KITAB BAHAYA-BAHAYA LISAN

Menjelaskan Bahaya Lisan
Ketahuilah sesungguhnya bahaya lisan itu sangat besar dan tidak bisa selamat darinya kecuali dengan mengatakan hal-hal yang baik.

Diriwayatkan dari baginda Nabi Muhammad Saw bahwa beliau bersabda,

لَا يَسْتَقِيْمُ إِيْمَانُ الْعَبْدِ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيْمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيْمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلِ الْجَنَّةَ رَجَلٌ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقُ
 “iman seorang hamba tidaklah tegak (sempurna) kecuali hatinya telah tegak. Hati seorang hamba tidaklah tegak kecuali lisannya tegak. Tidak akan masuk sorga seorang lelaki yang tetangganya tidak merasa aman dari perbuatan jelek yang di lakukan lelaki tersebut”.

Sahabat Muadz bin Jabal berkata, “aku pernah bertanya, ‘wahai Rosulullah, apakah kita akan di siksa sebab apa yang kita ucapkan?.’ Beliau menjawab, ‘wahai Muadz, tidak ada yang menyebabkan manusia tersungkur di neraka selain buah dari ucapan mereka’.”

Sahabat Ibn Mas’ud Ra berkata, “wahai lisan berkatalah yang baik maka engkau akan mendapatkan keberuntungan, dan diamlah dari perkataan yang jelek maka engkau akan selamat sebelum merasa menyesal.”

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

مَنْ كَفَّ لِسَانَهُ سَتَرَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ مَلَكَ غَضَبَهُ وَقَاهُ اللهُ عَذَابَهُ وَمَنِ اعْتَذَرَ إِلَى اللهِ قَبِلَ اللهُ عُذْرَهُ
 “orang yang menjaga lisannya, maka Allah akan menutupi kekurangan-kekurangannya. Orang yang mampu mengontrol emosinya, maka Allah akan menjaganya dari siksa-Nya. Dan orang yang meminta ampun, maka Allah akan mengampuninya”.

Beliau Nabi Saw bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَسْكُتْ
 “barang siapa beriman kepada Allah Swt dan hari akhir, maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam tidak berkata.”

Beliau juga bersabda,

اُخْزُنْ لِسَانَكَ إِلَّا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّكَ بِذَلِكَ تَغْلِبُ الشَّيْطَانَ
 “jagalah lisanmu kecuali dari hal-hal yang baik, karena dengan begitu, engkau akan bisa mengalahkan syetan.”

Beberapa Dari Bahaya-Bahaya Lisan

    [Pertama, berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat] ketahuilah sesungguhnya modal utama seorang hamba adalah waktu. Ketika di gunakan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan sama sekali tidak menghasilkan pahala sebagai tabungan di akhirat, maka sesungguhnya dia telah menyia-nyiakan modal utamanya.

Oleh sebab itu baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيْهِ
 “diantara tanda kebaikan islamnya seseorang adalah dia tidak melakukan hal yang tidak bermanfaat baginya.”

Yang menyebabkan seseorang menyia-nyiakan umurnya adalah rasa sangat ingin tahu terhadap hal-hal yang tidak berfaedah, atau mengisi waktu dengan pengalaman-pengalaman yang tidak ada faedahnya. Yang bisa mengobati semua ini adalah mengetahui bahwa setiap helai nafas adalah  modal utama seseorang. Dan sesungguhnya lisan adalah alat yang bisa dia gunakan untuk memperoleh kebaikan-kebaikan yang sangat baik. Dan jika dia menyia-nyiakan tidak menggunakan semestinya, maka hal itu termasuk kerugian yang nyata.

    [Kedua, pembicaraan-pembicaraan yang tidak di perlukan] hal ini juga tidak baik dan tercela. Hal ini akan mendorong seseorang berbicara yang tidak bermanfaat dan berbicara melebihi kadar yang di butuhkan. Karena sesungguhnya orang yang mau berfikir mana yang baik, maka sangat memungkinkan dia akan berkata dengan ringkas dan padat, dan mungkin dia akan berpanjang lebar dan mengulang-ulang perkataan. Ketika maksud tujuannya sudah tercapai dengan satu kalimat saja, namun dia mengucapkan dua kalimat, maka kalimat yang kedua di anggap berlebihan, yaitu berlebihan dari apa yang di butuhkan. Hal ini juga tercela sesuai dengan alasan yang sudah di jelaskan di atas, walaupun tidak sampai berdosa atau berbahaya.

    Ketahuilah sesungguhnya fudlulul kalam (perkataan yang berlebihan) itu tidak terhitung dan terbatas, akan tetapi yang penting-penting telah di jelaskan di dalam kitabnya Allah Swt. Allah Swt berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 114 :

Artinya : “tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau Mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar”.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

طُوْبَى لِمَنْ أَمْسَكَ الْفَضْلَ مِنْ لِسَانِهِ وَأَنْفَقَ الْفَضْلَ مِنْ مَالِهِ
“sungguh beruntung orang yang bisa menahan lisannya dari ucapan yang berlebihan dan mau menafkahkan kelebihan hartanya.”

Coba engkau renungkan bagaimana sikap manusia yang telah membalik apa yang di perintakan. Mereka lebih cenderung menahan kelebihan harta tidak mau mensedekahkannya dan melepas bebas ucapan yang berlebihan.

Imam ‘Atho` berkata, “sesungguhnya orang-orang sebelum kalian sangat benci terhadap ucapan yang berlebihan tidak ada manfaatnya. Mereka mendefinisikan ucapan yang berlebihan adalah ucapan selain Kitabullah Swt, hadist Rosulullah Saw, amar ma’ruf, nahi mungkar, atau engkau mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan keperluan kehidupan yang memang harus di penuhi. Apakah kalian mengingkari bahwa ada malaikat-malaikat mulia, penjaga, dan penulis amal perbuatan, yang berada di sebelah kanan dan kiri, tidak ada sebuah ucapan pun selain di sisinya terdapat malaikat Roqib dan Atid. Apakah kalian tidak malu ketika buku catatan amal di berikan dan mayoritas isinya bukan hal yang bernilai agama dan dunia yang baik.”

