Engkau telah tahu bahwa sesungguhnya akhlak yang baik berujung pada idealnya kekuatan akal dan sempurnanya ilmu hikmah, dan juga berujung idealnya kekuatan emosi dan syahwat, serta kekuatan itu mengikut kepada akal dan juga syareat.
Keidealan ini bisa hasil dengan dua cara. Pertama, anugerah Allah Swt dan kesempurnaan ciptaan, yaitu seseorang yang tercipta dan terlahir dengan memiliki akal yang sempurna serta berakhlak mulia. Sesungguhnya orang seperti ini bisa mengontrol syahwat dan emosi, bahkan keduanya sudah tercipta patuh terhadap akal dan syareat.
Kedua, berusaha mendapatkan akhlak mulia dengan berjuang sekuat tenaga dan latihan. Yang saya maksud adalah berusaha mengarahkan hawa nafsu agar melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang terpuji. Semisal orang yang ingin menjadi dermawan, maka caranya dia harus berusaha melakukan perbuatan yang bernilai dermawan yaitu memberikan harta benda. Tidak henti-hentinya dia memaksakan diri untuk melakukan hal itu dan selalu berusaha sekuat tenaga membiasakan melakukannya, hingga hal itu menjadi watak yang menancap dan terasa ringan untuk di kerjakan. Ketika sudah demikian, maka dia sudah menjadi orang yang dermawan.
Begitu juga orang yang ingin memiliki akhlak tawadlu’ (rendah diri) pada saat sifat sombong masih menguasai hatinya. Caranya adalah dia harus selalu membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan orang-orang yang tawadlu’ dalam waktu yang cukup lama. Pada masa-masa ini dia harus memaksa dan berusaha sekuat tenaga hingga sifat tawadlu’ itu menjadi akhlak dan watak yang melekat dalam dirinya, serta sangat ringan untuk di lakukan. Semua akhlak yang terpuji menurut syareat akan bisa di hasilkan dengan cara seperti ini, hingga pekerjaan yang muncul dari dirinya terasa nikmat.
Orang dermawan adalah orang yang merasa nikmat dan senang kalau memberikan hartanya, bukan orang yang mau memberi namun hatinya terasa berat. Orang yang tawadlu’ adalah orang yang merasa nikmat ketika bersikap tawadlu’. Akhlak agama islam tidak akan menancap dalam hati selama tidak membiasakan diri melakukan hal-hal yang terpuji, tidak meninggalkan semua perbuatan jelek, dan tidak membiasakan seperti orang yang benar-benar menyukai dan senang melakukan perbuata-perbuatan yang baik, dan benci serta berat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jelek. Sebagaimana yang di sabdakan oleh baginda Nabi Muhammad Saw,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِيْ الصَّلَاةِ
“ketenangan hatiku berada di dalam sholat.”
Ketika melakukan ibadah dan meninggalkan hal-hal yang haram di sertai rasa tidak suka dan berat, maka hal itu menunjukkan kekurangan, dan dengan ini dia tidak akan memperoleh kebahagian. Oleh sebab itu, Allah Swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 45 :
Artinya : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”.
Kemudian, keberuntungan yang di janjikan ketika melakukan akhlak yang baik, tidak akan bisa di raih dengan hanya senang melakukan taat dan benci melakukan maksiat dalam satu waktu tidak waktu yang lain, akan tetapi semua itu harus di lakukan secara kontinu dan seumur hidup.
Hendaknya tidak menganggap sulit untuk menghasilkan sholat yang mencapai batas menenangkan hati dan ibadah menjadi nikmat. Karena sesungguhnya ibadah akan memberikan efek-efek yang lebih mengagumkan daripada hanya sekedar ketenangan hati saja. Sebab kalau kita lihat orang yang gemar berjudi yang sudah bangkrut, terkadang dia merasa senang dan nikmat dengan judi dan hal-hal yang di rasa berat jika di alami oleh seseorang bukan karena judi. Padahal terkadang judi bisa menghabiskan harta, meludeskan rumah, dan menjadikannya bangkrut. Walaupun demikian, dia tetap menyukai dan merasa nikmat dengan perjudian tersebut. Keadaan ini terjadi sebab dia sudah terlalu lama menyukai dan mencurahkan hati untuk melakukannya.
