang sering ganggur akan merasa berat untuk melakukan mujahadah, riyadlah (di latih), menyibukan diri untuk mensucikan hati dan membersihkan akhlak. Sehingga hatinya tidak mau tolenransi dengan semua itu, karena kebodohan, kekurangan dan kekotoran hatinya, sehingga dia menyangka bahwa akhlak tidak akan bisa di rubah, karena sesungguhnya watak seseorang tidak akan berubah sampai kapanpun. Maka saya katakan pada orang seperti ini, “jika akhlak tidak bisa di rubah, maka apa gunanya wasiat, nasehat dan tuntunan etika baik yang di sampaikan oleh syareat, dan kenapa baginda Nabi Muhammad Saw bersabda, “perbaikilah akhlak kalian semua”.
Bagaimana bisa tidak mungkin akhlak manusia di rubah, wong binatang saja mampu di rubah perilakunya. Seperti burung elang yang semula liar mampu menjadi penurut. Kuda liar juga bisa menjadi penurut. Semua itu adalah bentuk perubahan akhlak atau perilaku.
Keterangan yang bisa menguak semua itu adalah, aku katakan bahwa makhluk yang ada di alam semesta ini terbagi menjadi hal-hal yang tidak mampu di usahakan oleh manusia, baik dari asal atau perinciannya seperti langit dan bintang-bintang, bahkan anggota tubuh di dalam dan luar serta anggota badan binatang-binatang. Kesimpulannya adalah setiap sesuatu yang sudah wujud secara sempurna dengan sendirinya maka sudah tidak perlu di rubah.
Dan terbagi juga menjadi hal-hal yang wujud dalam keadaan tidak sempurna dan memiliki potensi untuk menjadi sempurna jika memang memenuhi syarat-syaratnya. Syarat kesempurnaan itu terkadang tergantung pada usaha seorang hamba. Sesungguhnya sebuah biji tidak bisa di sebut buah apel atau kurma, namun biji tersebut tercipta menjadi sesuatu yang bisa berubah menjadi kurma ketika di rawat dan di tanam. Dan juga sama sekali tidak bisa menjadi apel kecuali melalui proses perawatan.
Ketika biji-bijian saja bisa berubah dengan usaha sehingga dalam satu keadaan bisa menjadi buah, maka begitu juga emosi dan syawat. Kalau kita ingin menahan dan mencegah keduanya secara total sehingga tidak tersisa lagi, maka sama sekali kita tidak akan mampu melakukannya. Namun jika kita ingin mengontrol dan menuntun keduanya dengan riyadloh (latihan) dan mujahadah (usaha sekuat tenaga), maka kita akan mampu melakukannya. Dan memang kita telah di perintah untuk melakukannya sebab hal itu adalah sesuatu yang bisa mengantarkan selamat dan sampai kepada Allah Swt.
Memang benar watak manusia itu berbeda-beda, ada yang cepat di rubah ada juga yang agak lama.
Tujuan dari mujahadah ini bukanlah menahan dan mencega sifat-sifat tercela ini seratus persen, karena hal itu sangat tidak mungkin, sebab syahwat (keinginan hati) itu di ciptakan karena ada faedah di dalamnya dan sudah menjadi hal yang lazim di dalam watak manusia. Sebab kalau keinginan makan hilang secara total, niscaya manusia akan binasa. Seandainya keinginan berhubungan biologis tidak ada, niscaya rantai keturunan akan terputus. Seandainya emosional hilang tak berbekas, niscaya seseorang tidak akan mampu meyelamatkan dirinya dari hal-hal yang bisa mencelakakannya sehingga dia akan binasa.
Ketika di pastikan bahwa syahwat tidak akan hilang secara total, maka pasti akan timbul rasa cinta terhadap harta yang bisa mengantarkan ke hal yang di senangi, sehingga rasa senang terhadap harta ini bisa mendorong untuk menyimpan dan tidak membelanjakannya. Yang di tuntut bukan menghilangkan sifat-sifat tersebut secara total, akan tetapi yang di tuntut adalah memposisikan sifat-sifat tersebut pada keadaan yang wajar, yaitu posisi tengah-tengah diantara melampaui batas dan terlalu ceroboh.
Yang di tuntut dalam emosi adalah bersikap keras yang baik, yaitu tidak ngawur dan tidak takut secara total. Kesimpulannya adalah, seseorang menjadi orang yang kuat, namun walaupun kuat akan tetapi tetap mengikuti akal sehat. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman dalam surat Al Fath ayat 29
Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Allah Swt mensifati para sahabat Nabi Saw dengan sifat keras yang muncul dari emosi.