Sahabat Ibn Umar Ra berkata, “sesungguhnya hal yang paling berhak di sucikan dan di bersihkan oleh seorang adalah lisannya.”

Dalam sebuah Atsar (riwayat dari sahabat) di sebutkan, “seorang lelaki tidak di beri sesuatu yang lebih jelek dari pada perkataan berlebihan dari lisannya.”

    [Ketiga, berbicara hal-hal batil] perkataan batil adalah berbicara maksiat seperti menceritakan keadaan dan perilaku kaum hawa, tempat mabuk mabukan, derajat orang-orang fasiq, kesombongan orang-orang yang congkak, tanda-tanda dan perilaku mereka yang tercela. Karena sesungguhnya berbicara tentang semua itu hukumnya tidak halal.

Mayoritas manusia senang duduk-duduk untuk ngobrol, dan pembicaraan mereka hampir tidak bisa lepas dari menggunjing orang lain dan berbicara tentang hal-hal batil. Macam-macam hal batil itu tidak mungkin di hitung karena terlalu banyak dan beraneka ragam. Oleh sebab itu, tidak ada jalan selamat dari semua itu kecuali membatasi ucapan pada hal-hal yang bermanfaat saja, yaitu hal-hal penting dalam agama atau duniawi.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

أَعْظَمُ النَّاسِ خَطَايَا يَوْمَ الْقِيَامِ أَكْثَرُهُمْ خَوْضًا فِيْ الْبَاطِلِ
 “manusia yang paling besar kesalahannya di hari kiamat adalah orang yang paling banyak berbicara hal yang batil.”

Hal inilah yang di isyarahkan oleh Allah Swt dengan firman-Nya di dalam surat Ad Muddatsir ayat 45 :

Artinya : “dan adalah Kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya”.

Dan dengan firman-Nya dalam surat An Nisa’ ayat 140 :

Artinya : “Maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena Sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”.

Di riwayatkan dari baginda Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ يَكْتُبُ اللهُ بِهَا رِضْوَانَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سُخْطِ اللهِ مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ يَكْتُبُ اللهُ عَلَيْهِ بِهَا سُخْطَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
 “sesungguhnya seorang lelaki berkata sebuah kalimat yang di ridlo`i Allah yang mana dia menyangka bahwa kalimat itu akan mencapai batas yang tidak terbatas, maka Allah akan mencatat ridlo-Nya sebab kalimat tersebut hingga hari kiamat. Dan sesungguhnya ada seorang lelaki mengatakan sebuah kalimat yang di murkai Allah yang mana dia menyangka bahwa kalimat tersebut akan mencapai batas yang tidak terbatas, maka Allah menulis murka-Nya sebab kalimat tersebut hingga hari kiamat.”

[Ke empat, bertengkar dan berdebat] hal ini merupakan sesuatu yang di larang. Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتَخْلِفُهُ
 “janganlah salah satu dari kalian mendebat saudaranya, janganlah bergurau dengannya, dan jangan berjanji padanya kemudian engkau ingkari.”

Beliau Nabi Saw bersabda,

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ أَنْ هَدَاهُمُ اللهُ إِلَّا أُوْتُوْا الْجِدَلَ
 “sekelompok kaum yang telah di beri hidayah tidak akan tersesat kecuali mereka di mudahkan melakukan jidal (berdebat).”

Beliau Nabi Saw bersabda,

لَا يَسْتَكْمِلُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يَدَعَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا
“seorang hamba tidak akan bisa menyempurnakan hakikat imannya kecuali dia meninggalkan pertengkaran dan perbedebatan walaupun di pihak yang benar.”

Imam Bilal ibn Sa’ad berkata, “ketika engkau  melihat seorang lelaki yang keras kepala, suka bertengkar, dan mengagumi pendapatnya sendiri, maka dia adalah orang yang sempurna kerugiannya.”
Imam ibn Abi Laila berkata, “aku tidak pernah mendebat sahabatku, karena terkadang akan membuat aku mendustakannya atau membuat dia marah”.

Dalil-dalil yang menjelaskan tentang celaan terhadap mira’ (bertengkar) dan jidal (berdebat) sangat banyak tidak terhitung.

Batasan mira’ adalah setiap bentuk perlawanan terhadap ucapan orang lain dengan menampakkan kesalahan-kesalahannya, baik dari segi ucapan, maknanya atau tujuan orang yang berbicara. Cara meninggalkan mira’ adalah dengan tidak mengingkari dan menentang. Sehingga setiap ucapan yang engkau dengar, ketika benar maka benarkanlah, dan ketika salah atau bohong dan tidak berhubungan dengan perkara-perkara agama, maka diamlah, tidak perlu menentangnya.

Hal yang wajib saat terjadi perdebatan dalam masalah ilmiah adalah diam, bertanya dengan tujuan mencari faedah tidak dengan cara membantah dan mengingkari, atau berbicara halus untuk mengingatkan tidak mencaci maki dan menyalahkan. Sedangkan berbicara dengan tujuan mengalahkan, melemahkan dan merendahkan orang lain dengan mencela ucapannya dan membodoh-bodohkannya adalah mujadalah yang di larang, dan tidak ada jalan selamat darinya kecuali dengan diam. Tidak ada hal yang bisa mendorong melakukan perdebatan seperti ini kecuali unggul-unggulan untuk menampakkan ilmu dan keutamaannya serta menentang orang lain dengan menampakkan kekurangannya.