Begitupula orang yang suka dengan burung dara. Terkadang seharian berada di bawah terik matahari dengan cara berdiri diatas kedua kaki, namun dia sama sekali tidak merasa berat. Hal ini karena dia merasa senang dengan burung-burung, yang gerak gerik, dan berterbangan diangkasa. Semua itu adalah buah dari kebiasaan dan membiasakan diri untuk melakukan sesuatu dalam waktu yang cukup lama. Hal itu bisa kita lihat dari orang-orang yang bergaul dengan kita dan kenal-kenalan kita.
Ketika nafsu bisa merasakan nikmat terhadap perkata batil yang sudah di biasakan, maka bagaimana tidak mungkin nafsu akan merasakan nikmat terhadap perkara yang baik jika memang selalu di arahkan dan terbiasa untuk melakukannya. Bahkan condongnya hati terhadap hal-hal tercela adalah keluar dari akal sehat, karena sama seperti condong untuk memakan lumpur. Sehingga terkadang kebiasaan memakan lumpur ini sangat sering di lakukan oleh sebagian orang.
Sedangkan rasa condong terhadap ilmu hikmah, cinta, ma’rifat, dan ibadah kepada Allah Swt adalah seperti condong terhadap makan dan minum, karena hal itu sesuai dengan tuntutan akal sehat dan amrun robani (perkara yang berbau ilahi). Condongnya hati kepada tuntunan syahwat adalah hal yang aneh dan berlawanan dengan watak yang sehat.
Makanan hati hanyalah ilmu hikmah, ma’rifat dan cinta kepada Allah Azza Wa Jalla. Akan tetapi hati berpaling dari akal sehatnya sebab penyakit yang ada di dalamnya. Sebagaimana ketika ada penyakit di dalam perut sehingga tidak yaman untuk makan dan minum padahal kedua hal itu menjadi penentu hidupnya jasmani.
Setiap hati yang condong terhadap hal selain Allah Swt, maka dia tidak terlepas dari rasa sakit sesuai dengan kadar rasa condongnya terhadap hal tersebut. Kecuali jika dia menyukai hal tersebut karena sebagai pendukung untuk cinta kepada Allah Swt dan agama-Nya. Kalau ini tujuannya, maka apa yang di lakukan ini tidak menunjukkan terhadap penyakit hati.
Kalau begini, maka secara pasti engkau bisa mengetahui bahwa sesungguhnya akhlak mulia bisa di raih dan di capai dengan latihan dan riyadlah. Yaitu pertama kali memaksa diri untuk melakukan perbuata-perbuatan tersebut hingga menjadi watak yang menancap di dalam hati.
Hal ini merupakan hubungan yang mengagumkan antara hati dan anggota badan yang dhahir. Yang saya kehendaki adalah hati dan badan. Karena sesungguhnya setiap sifat yang nampak di dalam hati akan berpengaruh terhadap anggota badan yang lain, sehingga bisa di pastikan bahwa anggota badan tidak akan bergerak kecuali sesuai dengan yang ada di dalam hati. Sedangkan setiap pekerjaan yang di lakukan oleh anggota badan terkadang akan berdampak kepada hati, sehingga terjadi perputaran diantara hati dan badan.
Ketika engkau sudah mengetahui secara pasti bahwa sesungguhnya akhlak baik itu adakalanya karena sudah watak dan fitrah, ada kalanya karena terbiasa melakukan pekerjaan yang baik, dan adakalanya karena melihat orang-orang yang selalu berbuat baik dan menyertainya, mereka adalah teman-teman yang baik dan bagus, sebab watak bisa terpangaruh oleh watak yang baik dan yang jelek, maka orang yang bisa mengumpulkan ketiga hal tadi hingga memiliki keutamaan watak, kebiasaan, dan belajarnya, maka inilah puncak dari keutamaan.
Sedangkan orang yang memiliki sifat tercela karena sudah menjadi watak, dan kebetulan dia memiliki teman-teman yang berperilaku jelek, lalu dia belajar dari mereka dan di mudahkan melakukannya hingga hal itu menjadi kebiasaannya, maka dia berada di puncak jauh dari Allah Azza wa Jalla.
Diantara dua tingkatan ini adalah orang yang berbeda-beda keadaannya. Masing-masing memiliki tingkatan jauh dan dekatnya kepada Allah Swt, sesuai dengan sifat dan keadaan masing-masing.
Allah Swt berfirman dalam surat Al Zalzalah ayat 7 - 8 :
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”.
