Puasa adalah amalan yang tidak dapat dilihat oleh orang, karena wujudnya secara fisik gerakan tidak ada sama sekali, lain halnya dengan syari’at-syari’at yang lain bisa dilihat dan tampak oleh orang lain. Sehingga pada amalan-amalan selain puasa, seseorang dapat riya’ dengan memperlihatkan amalan yang dilakukan, sedangkan puasa tidak bisa, paling tinggi adalah sum’ah (ingin di dengar orang lain). Ibadah puasa kemudian menjadi istimewa karena hanya Allah dan setiap individu yang mengetahui dirinya berpuasa atau tidak. Dalam hadis qudsi sendiri Allah subhanahu wata’ala berfirman bahwa puasa adalah milik Allah dan Allah sendiri yang akan langsung memberikan ganjarannya.
Keadaan puasa yang tidak bisa dilihat oleh orang menyebabkan beberapa orang yang tidak bisa menahan untuk tidak makan dan minum dari terbit fajar samapai tenggelam matahari, secara sembunyi-sembuyi dapat makan atau minum seenaknya, tanpa harus takut diketahui oleh orang lain. Untuk itu Puasa Ramadhan menjadi sangat istimewa bagi seorang hamba yang menjalankannya, dan mereka yang mampu menjalankannya dengan baik akan dapat predikat sebagai orang yang bertaqwa.
Batalnya puasa seseorang tidak hanya sekedar makan dan minum, ada beberapa hal yang termasuk membatalkan puasa, baik sesuatu yang masuk ke dalam perut atau karena hal lain yang memang dalam syari’at dapat membatalkan puasa seseorang. berikut beberapa hal yang dapat membatalkan puasa:
BERJIMAK (Melakukan Hubungan Badan)
Berjimak adalah melakukan hubungan badan suami istri pada siang hari ramadhan, dan ini adalah dosa paling besar yang dapat membatalkan puasa di Bulan Ramadhan atau pada bulan lainnya saat berpuasa. Tidak perlu ditanya orang yang melakukan hubungan badan yang bukan hubungan suami istri, maka ia menaggung dua dosa besar, yaitu dosa membatalkan puasa dan dosa berzina, jika yang berzina adalah orang yang sudah beristri atau bersuami, maka harus dirajam sampai mati, sedangkan mereka yang masih lajang dicambuk dan diasaingkan dari negerinya.
Suami istri yang melakukan hubungan badan (berjima’) pada siang hari ramadhan maka dia wajib mengqada’ puasa bersama mendapat kafarat puasa yang sangat besar (mugallaz) dan berat dengan pilihan yaitu memerdekakan budak, jika tidak mendapatkan budak, maka ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa putus sama sekali kecuali ada udzur syar’i seperti puasanya bertepatan dengan shalat Idul Fitri atau Idul Adha, hari-hari tasyriq. Atau karena udzur yang tidak mungkin dapat dicegah seperti sakit atau melakukan perjalanan jauh (musafir). Jika tidak ada unsur udzur seperti di atas, kalau ia membatalkan puasanya satu hari saja, maka ia harus mengulang dari awal sampai ia dapat melakukannya sebanyak dua bulan berturut-turut. Tapi jika dengan berpuasa juga ia tidak dapat melakukannya berturut-turut karena udzur, maka ia wajib memberikan makan 60 orang miskin, setiap orang miskin diberikan setengah kilo makanan ahlul balad, dan sepuluh gram biji-bijian yang baik. di tempat lain beberapa ulama’ mengatakan dengan satu mud.
Urutan hukuman ini sebagaimana yang ada dalam petunjuk Nabi dalam beberapa kitab hadis antara lain dalam Sahih Muslim disebutkan bahwasanya diceritakan salah seorang laki-laki berhubungan badan dengan istrinya pada Bulan Ramadhan, kemudian dia meminta fatwa kepada Nabi akan perbuatannya. kemudian Nabi bersabda, “ apakah kamu menemukan budak perempuan?, ia menjawab, “tidak”. Nabi bersabda, “apakah kamu bisa/sanggup puasa dua bulan berturut-turut?, dia berkata, “tidak”. Kemudian Nabi bersabda, “maka berikanlah makan 60 orang miskin”. hadis ini sebenarnya sangat panjang dalam riwayat sahihain, dan teks asliny` dapat merujuk pada kitab-kitab hadis.