Kedua sifat ini akan membuat binasa. Pertengkeran dan perdebatan tidak bisa lepas dari menyakiti orang lain, memancing emosi, mendorong orang yang menentang agar mengulangi menyakiti orang lain sehingga dia berusaha mempertahankan pendapatnya dengan cara apapun, baik benar ataupun salah, dia akan berusaha mencela lawannya dengan apapun yang bisa menyebabkan suasana tegang dan panas diantara orang yang berdebat.

Adapun cara mengobati penyakit seperti ini adalah menghilangkan rasa sombong yang menjadi pendorong melakukan perdebatan guna menampakkan keutamannya, dan menghilangkan sifat buas yang menjadi pendorong untuk merendahkan orang lain.

[Kelima adalah khushumah sengketa ] hal ini juga tercela dan menjadi kelanjutan dari mira’ dan jidal. Hakikat khushumah adalah berkata dengan mendesak guna memperoleh  harta atau hal yang di maksud.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

إِنَّ أَبْغَضَ الرِّجَالِ إِلَى اللهِ الْأَلَدُّ الْخَصْمُ
 “sesungguhnya lelaki yang paling di benci oleh Allah adalah yang keras kepala dan sering bersengketa.”
Bersengketa tidaknya di cela kecuali jika berdasarkan perkara batil atau tanpa ilmu seperti orang yang bersengketa belum tahu pihak mana yang sebetulnya yang benar, atau mengungkapkan kata-kata meyakitkan yang tidak di perlukan untuk mempertahankan hujjah atau menampakkan kebenaran, atau motif bersengketa itu murni karena menentang guna memojokkan musuh dan mengalahkannya, padahal sesungguhnya dia terkadang tidak begitu memperdulikan harta yang menjadi pemicu sengketa tersebut.

Sebagian orang ada yang terang-terangan menjelaskan bahwa motifnya murni menentang dengan mengatakan, “tujuanku hanyalah menentang musuh dan menggagalkan keinginannya. Dan sesungguhnya jika aku mendapatkan harta ini dari musuhku, maka terkadang aku akan membuangnya kesumur dan aku tidak memperdulikannya.” Orang seperti ini tujuannya adalah membantah, bertengkar dan mendesak, ini merupakan hal yang sangat tercela.

Sedangkan orang yang teraniaya yang mempertahankan hujjahnya sesuai dengan cara syareat tanpa terlalu mendebat, berlebihan, berdebat melebihi kebutuhan, tanpa tujuan menentang dan menyakiti, maka apa yang di lakukannya tidak di haramkan, akan tetapi yang lebih baik adalah menghindari semua itu selama masih ada jalan. Karena sesungguhnya mengontrol lisan agar sesuai dengan syareat saat bertengkar itu sangat sulit, dan perdebatan itu sendiri bisa memicu kemarahan hati dan memancing emosi.

Ketika emosi bangkit, maka dia akan lupa apa sebenarnya tujuan aslinya, yang tersisa cuma rasa dendam di antara dua orang yang bersengka, sehingga masing-masing merasa senang ketika lawannya sedih dan merasa sedih ketika lawannya senang, dan akan mudah mengucapkan hal-hal yang mencemarkan kehormatan lawannya.

Orang yang memulai perdebatan dan pertengkaran, maka sesungguhnya dia sedang menghadapi hal-hal yang di haramkan ini. Minimal pengaruh dari perdebatan dan pertengkaran adalah mengganggu ketenangan hati, hingga saat sholat dia akan memikirkan bagaimana melawan musuhnya, sehingga apa yang di lakukan sudah tidak sesuai dengan batas-batas yang di wajibkan.

Khushumah adalah awal setiap kejelekan, begitu juga mira’ dan jidal. Maka hendaknya tidak membuka pintu khushumah kecuali dalam keadaan darurat. Dan ketika darurat, maka hendaknya menjaga lisan dan hati dari hal-hal yang tidak layak saat berdebat, namun hal ini sangat sulit sekali di lakukan. Memang seperti ini, akan tetapi minimal sesuatu yang hilang saat khushumah, mira’ dan jidal adalah berbicara dengan baik. Padahal Allah Swt telah berfirman dalam surat Al Baqoroh ayat 83 :

Artinya : “serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia”.

Sahabat Ibn Abbas Ra berkata, “barang siapa dari makhluknya Allah mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah salamnya walaupun dia adalah orang Majusi”. Sesungguhnya Allah Swt berfirman dalam surat An Nisa’ ayat 86 :

Artinya : “apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa) Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu”.

Sahabat Ibn Abbas Ra juga berkata, “seandainya Fir’aun berkata baik padaku, niscaya aku pun akan berkata baik padanya.” Dalam sebuah hadits di sebutkan, “ucapan yang baik adalah sedekah.”
Sahabat Umar Ra berkata, “perbuatan baik adalah sesuatu yang mudah, yaitu berwajah ramah dan berkata baik serta lembut.”

Sebagian ahli hikmah berkata, “ucapan baik yang lembut bisa membasuh kedengkian dan dendam yang berada di dalam anggota badan.”

Sebagian ahli hikmah yang lain juga berkata, “setiap ucapan tidak akan membuat Tuhanmu murka, hanya saja sesungguhnya engkau bisa membuat teman ngobrolmu senang dengan ucapanmu, maka janganlah bahil dengan ucapan padanya, karena mungkin Allah akan mengganti ucapanmu dengan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan.”

[Ke enam adalah at taqo’ur (terlalu mendalam-dalamkan ucapan)] at taqo’ur adalah menfasih-fasihkan, terlalu berlebihan dalam sajak, kefasihan dan mengeluarkan perkataan yang di buat-buat. Sesungguhnya hal itu termasuk sikap berlebihan yang tercela, karena seseorang hendaknya berbicara dalam setiap hal sebatas tujuannya saja. Tujuan ucapan adalah memberi pemahaman terhadap hal yang di kehendaki, kalau lebih dari itu, maka termasuk sikap berlebihan yang tercela. Bukan termasuk hal yang tercela adalah memperindah kata-kata saat berceramah dan berpidato jika tidak berlebihan dan tidak mengungkapkan hal-hal yang aneh, karena ketangkasan dalam berbicara itu memiliki dampak yang signifikan saat berceramah.

[Ke tujuh adalah berkata kotor, mencela, dan ucapan pedas serta menyakitkan] hal ini adalah sesuatu yang tercela dan di larang oleh agama. Sumber hal-hal ini adalah kotor dan jeleknya hati.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالْفُحْشَ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلَا التَّفَحُّشَ
 “takutlah kalian terhadap perkataan kotor karena sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai kata-kata kotor dan berkata kotor.”

Baginda Nabi Saw melarang para sahabat dari mencela orang-orang musyrik yang terbunuh di perang Badar. Beliau bersabda,

لَا تَسُبُّوْا هَؤُلَاءِ فَإِنَّهُ لَا يَخْلُصُ إِلَيْهِمْ شَيْءٌ مِمَّا تَقُوْلُوْنَ وَتُؤْذُوْنَ الْأَحْيَاءَ أَلَا إِنَّ الْبِذَاءَ لُؤْمٌ
“janganlah kalian mencaci mereka, karena semua itu tidak akan berdampak apa-apa pada mereka, akan tetapi kalian akan menyakiti orang-orang yang masih hidup, ingatlah bahwa ucapan jelek itu adalah hal yang di cela.”

Beliau Nabi juga bersabda,

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيْءِ
“orang mukmin itu bukanlah orang yang suka mencaci, melaknat, berbicara kotor dan berkata yang menyakitkan.”

Di riwayatkan dari beliau juga, bahwa beliau bersabda,

إِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْفَاحِشَ الْمُتَفَحِّشَ الصَّيَّاحَ فِيْ الْأَسْوَاقِ
“sesungguhnya Allah Swt tidak menyukai orang yang berkata kotor, berusaha berkata kotor dan suka berteriak di pasar-pasar.”

Batasan al Fahsyu (berkata kotor) adalah mengungkapkan hal-hal yang jorok dengan bahasa terang-terangan dan jelas. Fahsyu sering di ungkapkan dalam urusan hubungan suami istri dan hal yang terkait dengannya, karena sesungguhnya ahli-ahli pembuat kerusakan memiliki kata-kata jorok yang jelas yang mereka pergunakan dalam urusan ini.

Sedangkan orang-orang yang baik sangat menghindari bahasa yang jelas dalam hal ini. Akan tetapi mereka menggunakan bahasa kiasan jika mengungkapkan hal-hal yang bersinggungan dengan urusan ini, mereka menunjukan dengan bahasa isyarat atau kiasan.

Sahabat Ibn Abbas Ra berkata, “sesungguhnya Allah Swt Dzat yang hidup dan mulia, Allah menjadikan bahasa Lamsu (menyentuh) sebagai kiasan dari jima’.”

Kata massu, masis, dan duhul adalah bentuk kata kiasan dari jima’, dan kata-kata ini tidak terkesan jorok.

Banyak sekali kata-kata yang dianggap jorok jika di ucapkan, dan kebanyakan di ucapkan saat mencaci dan memberikan ibarat. Setiap hal yang dianggap memalukan jika di ketahui oleh orang lain, maka hendaknya tidak di ucapkan dengan bahasa shorih dan jelas karena hal itu dianggap perkataan yang jorok.

Yang mendorong orang berkata kotor adakalanya karena ingin menyakiti orang lain, atau karena telah menjadi kebiasan yang di peroleh sebab bergaul dengan orang-orang fasiq, ahli berkata kotor dan jelek, sebab kebiasaan orang-orang seperti ini adalah mencaci maki.

Di riwayatkan bahwa sesungguhnya ada seorang a’roby berkata kepada baginda Nabi Muhammad Saw, “berikanlah wasiat padaku wahai Rosulullah.”

Beliaupun bersabda,

عَلَيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَإِنْ امْرُؤٌ عَيَّرَكَ بِشَيْءٍ يَعْلَمُهُ فِيْكَ فَلَا تُعَيِّرْهُ بِشَيْءٍ تَعْلَمُهُ فِيْهِ يَكُنْ وَبَالُهُ عَلَيْهِ وَأَجْرُهُ لَكَ وَلَا تَسُبَّنَّ شَيْئًا
 “tetaplah bertaqwa kepada Allah, jika ada seseorang yang menghinamu dengan sesuatu yang dia ketahui dari dirimu, maka janganlah engkau balas menghinanya dengan sesuatu yang kau ketahui dari dirinya, sehingga dosa dari cacian itu akan di tanggung olehnya sedangkan engkau akan mendapatkan pahala, dan janganlah mencaci sesuatu apapun.”

Orang A’roby itu berkata, “setelah itu akupun tidak pernah mencaci apapun.”

Di riwayatkan dari baginda Nabi Saw, beliau bersabda,

سَبَابُ الْمُؤْمِنِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
 “mencaci orang mukmin adalah perbuatan fasiq dan memeranginya adalah perbuatan kufur”.

Beliau juga bersabda,

مَلْعُوْنٌ مَنْ سَبَّ وَالِدَيْهِ
 “termasuk orang yang di laknat adalah orang yang mencaci kedua orang tuanya.”

Dalam sebuah riwayat di sebutkan,

مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَسُبَّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
 “termasuk diantara dosa yang paling besar adalah seorang lelaki yang mencaci kedua orang tuanya.”
Para sahabat bertanya, “wahai Rosulullah, bagaimana bisa ada seorang lelaki yang mencaci maki kedua orang tuanya?!.”