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 117 :
Artinya : “Allah tidak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri”.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Kepribadian nabi Muhammad saw
Keidealan ini bisa hasil dengan dua cara. Pertama, anugerah Allah Swt dan kesempurnaan ciptaan, yaitu seseorang yang tercipta dan terlahir dengan memiliki akal yang sempurna serta berakhlak mulia. Sesungguhnya orang seperti ini bisa mengontrol syahwat dan emosi, bahkan keduanya sudah tercipta patuh terhadap akal dan syareat.
Kedua, berusaha mendapatkan akhlak mulia dengan berjuang sekuat tenaga dan latihan. Yang saya maksud adalah berusaha mengarahkan hawa nafsu agar melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan akhlak yang terpuji. Semisal orang yang ingin menjadi dermawan, maka caranya dia harus berusaha melakukan perbuatan yang bernilai dermawan yaitu memberikan harta benda. Tidak henti-hentinya dia memaksakan diri untuk melakukan hal itu dan selalu berusaha sekuat tenaga membiasakan melakukannya, hingga hal itu menjadi watak yang menancap dan terasa ringan untuk di kerjakan. Ketika sudah demikian, maka dia sudah menjadi orang yang dermawan.
Begitu juga orang yang ingin memiliki akhlak tawadlu’ (rendah diri) pada saat sifat sombong masih menguasai hatinya. Caranya adalah dia harus selalu membiasakan melakukan perbuatan-perbuatan orang-orang yang tawadlu’ dalam waktu yang cukup lama. Pada masa-masa ini dia harus memaksa dan berusaha sekuat tenaga hingga sifat tawadlu’ itu menjadi akhlak dan watak yang melekat dalam dirinya, serta sangat ringan untuk di lakukan. Semua akhlak yang terpuji menurut syareat akan bisa di hasilkan dengan cara seperti ini, hingga pekerjaan yang muncul dari dirinya terasa nikmat.
Orang dermawan adalah orang yang merasa nikmat dan senang kalau memberikan hartanya, bukan orang yang mau memberi namun hatinya terasa berat. Orang yang tawadlu’ adalah orang yang merasa nikmat ketika bersikap tawadlu’. Akhlak agama islam tidak akan menancap dalam hati selama tidak membiasakan diri melakukan hal-hal yang terpuji, tidak meninggalkan semua perbuatan jelek, dan tidak membiasakan seperti orang yang benar-benar menyukai dan senang melakukan perbuata-perbuatan yang baik, dan benci serta berat untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang jelek. Sebagaimana yang di sabdakan oleh baginda Nabi Muhammad Saw,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِيْ الصَّلَاةِ
“ketenangan hatiku berada di dalam sholat.”
Ketika melakukan ibadah dan meninggalkan hal-hal yang haram di sertai rasa tidak suka dan berat, maka hal itu menunjukkan kekurangan, dan dengan ini dia tidak akan memperoleh kebahagian. Oleh sebab itu, Allah Swt berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 45 :
Artinya : “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'”.
Kemudian, keberuntungan yang di janjikan ketika melakukan akhlak yang baik, tidak akan bisa di raih dengan hanya senang melakukan taat dan benci melakukan maksiat dalam satu waktu tidak waktu yang lain, akan tetapi semua itu harus di lakukan secara kontinu dan seumur hidup.
Hendaknya tidak menganggap sulit untuk menghasilkan sholat yang mencapai batas menenangkan hati dan ibadah menjadi nikmat. Karena sesungguhnya ibadah akan memberikan efek-efek yang lebih mengagumkan daripada hanya sekedar ketenangan hati saja. Sebab kalau kita lihat orang yang gemar berjudi yang sudah bangkrut, terkadang dia merasa senang dan nikmat dengan judi dan hal-hal yang di rasa berat jika di alami oleh seseorang bukan karena judi. Padahal terkadang judi bisa menghabiskan harta, meludeskan rumah, dan menjadikannya bangkrut. Walaupun demikian, dia tetap menyukai dan merasa nikmat dengan perjudian tersebut. Keadaan ini terjadi sebab dia sudah terlalu lama menyukai dan mencurahkan hati untuk melakukannya.
