Ketahuilah sesungguhnya berbohong itu hanya di haramkan ketika mengandung unsur negatif pada orang yang di ajak bicara atau pada orang lain, namun terkadang bohong itu mengandung unsur positif yang di legalkan oleh syareat. Bahkan terkadang hukum berbohong menjadi wajib, semisal jika berkata jujur bisa menyebabkan orang yang tidak bersalah di bunuh oleh orang dhalim, maka berbohong dalam keadaan seperti ini hukumnya adalah wajib. Seperti lagi ketika tujuan peperangan, merukunkan orang yang sedang bertengkar, meluluhkan hati orang yang telah di lukai, atau merukunkan suami istri yang tidak bisa berhasil secara sempurna kecuali dengan berbohong. Maka berbohong dalam keadaan seperti ini adalah mubah, namun harus sebatas darurat agar tidak melampaui ukuran bohong yang tidak di butuhkan.
Dan banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang hal-hal yang semakna dengan contoh-contoh di atas.
Imam Tsauban berkata, “semua perbuatan bohong itu berdosa kecuali bohong yang mendatangkan kemanfaatan kepada orang islam atau menolak bahaya darinya.”
Menjelaskan Tentang Larangan Berbohong Dengan Bentuk Sindiran
Di riwayatkan dari ulama’ salaf bahwa di perbolehkan berbohong dengan bentuk sindiran. Yang di kehendaki oleh para ulama’ adalah ketika seseorang dalam keadaan kepepet untuk berbohong. Namun ketika tidak ada hajat atau tidak dalam keadaan darurat, maka tidak di perkenankan berbohong baik dengan sindiran atau terang-terangan, hanya saja berbohong dengan sindiran itu lebih ringan.
Contoh berbohong dengan sindiran adalah keterangan yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya imam Mutharaf pernah menghadap kepada raja. Raja merasa bahwa Mutharaf datang terlambat, dan beliau menjelaskan bahwa dirinya sedang sakit. Mutharaf berkata, “aku tidak mengangkat lambungku sejak aku berpisah dari raja kecuali Allah Swt mengangkatku?.”
Sahabat Muadz termasuk pegawai Umar Ra, ketika Muadz pulang ke rumah maka beliau di sambut sang istri seraya di tanya, “apakah engkau membawa sesuatu sebagaimana yang biasa di lakukan oleh para pegawai ketika pulang kerumah?.” _padahal waktu itu Muadz tidak membawa apa-apa_. Muadz menjawab, “ada seorang mata-mata yang menyertaiku!.” Dengan keheranan sang istri berkata, “engkau kan orang yang sangat di percaya oleh Rosulullah Saw dan Abu Bakar, terus kenapa Umar mengutus seorang mata-mata untuk mengawasimu?.” Seketika itu sang istri berdiri diantara para istri Muadz yang lain dan menghadap Umar guna mengadukan hal itu.
Ketika mendengar semua pengaduan Istri Muadz, maka Umar pun memanggil Muadz. Umar bertanya pada Muadz, “apakah benar aku mengutus seorang mata-mata untuk mengawasimu?.” Muadz menjawab, “aku tidak menemukan alasan lagi kecuali hal itu.” Mendengar hal itu, Umar tertawa dan memberikan sesuatu kepada Muadz seraya berkata, “legakanlah istrimu dengan ini!.” Yang di maksud Muadz dengan seorang mata-mata itu adalah Allah Swt.
Ketika imam Nakho’i tidak ingin menemui seseorang di rumahnya, maka beliau berpesan kepada budak wanitanya, “katakan pada orang tersebut agar mencariku di masjid, dan jangan katakan bahwa aku tidak ada di rumah agar tidak sampai berbohong.”
Di antara berbohong menggunakan sindiran yang di perbolehkan adalah berbohong dengan tujuan menghibur hati seseorang dengan gurauan, sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad Saw pada wanita nini-nini, “tidak ada wanita nini-nini yang masuk surga.” Seperti yang beliau katakan pada wanita yang lainnya lagi, “suamimu yang dimatanya ada warna putih-putihnya itu?.” Dan juga yang di katakan beliau pada wanita yang lainnya lagi, “aku akan menaikanmu di atas anak unta.” Sebagaimana contoh yang telah di jelaskan di depan.
Di antara bentuk yang di maklumi lagi adalah apa yang biasanya di ungkapkan untuk membesar-besarkan, seperti ucapan seseorang, “aku sudah mengatakan hal ini padamu seratus kali.” Yang di kehendaki bukan berarti memang seratus kali namun hanya membesar-besarkan saja. Akan tetapi jika sebenarnya dia tidak mengatakan kecuali hanya sekali, maka dia dianggap berbohong.
Sedangkan bohong yang biasanya di ungkapkan sebagai jawaban dari perkataan, “makanlah makanan itu!.” Kemudian di jawab, “aku tidak menyukai makanan itu”, maka hal ini di larang dan hukumnya haram jika tidak ada tujuan yang benar. Seperti juga perkataan ,“Allah mengetahui sesuatu yang belum di ketahui-Nya.”