Beliau menjawab,

يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ الْآَخَرُ أَبَاهُ
 “yaitu ketika ada seseorang yang mencaci ayah orang lain, sehingga orang lain itupun mencaci maki ayah lelaki tersebut.”

[ke delapan adalah melaknat] melaknat adakalanya kepada binatang, benda tak bernyawa atau pada manusia. Melaknat pada semua itu adalah perbuatan yang tercela.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

الْمُؤْمِنُ لَيْسَ بِلَعَّانٍ
 “orang mukmin bukanlah orang yang suka melaknat.”

Melaknat adalah ungkapan yang berisikan doa agar di tolak dan di jauhkan dari rahmat Allah Swt. Melaknat hukumnya tidak halal kecuali di tujukan kepada orang yang memang memiliki sifat yang akan menjauhkan dari rahmat Allah Swt, yaitu sifat kafir dan dhalim.

Namun melaknat orang fasiq secara tertentu itu agak berbahaya sehingga hendaknya di hindari walaupun dia sudah meninggal dunia. Bahkan terkadang dampak laknat itu semakin berat jika bisa menyakiti keluarganya yang masih hidup.

Dalam sebuah hadits di sebutkan,

لَا تَسُبُّوْا الْأَمْوَاتَ فَتُؤْذُوْا بِهِ الْأَحْيَاءَ
 “janganlah kalian mencaci orang-orang yang sudah meninggal dunia karena kalian akan menyakiti keluarganya yang masih hidup.”

Sesuatu yang agak dekat dengan melaknat adalah mendoakan kejelekan untuk orang lain walaupun doa jelek untuk orang dholim, karena doa seperti ini adalah hal yang tercela.

Dalam sebuah hadits di jelaskan,

إِنَّ الْمَظْلُوْمَ لَيَدْعُوْ عَلَى الظَّالِمِ حَتَّى يُكَافِئَهُ
 “sesungguhnya orang yang di dholimi itu akan mendoakan jelek untuk orang berbuat dholim padanya hingga dia mengimbangi kedholiman tersebut”.

[Ke sembilan adalah bernyanyi dan mendendangkan syair] nyayian dan syair yang tercela adalah yang berisi perkara haram atau dorongan untuk melakukannya, seperti yang berisi cerita masa muda dengan orang tertentu, berisi cacian, menyerupai perempuan, membangkitkan keinginan melakukan hal tercela, menyamai golongan pengumbar nafsu dan pelawak, serta mencurahkan waktu untuk semua itu dan hal-hal yang sesamanya. Sedangkan nyayian dan syair yang tidak berisikan hal-hal seperti diatas maka hukumnya mubah.

[Ke sepuluh adalah bergurau] yang di larang dalam hal ini adalah selalu bergurau atau berlebihan. Karena ketika selalu bergurau, maka berarti sama saja dia selalu bermain-main dan bercanda. Sedangkan ketika berlebihan saat bergurau, maka akan membuat banyak tertawa dan dendam dalam sebagian keadaan, serta akan menjatuhkan wibawa dan kehormatan.

Adapun gurauan yang terbebas dari hal-hal di atas, maka tidak masalah sebagaimana yang diriwayatkan bahwa baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

إِنِّيْ لَأَمْزَحُ وَلَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
 “sesungguhnya aku juga bergurau namun aku tidak pernah berkata kecuali perkara yang hak (benar).”

Ingatlah bahwa orang seperti baginda Nabi Saw mampu untuk bergurau dengan tidak mengatakan kecuali perkara yang hak. Sedangkan selain beliau biasanya ketika bergurau, maka tujuannya adalah membuat orang-orang tertawa dengan cara bagaimanapun. Padahal sahabat Umar Ra berkata, “barang siapa yang suka bergurau, maka dia akan di hina dan di rendahkan.”

Imam Sa’id ibn Al Ash berkata pada putranya, “wahai putraku, janganlah bergurau dengan orang yang mulia sebab hal itu akan membuat dia dendam padamu, dan jangan bergurau dengan orang yang rendah sebab hal itu akan bisa membuat dia berani padamu.” Dalam sebuah ungkapan di sebutkan, “setiap sesuatu itu ada benihnya, dan benih permusuhan adalah bergurau.” Di sebutkan, “bergurau itu akan bisa menghilangkan kecerdasan dan memutus persahabatan.”

Termasuk kesalahan besar adalah jika bergurau di jadikan sebagai profesi yang selalu dia lakukan sehingga berlebih-lebihan, kemudian dia berargumen  dengan apa yang di lakukan oleh baginda Rosulullah Saw. Maka orang seperti ini bagaikan orang yang berkeliling di siang hari bersama kaum Az Zanuj guna melihat tarian mereka, kemudian dia beralasan bahwa sesungguhnya baginda Rosulullah Saw pernah memberi izin kepada dewi ‘Aisyah Ra untuk menonton tarian kaum az Zanuj saat hari raya, dan pendapat orang seperti ini adalah keliru.

Kesimpulannya, jika engkau mampu bergurau dengan tanpa mengucapkan kecuali hal yang benar, tidak menyakiti hati, tidak berlebihan dan hanya sesekali saja tidak terus-terusan, maka tidaklah masalah bagimu untuk bergurau.

Diantara gurauan baginda Nabi Saw adalah riwayat yang menjelaskan bahwa suatu saat ada wanita lanjut usia menghadap kepada beliau, dan bertanya apakah dia bisa masuk surga, kemudian beliau berkata padanya, “tidak ada wanita lanjut usia yang akan masuk surga.” Wanita itu pun menangis, lalu baginda Nabi Saw berkata padanya “sesungguhnya engkau pada waktu masuk surga tidak nini lagi.

Allah kan sudah berfirman :

“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (Bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan”.