KELUAR AIR MANI
Keluar air mani di sini adalah keluarnya dengan jalan ikhtiary dan disengaja, baik dengan karena mencium, menyentuh/bersentuhan, atau melakukan onani/mastrubasi atau semisalnya yang dapat mengeluarkan air mani. Perbuatan ini dilakukan karena atas dasar syahwat pada diri seseorang, di mana wajib untuk ditinggallkan sebagaimana dalam sebuah hadis qudsi:
يَدَع طعامَه وشرابَه وشهوتَه من أجْلِي
Artinya: Meninggalkan makanannya, minuman, dan syahwatnya karena semata-mata karena aku (Riwayat Bukhari ).
Pada masalah ini persyaratannya adalah keluarnya air mani, tidak karena keluar air madziatau wadi. Kalaupun seseorang mencium atau bersentuhan namun tidak sampai mengeluarkan air mani, maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis ‘Aisyah dalam sahihain :
أنَّ النبيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يُقَبِّلُ وهو صائمٌ ويباشر وهو صائمٌ، ولَكِنَّه كان أمْلَكَكُمْ لإِربِه
Artinya: Sesunggunya Nabi Sallalhu ‘Alihi wasallam mencium (‘Asiyah) sedangkan beliau berpuasa dan menyentuh (‘Asiyah) sedangkan beliau berpuasa, akan tetapi beliau orang yang paling mampu dari kalian untuk menahannya.
Dalam riwayat lain dijelaskan dalam Sahih Muslim bahwasanya ‘Umar ibn Abi Salamah bertanya kepada Nabi Sallahu ‘Alahi Wasallam, apakah seseorang yang berpuasa boleh mencium?. Nabi kemudia menjawab, “ tanya orang ini yakni Ummu Salamah, kemudian Ummu Salamah memberitahunya bahwa Nabi sallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal itu. Kemudian ia berkata kepada Nabi, “ wahai Rasulullah!, engkau telah diampuni oleh Allah dosa yang akan datang dan telah berlalu”. Nabi kemudian bersabda, “ sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah dari kalian semua”.
Hadis ini memberikan pengertian bahwa, jika apa yang sudah dipraktekkan oleh Nabi, maka ummatnya boleh melakukannya. Mencium istri pada bulan ramadhan dan pada saat berpuasa boleh dilakukan oleh seorang laki-laki. Akan tetapi jika orang yang berpuasa takut akan dirinya dengan mencium akan membuat dia keluar air maninya atau sejenisnya yang menyebabkan ia bisa melakukan jima’ dengan istrinya karena tidak tahan syahwat yang merasukinya , maka mencium dan yang sejenisnya kepada istri adalah haram pada saat itu. Ini adalah tindakan preventiv (sadd al-Dzari’ah) agar tidak berhubungan dengan istri pada Bulan Ramadhan, sehingga puasanya bisa terjaga dan ia tidak terkena kafarat dan lain sebagainya dari hukuman orang yang melakukan jima’ saat berpuasa. Oleh karena itu Nabi juga memerintahkan agar orang yang berwudhu’ tidak terlalu dalam melakukan istinsyaq, karena dikhawatirkan air akan tertelan dan masuk ke tenggorokannya dan menyebabkan batalnya puasa.
Sedangkan keluar air mani karena bermimpi atau hanya sekedar memikirkan sesuatu yang dapat meningkatkan syahwat tanpa melihat sesuatu sebagai wasilah dan keluar mani, maka puasanya tidak batal. Tidur sendiri tidak atas dasar keinginan orang yang berpuasa, dan sebagaimana dalam hadis bahwa diangkat al-qalambagi beberapa orang dalam keadaan tertentu di antaranya adalah orang yang tidur sampai ia bangun. Adapun hanya sebatas memikirkan dan tidak wasilahdalam proses memikirkan tentang hubungan badan atau jima’ itu dimaafkan (ma’fu) berdasarkan sabda Nabi Sallahu ‘Alaihi Wasallam:
إنَّ الله تَجَاوزَ عن أمَتِي ما حدَّثَتْ به أنْفُسَهَا ما لم تَعْملْ أوْ تتكلمْ
Artinya: Sesungguhnya Allah lewat akan ummatku apa yang terjadi pada dirinya selama ia tidak melakukannya atau mengatakannya (berkata). (Muttafaq ‘Alaihi)
MAKAN DAN MINUM
Makan dan minum termasuk perkara yang banyak menyebabkan orang membatalkan puasanya, karena keadaan lapar dan haus. Perkara yang lain sering menjadi pemicu batalnya puasa seseorang, tapi sebagian besar kaum muslimin batalnya puasa karena makan dan minum. Kita tahu bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Ini memang waktu yang sangat panjang bagi seseorang untuk tidak makan dan minum. Mereka yang lemah imannya tidak segan-segan untuk membatalkan puasanya dengan berbagai macam alasan.