Adapun bohong dalam urusan mimpi, maka dosanya sangat besar. Dalam sebuah hadits di sebutkan,
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفَرِيَةِ أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ يَرَي عَيْنَيْهِ فِيْ الْمَنَامِ مَا لَمْ يَرَ أَوْ يَقُوْلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ
“diantara bentuk kebohongan yang sangat besar adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai anak orang yang bukan bapaknya, orang yang menceritakan mimpi yang sebenarnya tidak dialaminya, dan mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku tidak mengatakannya.”
[Bahaya Lisan Yang Ke lima Belas adalah ghibah (menggunjing orang lain) ] sesungguhnya Allah Swt telah dengan jelas mencela hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, dan Allah Swt menyamakan orang yang melakukannya dengan orang yang memakan daging bangkai. Allah Swt berfirman dalam surat Al Hujurrat ayat 12 :
Artinya : “dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“setiap orang islam di haramkan atas orang islam yang lain, yaitu harta, nyawa, dan kehormatannya.”
Ghibah adalah bentuk perbuatan yang menodai kehormatan orang lain.
Baginda Nabi Saw bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آَمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
“wahai golongan orang yang beriman dengan lisannya namun tidak beriman dengan hatinya, janganlah kalian menggunjing kehormatan orang-orang islam, dan janganlah meneliti kejelekan-kejelekan mereka. Karena barang siapa meneliti kejelekan saudaranya, maka Allah akan meneliti kejelekannya. Dan barang siapa di teliti kejelekannya oleh Allah, maka dia akan di permalukan walaupun dia berada di dalam rumahnya.”
Di riwayatkan dari imam Mujahid, di dalam firman Allah Swt dalam surat Al Humazah ayat 1 :
Artinya : “kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela”.
Imam mujahid menjelaskan bahwa yang di maksud dengan al humazah adalah orang yang sering mengumpat dan mencela orang lain. Sedangkan yang di maksud al lumazah adalah orang yang suka memakan daging orang lain (menggunjing).
Sebagian ulama’ berkata, “aku sempat berjumpah dengan ulama’-ulama’ salaf, mereka tidak menganggap ibadah itu adalah puasa dan sholat, akan tetapi mencegah diri dari mengganggu kehormatan-kehormatan orang lain.”
Sahabat Ibn Abbas Ra berkata, “ketika engkau ingin mengungkapkan kejelekan temanmu, maka ingatlah kejelekan-kejelekan dirimu sendiri.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Tugas Nabi Muhammad
Dan banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang hal-hal yang semakna dengan contoh-contoh di atas.
Imam Tsauban berkata, “semua perbuatan bohong itu berdosa kecuali bohong yang mendatangkan kemanfaatan kepada orang islam atau menolak bahaya darinya.”
Menjelaskan Tentang Larangan Berbohong Dengan Bentuk Sindiran
Di riwayatkan dari ulama’ salaf bahwa di perbolehkan berbohong dengan bentuk sindiran. Yang di kehendaki oleh para ulama’ adalah ketika seseorang dalam keadaan kepepet untuk berbohong. Namun ketika tidak ada hajat atau tidak dalam keadaan darurat, maka tidak di perkenankan berbohong baik dengan sindiran atau terang-terangan, hanya saja berbohong dengan sindiran itu lebih ringan.
Contoh berbohong dengan sindiran adalah keterangan yang meriwayatkan bahwa sesungguhnya imam Mutharaf pernah menghadap kepada raja. Raja merasa bahwa Mutharaf datang terlambat, dan beliau menjelaskan bahwa dirinya sedang sakit. Mutharaf berkata, “aku tidak mengangkat lambungku sejak aku berpisah dari raja kecuali Allah Swt mengangkatku?.”
Sahabat Muadz termasuk pegawai Umar Ra, ketika Muadz pulang ke rumah maka beliau di sambut sang istri seraya di tanya, “apakah engkau membawa sesuatu sebagaimana yang biasa di lakukan oleh para pegawai ketika pulang kerumah?.” _padahal waktu itu Muadz tidak membawa apa-apa_. Muadz menjawab, “ada seorang mata-mata yang menyertaiku!.” Dengan keheranan sang istri berkata, “engkau kan orang yang sangat di percaya oleh Rosulullah Saw dan Abu Bakar, terus kenapa Umar mengutus seorang mata-mata untuk mengawasimu?.” Seketika itu sang istri berdiri diantara para istri Muadz yang lain dan menghadap Umar guna mengadukan hal itu.
Ketika mendengar semua pengaduan Istri Muadz, maka Umar pun memanggil Muadz. Umar bertanya pada Muadz, “apakah benar aku mengutus seorang mata-mata untuk mengawasimu?.” Muadz menjawab, “aku tidak menemukan alasan lagi kecuali hal itu.” Mendengar hal itu, Umar tertawa dan memberikan sesuatu kepada Muadz seraya berkata, “legakanlah istrimu dengan ini!.” Yang di maksud Muadz dengan seorang mata-mata itu adalah Allah Swt.