Begitupula orang yang suka dengan burung dara. Terkadang seharian berada di bawah terik matahari dengan cara berdiri diatas kedua kaki, namun dia sama sekali tidak merasa berat. Hal ini karena dia merasa senang dengan burung-burung, yang gerak gerik, dan berterbangan diangkasa. Semua itu adalah buah dari kebiasaan dan membiasakan diri untuk melakukan sesuatu dalam waktu yang cukup lama. Hal itu bisa kita lihat dari orang-orang yang bergaul dengan kita dan kenal-kenalan kita.
Ketika nafsu bisa merasakan nikmat terhadap perkata batil yang sudah di biasakan, maka bagaimana tidak mungkin nafsu akan merasakan nikmat terhadap perkara yang baik jika memang selalu di arahkan dan terbiasa untuk melakukannya. Bahkan condongnya hati terhadap hal-hal tercela adalah keluar dari akal sehat, karena sama seperti condong untuk memakan lumpur. Sehingga terkadang kebiasaan memakan lumpur ini sangat sering di lakukan oleh sebagian orang.
Sedangkan rasa condong terhadap ilmu hikmah, cinta, ma’rifat, dan ibadah kepada Allah Swt adalah seperti condong terhadap makan dan minum, karena hal itu sesuai dengan tuntutan akal sehat dan amrun robani (perkara yang berbau ilahi). Condongnya hati kepada tuntunan syahwat adalah hal yang aneh dan berlawanan dengan watak yang sehat.
Makanan hati hanyalah ilmu hikmah, ma’rifat dan cinta kepada Allah Azza Wa Jalla. Akan tetapi hati berpaling dari akal sehatnya sebab penyakit yang ada di dalamnya. Sebagaimana ketika ada penyakit di dalam perut sehingga tidak yaman untuk makan dan minum padahal kedua hal itu menjadi penentu hidupnya jasmani.
Setiap hati yang condong terhadap hal selain Allah Swt, maka dia tidak terlepas dari rasa sakit sesuai dengan kadar rasa condongnya terhadap hal tersebut. Kecuali jika dia menyukai hal tersebut karena sebagai pendukung untuk cinta kepada Allah Swt dan agama-Nya. Kalau ini tujuannya, maka apa yang di lakukan ini tidak menunjukkan terhadap penyakit hati.
Kalau begini, maka secara pasti engkau bisa mengetahui bahwa sesungguhnya akhlak mulia bisa di raih dan di capai dengan latihan dan riyadlah. Yaitu pertama kali memaksa diri untuk melakukan perbuata-perbuatan tersebut hingga menjadi watak yang menancap di dalam hati.
Hal ini merupakan hubungan yang mengagumkan antara hati dan anggota badan yang dhahir. Yang saya kehendaki adalah hati dan badan. Karena sesungguhnya setiap sifat yang nampak di dalam hati akan berpengaruh terhadap anggota badan yang lain, sehingga bisa di pastikan bahwa anggota badan tidak akan bergerak kecuali sesuai dengan yang ada di dalam hati. Sedangkan setiap pekerjaan yang di lakukan oleh anggota badan terkadang akan berdampak kepada hati, sehingga terjadi perputaran diantara hati dan badan.
Ketika engkau sudah mengetahui secara pasti bahwa sesungguhnya akhlak baik itu adakalanya karena sudah watak dan fitrah, ada kalanya karena terbiasa melakukan pekerjaan yang baik, dan adakalanya karena melihat orang-orang yang selalu berbuat baik dan menyertainya, mereka adalah teman-teman yang baik dan bagus, sebab watak bisa terpangaruh oleh watak yang baik dan yang jelek, maka orang yang bisa mengumpulkan ketiga hal tadi hingga memiliki keutamaan watak, kebiasaan, dan belajarnya, maka inilah puncak dari keutamaan.
Sedangkan orang yang memiliki sifat tercela karena sudah menjadi watak, dan kebetulan dia memiliki teman-teman yang berperilaku jelek, lalu dia belajar dari mereka dan di mudahkan melakukannya hingga hal itu menjadi kebiasaannya, maka dia berada di puncak jauh dari Allah Azza wa Jalla.
Diantara dua tingkatan ini adalah orang yang berbeda-beda keadaannya. Masing-masing memiliki tingkatan jauh dan dekatnya kepada Allah Swt, sesuai dengan sifat dan keadaan masing-masing.
Allah Swt berfirman dalam surat Al Zalzalah ayat 7 - 8 :
Artinya : “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula”.
Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 117 :
Artinya : “Allah tidak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri”.
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Kepribadian nabi Muhammad saw
Posting Komentar