Suatu ketika juga ada seorang wanita menghadap kepada beliau. Wanita itu berkata, “sesungguhnya suami hamba mengundang anda wahai Rosulullah.” Beliau bertanya dengan nada bercanda, “suamimu yang mana? Apa lelaki yang di matanya ada putih-putihnya?.” “demi Allah, di mata suami hamba tidak ada putih-putihnya”, jawab wanita tersebut mantap. “iya, dimatanya ada putih-putihnya!”, lanjut Nabi. “tidak, demi Allah” tegas wanita itu. Beliau Nabi Saw bersabda, “tidak ada seorang pun kecuali di matanya ada warna putihnya.” Yang beliau kehendaki adalah bagian mata yang berwarna putih yang mengelilingi bagian yang berwarna hitam.

Ada juga seorang wanita yang menghadap beliau seraya berkata, “wahai Rosulullah, naikkanlah hamba ke atas onta.” Beliau menjawab “iya, saya akan menaikkanmu ke atas punggung anak onta”. “wah, hamba tidak akan melakukan hal itu, sebab anak onta tidak akan kuat saya naiki”, tegas wanita itu. Nabi Saw melanjutkan, “tidak ada satu onta pun kecuali dia adalah anak onta yang lain.”

Sahabat Anas Ra berkata, “Abu Thalhah memiliki putra bernama Abu Umair. Suatu saat Rosulullah Saw mendatangi keluarga mereka. Beliau bertanya, ‘wahai Abu Umair, apa yang di lakukan oleh an Naghir (anak burung pipit)?’, pada saat itu Abu Umair sedang bermain-main dengan anak burung pipit”.

Dewi ‘Aisyah Ra berkata, “saat perang Badar aku ikut berangkat bersama Rosulullah Saw. Beliau berkata padaku, ‘kesinilah, aku akan mengalahkanmu.’ Aku pun menerima tantangan beliau, aku ikat baju jiraku lalu aku membuat garis, kita berdua berdiri tepat di garis tersebut, kita berlomba dan beliau mengalahkanku. Beliau berkata, ‘ini adalah tempat bernama Dzil Majaz.’ Aku baru ingat bahwa dulu, suatu hari beliau datang dan kami sedang berada di Dzil Majaz saat itu aku masih kecil, ayahku mengutusku dengan membawa sesuatu. Beliau Nabi Saw berkata padaku, ‘berikan perkara itu padaku.’ Aku tidak mau memberikannya, aku berlari dan beliau mengejar di belakangku namun beliau tidak bisa menyusul.”

Dewi ‘Aisyah Ra juga berkata, “suatu saat Saudah binti Zam’ah berada di dekat Rosulullah Saw. Saat itu aku membuat jenang Khazir, aku membawanya kehadapan Saudah, dan aku berkata padanya, ‘makanlah.’ Dia menjawab, ‘aku tidak menyukainya.’ ‘demi Allah, engkau harus memakannya. Jika tidak, maka aku akan mengotori wajahmu dengan jenang ini’, ancamku. Sekali lagi dia menjawab, ‘aku tidak akan mencicipinya.’ Maka aku mengambil sebagian jenang di piring dan aku oleskan ke wajahnya. Saat itu Rosulullah duduk diantara aku dan Saudah, kemudian beliau menurunkan lutut agar Saudah berlindung padanya. Saudah mengambil jenang di piring kemudian mengoleskannya pada wajahku, Rosulullah Saw pun tertawa melihat hal itu”.

Sahabat Abu Salamah Ra bercerita bahwa suatu ketika baginda Nabi Muhammad Saw pernah menjulurkan lidah kepada Hasan ibn Ali Ra, kemudian Hasan yang masih balita itu melihat lidah beliau sehingga dia riang dan menjilati lidah beliau.

Sahabat ‘Uyainah ibn al Fazari berkata, “demi Allah, sesungguhnya aku memiliki seorang putra yang sudah menikah. Sejak lahir hingga rambutnya tumbuh lebat aku belum pernah menciumnya, kemudian baginda Nabi Saw bersabda, ‘sesungguhnya orang yang tidak berbelas kasih maka dia tidak akan di kasihi’.”

Kebanyakan gurauan ini di lakukan oleh baginda Nabi Muhammad Saw bersama para wanita dan anak-anak kecil. Hal ini beliau lakukan guna mengobati kelemahan hati mereka tanpa sama sekali memiliki rasa condong untuk bergurau.

Dalam satu kesempatan baginda Nabi Saw bertanya kepada sahabat Shuhaib yang saat itu sedang sakit mata dan memakan kurma, “apakah engkau memakan kurma padahal engkau sedang sakit mata?.” “hamba memakan kurma dengan bagian tubuh yang lain _bukan mata_” jawab Shuhaib. Mendengar jawaban Shuhaib, beliau Nabi Saw terseyum. Sebagian perowi hadits menjelaskan bahwa beliau terseyum hingga gigi beliau kelihatan.

Nu’aiman al Anshori adalah sosok yang suka bercanda. Dia tidak pernah datang ke Madinah kecuali membeli sesuatu kemudian membawanya kehadapan baginda Nabi Saw seraya berkata, “wahai Rosulullah makanan ini aku beli untuk anda, dan aku hadiahkan kepada anda.” Saat penjual makanan itu datang maka dia pun menagih bayarannya, Nu’aim mengajaknya menghadap baginda Nabi Saw. Nu’aim berkata kepada baginda Rosul Saw, “wahai Rosulullah, berilah dia uang makanan tadi.” “bukankah engkau telah menghadiahkannya padaku?”, jawab beliau Nabi. Nu’aim berkata, “wahai Rosulullah, sebenarnya aku tidak memiliki uang tapi aku ingin anda memakan makanan itu.” Mendengar kata-kata Nu’aim, baginda Nabi Saw tertawa, beliau memerintahkan agar penjual makanan itu di beri bayarannya.