Makan dan minum dalam bulan puasa adalah memasukkan makanan atau minuman ke jauf(lubang) melalui mulut atau hidung dengan berbagai macam makanan dan minuman yang termasuk dapat mengeyangkan. Setiap orang diperintahkan untuk menahan dirinya dari makan dan minum, sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Baqarah ayat 187;
وَكُلُواوَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Artinya:”…dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam,..”
Begitu juga batal puasa seseorang yang memasukkan obat ke dalam hidung karena terhitung seperti makan dan minum, sebagaimana sabda Nabi Salllahu ‘Alahi Wasallam dalam hadis Laqit ibn Sabrah, “bersangat-sangatlah dalam beristinsyaqkecuali kamu dalam keadaan puasa”. (Rawahu al-khamsah dan disahihkan oleh Tirmizi). Adapun orang yang hanya mencium bebauan maka puasa tidak batal, karena bebauan tidak dapat dipaksa untuk tidak dicium oleh seseorang dan ia juga tidak mempunyai ‘Ain (bentuk), sama dengan angin yang dihirup oleh seseorang setiap hari. Berlainan dengan rokok yang ada wujud barang yang dihisap, maka itu membatalkan puasa.
YANG SEMAKNA DENGAN MAKAN DAN MINUM
Secara nyata apa yang dapat membatalkan puasa seseorang adalah karena tiga hal di atas, tapi kemudian dengan perkembangan zaman, banyak cara dilakukan orang untuk dapat memasukkan sesuatu barang yang mengeyangkan atau tidak ke dalam tubuh. Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum ini dapat dibagi menjadi dua yaitu;
Pertama: menyuntikkan darah atau memasukkan infus kepada orang yang berpuasa seperti orang yang sakit kemudian didonorkan padanya darah. Maka memasukkan darah ke dalam tubuh seseorang yang berpuasa tersebut menyebabkan batal puasanya. Karena ini sama saja dengan memberi makan dan minum seseorang dan kemudian masuk ke dalam tubuhnya. Begitu juga infus yang diberikan kepada orang yang sakit, di mana pada hakikatnya sama dengan makan dan sebagai pengganti makan seseorang pada saat sakit dan tidak bisa makan melalui mulut.
Kedua: memasukkan jarum suntik untuk memberikan makan (tenaga) dan mengeyangkan serta memenuhi syarat dikatakan makan dan minum, apabila ia menggunakannya (memakannya) maka batal puasanya. Walaupun ia tidak makan dan minum secara hakiki memasukkannya melalui mulut, tapi tetap masuk dalam kategori makan dan minum. Adapun suntikan yang tidak mengeyangkan (tidak mempunyai wujud) secara nyata maka tidak membatalkan puasa seseorang . Apakah ia memakannya atau melalui jalan urat-urat atau melalui jalan keringat sampai ia merasakan efeknya di dalam tenggorokannya, maka itu tidak membatalkan puasanya. Karena cara seperti itu tidak termasuk makan dan minum, baik secara hakiki maupun yang semakna dengan makan dan minum.
HIJAMAH (BEKAM)
Berbekam atau hijamah dengan mengeluarkan darah dari beberapa anggota badan itu membatalkan puasa seseorang, tentu pada siang hari ramadhan dan tidak pada malam harinya. Sebagaimana sabda Rasulullah Sallahu ‘Alihi wa Sallam;
أفْطَر الحاجِمُ والمَحْجُومُ
Artinya: Orang yang melakukan bekam dan yang membekami batal puasanya.
Mengeluarkan darah dengan bekam dalam makna ini adalah mengeluarkan darah dengan sengaja melalui kulit atau urat dan yang semakna dengan hal tersebut. Untuk saat ini, melakukan bekam tidak hanya dengan goresan pisau saja, tapi dengan jarum-jarum bekam yang dapat mengeluarkan darah dari tubuh seseorang membatakan puasa. Kecuali orang yang melakukan bekam dalam keadaan darurat untuk keperluan kesehatannya yang tidak bisa tidak hanya dengan cara bekam saja dapat disembuhkan, maka ia boleh melakukannya, tapi ia harus mengganti puasanya pada hari yang lain di luar ramadhan.