Seandainya emosi hilang secara total, niscaya jihad pun tidak akan ada. Bagaimana mungkin syahwat dan emosi bisa hilang secara total, sedangkan para nabi saja tidak terlepas dari emosi. Karena baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ
“aku hanyalah seorang manusia yang bisa marah seperti layaknya manusia yang marah.”
Ketika di hadapan beliau ada pembicaraan yang kurang baik, maka beliau pun akan marah hingga kedua pelipisnya memerahm namun beliau tidak pernah berkata kecuali hal-hal yang hak dan benar.
Kemarahan beliau tidak pernah keluar dari batas-batas kebenaran. Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 134 :
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Allah Swt tidak menyebutkan dengan bahasa, "والفاقدين الغيظ" “orang-orang yang tidak memiliki amarah”. Mengembalikan amarah dan syahwat ke posisi yang ideal dan normal, sekira keduanya tidak mendominasi dan mengalahkan akal akan tetapi akallah yang mengontrol dan mengalahkan keduanya, adalah sesuatu yang bisa di usahakan dan mungkin tercapai, dan inilah yang di maksud dengan merubah perilaku. Karena sesungguhnya terkadang syahwat mendominasi seseorang sehingga akal tidak mampu mengendalikannya agar tidak terumbar ke perkara yang jelek. Dengan latihan, syahwat bisa kembali pada keadaan yang ideal dan normal. Maka hal itu menunjukkan bahwa merubah etika itu sangat mungkin di usahakan. Percobaan dan apa yang telah di saksikan itu menunjukkan tanpa ada keraguan sama sekali bahwa semua itu bisa tercapai.
Sesuatu yang menunjukkan bahwa yang di anjurkan adalah perilaku yang wajar tidak berlebihan dan tidak terlalu ceroboh adalah sifat dermawan, karena sesungguhnya dermawan itu perilaku yang terpuji dalam syareat yaitu tidak terlalu boros dan tidak terlalu ngirit. Sesungguhnya Allah Swt memuji sifat dermawan. Allah Swt berfirman dalam surat Al Furqan ayat 67 :
Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Allah Swt berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 29 :
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.
Begitu juga yang di anjurkan dalam syahwat makan adalah yang wajar, tidak terkesan rakus atau menampik. Allah Swt berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 31 :
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Dalam urusan emosi, Allah Swt berfirman dalam surat Al Fath ayat 29 :
Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
فَإِنَّ خَيْرَ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا
“perkara yang paling baik adalah yang tengah-tengah.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Kepribadian nabi Muhammad saw
Bagaimana bisa tidak mungkin akhlak manusia di rubah, wong binatang saja mampu di rubah perilakunya. Seperti burung elang yang semula liar mampu menjadi penurut. Kuda liar juga bisa menjadi penurut. Semua itu adalah bentuk perubahan akhlak atau perilaku.
Keterangan yang bisa menguak semua itu adalah, aku katakan bahwa makhluk yang ada di alam semesta ini terbagi menjadi hal-hal yang tidak mampu di usahakan oleh manusia, baik dari asal atau perinciannya seperti langit dan bintang-bintang, bahkan anggota tubuh di dalam dan luar serta anggota badan binatang-binatang. Kesimpulannya adalah setiap sesuatu yang sudah wujud secara sempurna dengan sendirinya maka sudah tidak perlu di rubah.
Dan terbagi juga menjadi hal-hal yang wujud dalam keadaan tidak sempurna dan memiliki potensi untuk menjadi sempurna jika memang memenuhi syarat-syaratnya. Syarat kesempurnaan itu terkadang tergantung pada usaha seorang hamba. Sesungguhnya sebuah biji tidak bisa di sebut buah apel atau kurma, namun biji tersebut tercipta menjadi sesuatu yang bisa berubah menjadi kurma ketika di rawat dan di tanam. Dan juga sama sekali tidak bisa menjadi apel kecuali melalui proses perawatan.
Ketika biji-bijian saja bisa berubah dengan usaha sehingga dalam satu keadaan bisa menjadi buah, maka begitu juga emosi dan syawat. Kalau kita ingin menahan dan mencegah keduanya secara total sehingga tidak tersisa lagi, maka sama sekali kita tidak akan mampu melakukannya. Namun jika kita ingin mengontrol dan menuntun keduanya dengan riyadloh (latihan) dan mujahadah (usaha sekuat tenaga), maka kita akan mampu melakukannya. Dan memang kita telah di perintah untuk melakukannya sebab hal itu adalah sesuatu yang bisa mengantarkan selamat dan sampai kepada Allah Swt.