Gurauan-gurauan seperti ini hukumnya mubah jika di lakukan jarang-jarang, tidak terus-terusan.
[Bahaya lisan yang ke sebelas adalah menghina (sukhriyah) dan menertawakan orang lain (istihja’)] hal ini hukumnya haram. Allah Swt berfirman dalam surat Al Hujuraat ayat 11 :

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik”.

Makna sukhriyah adalah menghina, merendahkan dan memberitahukan cela dan kekurangan orang lain hingga membuat orang tertawa. Bentuk penghinaan seperti ini bisa dengan cara menceritakan dengan ucapan atau dengan perbuatan, dan terkadang dengan isyarah. Semua itu ujung-ujungnya adalah menghina, menertawakan, dan meremehkan orang lain. Inilah yang di ingatkan Allah Swt dalam firmannya yang berbunyi :

“boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka”

Maksudnya, janganlah engkau menghina orang lain, karena mungkin dia lebih baik dari kamu.

    Hal ini hukumnya haram jika di lakukan pada orang yang merasa tersakiti. Sedangkan orang yang memang menjadikan dirinya sebagai obyek tertawaan orang lain dan terkadang malah merasa senang kalau ada yang menertawakan, maka hal ini di anggap hanya bercanda dan bergurau, dan telah di jelaskan mana gurauan yang tercela dan yang terpuji. Yang di haramkan hanya meremehkan yang membuat orang yang di remehkan merasa tersakiti, karena memang di dalamnya ada unsur menghina dan merendahkan.

Sikap meremehkan itu terkadang dengan menertawakan ucapan orang lain yang terlihat ruwet dan tidak teratur, atau pekerjaannya yang kurang sempurna, seperti juga menertawakan hafalannya, karyanya atau bentuk tubuh dan badannya karena terdapat cacat di sana. Menertawakan orang lain karena semua itu termasuk kategori menghina orang lain yang di larang oleh agama.

    [Bahaya ke dua belas adalah menyebarkan rahasia] hal ini di larang karena ada unsur menyakiti dan ceroboh terhadap hak orang-orang yang di kenal dan para teman.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

إِذَا حَدَثَ الرَّجُلُ الْحَدِيْثَ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ
“ketika seorang lelaki menceritakan sebuah cerita kemudian dia menoleh, maka cerita itu sudah menjadi amanat.”

Beliau juga bersabda,

إِذَا حَدَثَ الرَّجُلُ الْحَدِيْثَ ثُمَّ الْتَفَتَ فَهِيَ أَمَانَةٌ
 “cerita di antara kalian merupakan bentuk amanat.”

Menceritakan rahasia adalah berhianat dan  hukumnya haram jika mengandung unsur menyakiti, dan hanya tercela jika tidak sampai menyakiti.

    [Bahaya ke tiga belas adalah janji palsu], karena sesungguhnya lisan itu sangat mudah mengumbar janji namun nafsu lebih cenderung tidak suka menepatinya sehingga janji yang di ucapkan akan menjaji janji palsu, dan ini termasuk dari tanda-tanda orang munafiq. Allah Swt berfirman dalam surat Al Maa-idah ayat 1:

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda, “janji adalah pemberian.” Sesungguhnya Allah Swt telah memuji Nabi Isma’il As dalam kitab-Nya yang mulia dengan firman-Nya di dalam surat Maryam ayat 54 :

Artinya : “dan Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi”.
Ketika menjelang wafat, Abdullah ibn Umar Ra berkata, “sesungguhnya ada seorang lelaki Quraisy yang telah melamar putriku, dan aku telah memberikan semacam janji padanya, maka demi Allah, aku tidak akan bertemu Allah dengan membawa sepertiga dari kemunafikan. Aku saksikan pada kalian bahwa sesungguhnya aku nikahkan lelaki itu dengan putriku.”

Di riwayatkan dari Abdullah ibn Abi al Khunasa’, beliau berkata, “aku telah baiat kepada baginda Nabi Muhammad Saw sebelum beliau di utus. Aku mempunyai tanggungan pada beliau, kemudian aku berjanji akan mengantarkan ke tempat beliau, namun ternyata pada hari itu aku lupa, besoknya juga dan baru aku antarkan pada hari ketiga dan beliau memang ada pada tempat yang telah di janjikan. Beliau berkata padaku, ‘wahai fulan, sesungguhnya engkau telah meyulitkanku, aku telah berada di tempat ini selama tiga hari untuk menantimu’.”

Sahabat Ibn Mas’ud tidak pernah berjanji kecuali beliau mengatakan, “insyaallah”, dan ini memang yang lebih utama. Kemudian jika dengan bahasa tersebut ada indikasi mantap dalam berjanji, maka harus di tepati kecuali jika ada udur. Jika saat berjanji memang sudah punya niatan untuk tidak menepati, maka inilah yang di maksud dengan sifat munafiq.

 Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

ثَلَاثُ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَإِنْ صَامَ وَصَلَّى وَزَعَمَ أَنَّهُ مُسْلِمٌ إِذَا حَدَثَ كَذِبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا أؤْتُمِنَ خَانَ
“ada tiga hal yang mana jika seseorang memiliki ketiga-tiganya, maka dia adalah orang munafiq walaupun dia melaksanakan sholat, puasa dan menyangka bahwa dirinya muslim. Yaitu jika bercerita, maka dia berbohong, jika berjanji maka dia mengingkari dan jika di percaya, maka dia berhianat.”

Beliau juga bersabda,

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خُلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَ فِيْهِ خُلَّةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا حَدَثَ كَذِبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ
 “ada empat hal yang jika seseorang memiliki semuanya, maka dia adalah orang munafik, dan jika memiliki salah satunya maka dia memiliki ciri-ciri dari sifat munafik kecuali dia meninggalkannya. Yaitu jika bercerita maka dia berbohong, jika berjanji maka dia mengingkari, jika membuat perjanjian maka dia berhianat dan ketika berselisih maka dia menyimpang dari kebenaran.”