Ketika imam Nakho’i tidak ingin menemui seseorang di rumahnya, maka beliau berpesan kepada budak wanitanya, “katakan pada orang tersebut agar mencariku di masjid, dan jangan katakan bahwa aku tidak ada di rumah agar tidak sampai berbohong.”
Di antara berbohong menggunakan sindiran yang di perbolehkan adalah berbohong dengan tujuan menghibur hati seseorang dengan gurauan, sebagaimana sabda baginda Nabi Muhammad Saw pada wanita nini-nini, “tidak ada wanita nini-nini yang masuk surga.” Seperti yang beliau katakan pada wanita yang lainnya lagi, “suamimu yang dimatanya ada warna putih-putihnya itu?.” Dan juga yang di katakan beliau pada wanita yang lainnya lagi, “aku akan menaikanmu di atas anak unta.” Sebagaimana contoh yang telah di jelaskan di depan.
Di antara bentuk yang di maklumi lagi adalah apa yang biasanya di ungkapkan untuk membesar-besarkan, seperti ucapan seseorang, “aku sudah mengatakan hal ini padamu seratus kali.” Yang di kehendaki bukan berarti memang seratus kali namun hanya membesar-besarkan saja. Akan tetapi jika sebenarnya dia tidak mengatakan kecuali hanya sekali, maka dia dianggap berbohong.
Sedangkan bohong yang biasanya di ungkapkan sebagai jawaban dari perkataan, “makanlah makanan itu!.” Kemudian di jawab, “aku tidak menyukai makanan itu”, maka hal ini di larang dan hukumnya haram jika tidak ada tujuan yang benar. Seperti juga perkataan ,“Allah mengetahui sesuatu yang belum di ketahui-Nya.”
Adapun bohong dalam urusan mimpi, maka dosanya sangat besar. Dalam sebuah hadits di sebutkan,
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْفَرِيَةِ أَنْ يَدَّعِيَ الرَّجُلُ إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ أَوْ يَرَي عَيْنَيْهِ فِيْ الْمَنَامِ مَا لَمْ يَرَ أَوْ يَقُوْلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ
“diantara bentuk kebohongan yang sangat besar adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai anak orang yang bukan bapaknya, orang yang menceritakan mimpi yang sebenarnya tidak dialaminya, dan mengatakan sesuatu atas namaku padahal aku tidak mengatakannya.”
[Bahaya Lisan Yang Ke lima Belas adalah ghibah (menggunjing orang lain) ] sesungguhnya Allah Swt telah dengan jelas mencela hal ini di dalam kitab-Nya yang mulia, dan Allah Swt menyamakan orang yang melakukannya dengan orang yang memakan daging bangkai. Allah Swt berfirman dalam surat Al Hujurrat ayat 12 :
Artinya : “dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.
Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُّهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“setiap orang islam di haramkan atas orang islam yang lain, yaitu harta, nyawa, dan kehormatannya.”
Ghibah adalah bentuk perbuatan yang menodai kehormatan orang lain.
Baginda Nabi Saw bersabda,
يَا مَعْشَرَ مَنْ آَمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِقَلْبِهِ لَا تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَلَا تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَتَهُ يُفَضِّحُهُ وَلَوْ فِيْ جَوْفِ بَيْتِهِ
“wahai golongan orang yang beriman dengan lisannya namun tidak beriman dengan hatinya, janganlah kalian menggunjing kehormatan orang-orang islam, dan janganlah meneliti kejelekan-kejelekan mereka. Karena barang siapa meneliti kejelekan saudaranya, maka Allah akan meneliti kejelekannya. Dan barang siapa di teliti kejelekannya oleh Allah, maka dia akan di permalukan walaupun dia berada di dalam rumahnya.”
Di riwayatkan dari imam Mujahid, di dalam firman Allah Swt dalam surat Al Humazah ayat 1 :
Artinya : “kecelakaanlah bagi Setiap pengumpat lagi pencela”.
Imam mujahid menjelaskan bahwa yang di maksud dengan al humazah adalah orang yang sering mengumpat dan mencela orang lain. Sedangkan yang di maksud al lumazah adalah orang yang suka memakan daging orang lain (menggunjing).
Sebagian ulama’ berkata, “aku sempat berjumpah dengan ulama’-ulama’ salaf, mereka tidak menganggap ibadah itu adalah puasa dan sholat, akan tetapi mencegah diri dari mengganggu kehormatan-kehormatan orang lain.”
Sahabat Ibn Abbas Ra berkata, “ketika engkau ingin mengungkapkan kejelekan temanmu, maka ingatlah kejelekan-kejelekan dirimu sendiri.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)
Baca juga artikel kami lainnya : Tugas Nabi Muhammad
Posting Komentar