Memang benar watak manusia itu berbeda-beda, ada yang cepat di rubah ada juga yang agak lama.
Tujuan dari mujahadah ini bukanlah menahan dan mencega sifat-sifat tercela ini seratus persen, karena hal itu sangat tidak mungkin, sebab syahwat (keinginan hati) itu di ciptakan karena ada faedah di dalamnya dan sudah menjadi hal yang lazim di dalam watak manusia. Sebab kalau keinginan makan hilang secara total, niscaya manusia akan binasa. Seandainya keinginan berhubungan biologis tidak ada, niscaya rantai keturunan akan terputus. Seandainya emosional hilang tak berbekas, niscaya seseorang tidak akan mampu meyelamatkan dirinya dari hal-hal yang bisa mencelakakannya sehingga dia akan binasa.
Ketika di pastikan bahwa syahwat tidak akan hilang secara total, maka pasti akan timbul rasa cinta terhadap harta yang bisa mengantarkan ke hal yang di senangi, sehingga rasa senang terhadap harta ini bisa mendorong untuk menyimpan dan tidak membelanjakannya. Yang di tuntut bukan menghilangkan sifat-sifat tersebut secara total, akan tetapi yang di tuntut adalah memposisikan sifat-sifat tersebut pada keadaan yang wajar, yaitu posisi tengah-tengah diantara melampaui batas dan terlalu ceroboh.
Yang di tuntut dalam emosi adalah bersikap keras yang baik, yaitu tidak ngawur dan tidak takut secara total. Kesimpulannya adalah, seseorang menjadi orang yang kuat, namun walaupun kuat akan tetapi tetap mengikuti akal sehat. Oleh sebab itu Allah Swt berfirman dalam surat Al Fath ayat 29
Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Allah Swt mensifati para sahabat Nabi Saw dengan sifat keras yang muncul dari emosi.
Seandainya emosi hilang secara total, niscaya jihad pun tidak akan ada. Bagaimana mungkin syahwat dan emosi bisa hilang secara total, sedangkan para nabi saja tidak terlepas dari emosi. Karena baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ أَغْضَبُ كَمَا يَغْضَبُ الْبَشَرُ
“aku hanyalah seorang manusia yang bisa marah seperti layaknya manusia yang marah.”
Ketika di hadapan beliau ada pembicaraan yang kurang baik, maka beliau pun akan marah hingga kedua pelipisnya memerahm namun beliau tidak pernah berkata kecuali hal-hal yang hak dan benar.
Kemarahan beliau tidak pernah keluar dari batas-batas kebenaran. Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 134 :
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Allah Swt tidak menyebutkan dengan bahasa, "والفاقدين الغيظ" “orang-orang yang tidak memiliki amarah”. Mengembalikan amarah dan syahwat ke posisi yang ideal dan normal, sekira keduanya tidak mendominasi dan mengalahkan akal akan tetapi akallah yang mengontrol dan mengalahkan keduanya, adalah sesuatu yang bisa di usahakan dan mungkin tercapai, dan inilah yang di maksud dengan merubah perilaku. Karena sesungguhnya terkadang syahwat mendominasi seseorang sehingga akal tidak mampu mengendalikannya agar tidak terumbar ke perkara yang jelek. Dengan latihan, syahwat bisa kembali pada keadaan yang ideal dan normal. Maka hal itu menunjukkan bahwa merubah etika itu sangat mungkin di usahakan. Percobaan dan apa yang telah di saksikan itu menunjukkan tanpa ada keraguan sama sekali bahwa semua itu bisa tercapai.
Sesuatu yang menunjukkan bahwa yang di anjurkan adalah perilaku yang wajar tidak berlebihan dan tidak terlalu ceroboh adalah sifat dermawan, karena sesungguhnya dermawan itu perilaku yang terpuji dalam syareat yaitu tidak terlalu boros dan tidak terlalu ngirit. Sesungguhnya Allah Swt memuji sifat dermawan. Allah Swt berfirman dalam surat Al Furqan ayat 67 :
Artinya : “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Allah Swt berfirman dalam surat Al Isra’ ayat 29 :
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, Karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”.
Begitu juga yang di anjurkan dalam syahwat makan adalah yang wajar, tidak terkesan rakus atau menampik. Allah Swt berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 31 :
Artinya : “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Dalam urusan emosi, Allah Swt berfirman dalam surat Al Fath ayat 29 :
Artinya : “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka”.
Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
فَإِنَّ خَيْرَ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا
“perkara yang paling baik adalah yang tengah-tengah.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Kepribadian nabi Muhammad saw
Posting Komentar