Tapi tentu alangkah baiknya seseorang melakukan bekam pada malam hari, karena secara kesehatan akan memberikan keuntungan. Jika dilakukan di siang hari, di samping itu tidak boleh, kalaupun melakukannya maka pada saat itu ada celah dan lubang dalam tubuh dan pada saat orang mandi ini akan menyebabkan terkena virus atau bahkan pingsan. Namun jika dilakukan malam hari, maka rentang waktu sampai pagi hari, luka bekas bekam sudah mengering sehingga tidak apa-apa baginya untuk mandi.
Adapun keluar darah dari hidung karena cuaca panas yang menyebabkan darah panas mengalir dari hidung dan batuk yang mengeluarkan darah dari mulutnya, penyakit bawasir, gusi berdarah, luka sobek, atau tertusuk jarum, maka itu semua tidak menyebabkan batal puasa. Karena tidak termasuk bekam (hijamah) atau yang semakna dengan bekam, dan tidak memberikan bekas yang berarti seperti orang yang melakukan bekam pada umumnya.
MUNTAH DENGAN SENGAJA
Muntah dengan sengaja yaitu mdngeluarkan dengan sengaja makanan atau minuman melalui mulut membatalkan puasa seseorang yang berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi yang berbunyi;
منْ ذَرَعه الْقَيءُ فليس عليه قضاءٌ ومَن استقاء عمداً فلْيَقض
Artinya: Barangsiapa yang muntah maka tidak ada baginya mengqada’ (puasa) dan barangsiapa yang sengaja muntah maka bagi mengqada’ (puasa).
Yang dimaksud dengan “dzara’ahu” di sini adalah ia tidak dengan sengaja, tidak bisa mengendalikan diri untuk muntah. Sedangkan jika sengaja, maka puasanya batal dan wajib ia menggantinya pada hari lain. Sengaja muntah dapat diindikasikan dengan cara perbuatan seperti dengan memijat atau memeras perutnya sendiri agar muntah, atau dengan mencekik sendiri lehernya atau dengan memasukkan jari tangannya ke dalam mulut agar muntah, atau dengan sengaja menyuruh orang lain memijat tengkuknya agar ia muntah. Dan bisa juga dengan tidak perbuatan seperti dengan sengaja mencium bebauan yang mengeluarkan bau tajam dan membuatnya muntah. Atau seperti seseorang sengaja melihat sesuatu yang menjijikkan dan muntah, maka itu juga menyebabkan puasa seseorang batal.
Adapun kalau ia muntah bukan karena sebab-sebab di atas dan disengaja, maka itu tidak membatalkan puasanya. Seperti dengan tanpa sengaja tercekik oleh orang lain atau ia mencium sesuatu yang tidak disengaja dan membuatnya muntah, dan tidak bisa menahannya.
KELUAR DARAH HAID ATAU NIFAS
Setiap perempuan pasti mengalami haid dalam setiap bulannya, waktu dan masanya bermacam-macam dan maksimal 2 minggu, jika melebihi maka itu termasuk darah penyakit (istihadah). dengan keluarnya darah haid dan nifas menyebabkan seorang perempuan yang mejalankan puasa menjadi batal dan ia harus menggantinya pada hari di luar ramadhan. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Sallahu ‘Alahi Wasallamtentang perempuan jika ia haid maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Dan kapan saja ia melihat darah haid dan nifas, maka puasanya menjadi batal, baik pada awal siang atau di akhir siang (Bulan Ramadhan) walapun sebelum terbenam matahari sebentar lagi. Kalau ia merasakan darah (haid dan nifas) hilang atau tidak keluar setelah terbenam matahari, maka puasa diterima.
Hal-hal yang membatalkan puasa di atas harus dapat dihindarkan oleh kaum muslimin kecuali yang secara alami mamang membatalkan puasanya seperti haid dan nifas. Dan haram melakukannya pada puasa wajib seperti bulan ramadhan, puasa kafarat, atau puasa nadzar kecuali dengan udzur yang tidak dapat dihindari seperti melakukan perjalanan (safar), sakit, atau yang sejenisnya. Sedangkan pada puasa sunnah, maka dibolehkan tidak ada beban syari’at padanya, t`pi menyempurnakan puasanya akan lebih baik. Wallahu ‘A’alam bi al-sawab
Posting Komentar