Hadits ini di tujukan kepada orang yang berjanji dan sengaja untuk mengingkari atau tidak menepati janji tanpa ada udur. Sedangkan orang yang niat menepati janji namun kemudian ada udzur yang mencegah, maka dia bukan orang munafik walaupun seakan apa yang dia lakukan seperti apa yang di lakukan oleh orang munafiq, akan tetapi hendaknya menghindari hal-hal yang menyerupai bentuk perbuatan orang munafiq sebagaimana menghindari hakikat dari sifat munafiq.

Hendaknya tidak menjadikan dirinya seakan memiliki udzur tanpa ada unsur darurat. Karena sesungguhnya ada riwayat yang menjelaskan bahwa baginda Rosulullah Saw pernah berjanji akan memberikan seorang pelayan kepada Abu al Haitsam, kemudian beliau mendapat tiga orang budak tawanan. Dua orang beliau berikan dan tersisa satu orang, lalu dewi Fatimah Ra datang dan meminta seorang pelayan kepada beliau Nabi. Fatimah berkata, “apakah anda tidak kasihan melihat luka di tanganku akibat batu penggiling?.” Baginda Nabi Saw menjelaskan tentang janji beliau kepada Abu al Haitsam, dan segera berkata, “terus bagaimana dengan janjiku kepada Abu al Haitsam??.” Maka beliaupun lebih mendahulukan Abu Haitsam dari pada putri beliau sendiri, Fatimah, karena memang beliau lebih dulu berjanji kepada Abu Haitsam walaupun dewi Fatimah menggunakan batu penggiling dengan tangan lemah lembutnya.

Dan ketika baginda Nabi Muhammad Saw duduk membagi harta rampasan perang Hawazin, tiba-tiba ada seorang lelaki berdiri menghadap beliau seraya berkata, “wahai Rosulullah, sesungguhnya anda mempunyai janji padaku!”. Beliau Nabi Saw menjawab, “iya benar, maka silahkan putuskan apa yang engkau kehendaki!.” Lelaki itu berkata, “aku putuskan untuk meminta delapan puluh kambing dengan seorang pengembalanya!.” “semua itu telah menjadi milikmu dan engkau telah memutuskan hal yang sedikit”, lanjut Nabi Saw.

[Bahaya lisan yang ke empat belas adalah berbohong saat berkata dan berjanji] hal ini merupakan di antara dosa yang teramat jelek dan cacat yang teramat kotor.

Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّهُ مَعَ  الْفُجُوْرِ وَهُمَا فِيْ النَّارِ
“takutlah kalian terhadap kebohongan. Sesungguhnya kebohongan akan bersama dengan perbuatan zina, keduanya berada di neraka."

    Beliau bersabda,

إِنَّ الْكَذِبَ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النِّفَاقِ
 “sesungguhnya bohong adalah salah satu pintu dari pintu-pintu sifat munafik.”
Beliau juga bersabda,

كَبُرَتْ خِيَانَةٌ أَنْ تَحْدُثَ أَخَاكَ حَدِيْثًا هُوَ لَكَ بِهِ مُصَدِّقٌ وَأَنْتَ بِهِ كَاذِبٌ
 “sungguh penghianatan yang besar, jika engkau bercerita pada temanmu dan dia membenarkan ucapanmu sedangkan engkau berkata bohong padanya.”

Suatu ketika baginda Nabi Saw bertemu dengan dua orang lelaki yang sedang transaksi seekor kambing, dan keduanya saling bersumpah. Salah satunya berkata, “demi Allah, aku tidak akan mengurangi harganya dari ini dan ini.” Satunya lagi berkata, “demi Allah aku tidak akan menambah harganya diatas harga segini dan segini”. Kemudian kambing yang telah di transaksikan di datangkan dan telah di beli oleh salah satu dari mereka.

Baginda Nabi Saw bersabda,

أَوْجَبَ أَحَدُهُمَا بِالْإِثْمِ وَالْكَفَارَةِ
“salah satu dari kedua orang ini telah menetapkan dosa dan kafarat yamin.”

Baginda Nabi Saw bersabda,

ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمُ الْمَنَّانُ بِعَطِيَّتِهِ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلْفِ الْفَاجِرِ وَالْمُسَبِّلِ إِزَارَهُ
 “ada tiga orang yang tidak akan di ajak bicara oleh Allah Swt di hari kiamat dan tidak akan di lihat dengan belas kasih oleh-Nya. Yaitu orang yang suka mengundat-undat pemberiannya, orang yang membelanjakan hartanya dengan sumpah palsu, dan orang yang menurunkan sarungnya karena sombong.”

Beliau juga bersabda,

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ بِإِثْمٍ لِيَقْتَطِعَ بِهَا مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
 “barang siapa bersumpah bohong karena untuk mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar, maka dia akan bertemu Allah Azza wa Jalla dalam keadaan murka padanya.”

Baginda Nabi Saw bersabda pada sahabat Mu’adz bin Jabal,

أُوْصِيْكَ بِتَقْوَى اللهِ وَصِدْقِ الْحَدِيْثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَالْوَفَاءِ بِالْعَهْدِ وَبَذْلِ الطَّعَامِ وَخَفْضِ الْجَنَاحِ
 “aku berpesan padamu agar selalu taqwa pada Allah, berkata jujur, melaksanakan kepercayaan, menepat janji, memberi makan, dan rendah diri.”
(Sumber : BEKAL DAKWAH AL-GHOZALI jilid 2)

Baca juga artikel kami lainnya :  Tugas Nabi Muhammad

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama