URGENSI NIAT UNTUK PUASA RAMADHAN


Niat menjadi perkara penting dalam segala amal termasuk niat puasa wajib. Seseorang yang akan berpuasa wajib harus menetukan niat puasa sebelum terbit fajar. Begitu juga dengan puasa ramadhan, apabila sudah ditetapkan masuknya bulan suci Ramadhan, baik dengan melihat hilal atau dengan menyempurnakan Sya’ban tiga puluh hari, maka orang harus menentukan niat dari malam sampai sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallahu alaihi wa sallam.

مَنْ لَمْ يُجِيْعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
Artinya: Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
Artinya: “Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.”

Niat itu ada di dalam hati, sedangkan mengucapkan niat adalah sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi, sahabat, maupun salaf as soleh. Walaupun sementara ini orang menganggapnya sebagai perbuatan baik. Penentuan niat hanya pada puasa wajib saja, karena Rasulullah pernah mendatangi ‘Aisyah di luar Bulan Ramadhan  dan mengatakan, “ apakah kamu punya makanan untuk makan?, kalau tidak ada, aku puasa”.
Begitu juga terlihat dari perilaku para sahabat  seperti Abu darda’, Abi Talhah, ,Abu urairah, Ibnu Abbas, dan huzaifah ibn al Yamani radiaAllu anhum.
Niat puasa yang dilakukan pada malam hari sampai sebelum terbit fajar hanya pada puasa wajib dan bukan pada puasa sunnah.
orang yang mempunyai kewajiban untuk berpuasa  atau mukallaf sedangkan ia tidak mengetahui bahwa ia sudah mempunyai beban untuk berpuasa kemudian makan dan minum kemudian ia tahu, maka hendaklah ia menahan dirinya dari makan dan ia sempurnakan puasanya. Orang yang sudah makan, maka jangan ia melanjutkan makanannya. Dan menetukan niat tidak menjadi syarat pada kasus orang seperti ini. Karena usul dari syari’ah adalah melekatnya taklif pada seseorang.
Sebuah hadis dari ‘Aisyah Radiayallu anha berkata, “ bahwasanya Rasulullah menyuruh untuk puasa ‘Asura, namun manakala puasa Ramadhan diwajibkan, siapa yang mau puasa dan tidak puasa”.
Dari Salamah bin al Akwa’ radiyallahu anhuberkata, “ Nabi shalallau ‘alihi wa sallam menyuruh untuk memberitahu manusia bahwasnya barangsipa yang makan, maka hendaklah ia puasa sisa dari harinya, dan barang siapa yang belum makan maka hendaklah ia puasa , karena sesunguhnya hari ini adalah ‘Asyura’
Kata-kata bahwa pada hari ini ‘Asyura’ awalnya adalah wajib kemudian dinasakh. Karena puasa Ramadhan adalah wajib dan tidak berubah kewajibannya.
Ini menelaskan tentang posisi niat yang ada pada puasa ‘Asyura, di mana dalam hadis di atas ia menjadi tidak wajib, berbeda dengan ramadhan.
Puasa ‘Asyura’ tidak lah wajib, hanya saja orang yang mengatakan wajib puasa ‘Asyura’ karena ada perintah sebagaimana dalam hadis ‘Asiyah, kemudian diperkuat perintah tersebut dengan ta’kid nida’ yang umum. Kemudian ada tambahan dengan perintah untuk menahan diri sebagaimana pada hadis Salamah bin al Akwa’ dan hadis muhammad bin Syaifi an Ansori, ia berkata, “ Rasulullah shallahu ‘alihi wa sallam keluar kepada kita pada hari ‘Asyura’  dan berkata, “ apakah kamu puasa hari ini?, sebagian mengatakan, “ ya”, dan sebagian mengatakan, “ tidak”. Nabi bersabda, “ maka sempurnakanlah sisa harimu”.
Ini terbantahkan oleh riwayat dari ibnu mas’ud , “ manakala diwaijbkan ramadhan, Asyura’ ditinggalkan”. Begitu juga dengan perkataan Aisyah, “ manakala Ramadhan turun, dan Ramadhan adalah wajib, dan meninggalkan Asyura.
Walaupun ada yang mengatakan bahwa dianjurkan untuk meningggalkan Asyura’, tapi yang lebih kuat adalah  wajib meningalkan puasa asyura’.
Sebagian lagi menatakan bahwa kalau puasa Asyura’ dinasakh maka segala hukum yang berkaitan dengannya juga dinasakh. Dan yang benar sesuai dengan hadis asyura’ adalah: Pertama; wajibnya puasa asyura’. Kedua, orang yang tidak menetapkan niat pada puasa wajib sebelum terbit matahari karena ketidaktahuannya tidak membatalkan puasanya. Ketiga; barang siapa yang makan dan minum kemudian ia tahu, maka ia menahan diri sisa dari harinya dan tidak wajib bainya qadha’.
Wallahu A’lam bi al Shawab
(disarikan dari Kitab Sifatu Saumi al-Nabi fi Ramadhan, Salim bin Aid al Hilali dan Ali Hasan Ali Abdul Hamid)

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama