MAKAN SAHUR DAN BERBUKA PUASA


MAKAN SAHUR
Berpuasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. termasuk yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu yang dapat mengeyangkan melalui lubang yang ada di dalam tubuh, tidak hanya sekedar mulut, tapi semua rongga yang memungkinkan bisa dimasukkan barang tertentu. Bahkan secara khusus para ulama’ yang sangat berhati-hati, walaupun barang itu tidak masuk langsung ke perut atau mengeyangkan, asalkan memasukkan barang ke dalam jauf(lubang) dengan sengaja. Sehingga membersihkan telinga dengan memasukkan barang tertentu dapat membatalkan puasa, suntik, dan lain sebagainya.
Karena harus menahan diri dari makan dari semenjak terbit fajar hingga terbenam matahari, tentu secara kebiasan orang akan sangat lapar, apalagi pada siang hari. Untuk itu, ini menjadi ujian sangat berat bagi kaum muslimin. Sehingga sebagian dari mereka yang tidak tahan dengan lapar, terpaksa membatalkan puasa, padahal membatalkan puasa dengan sengaja dosanya sangat besar. Oleh karena itu, agama sebenarnya telah memberikan sebuah aturan dan anjuran bagi kaum muslimin pada saat bulan Ramadhan untuk makan sahur.
Sahur adalah aktivitas makan sesuatu yang dapat mengeyangkan sebelum terbit fajar agar tidak lapar pada siang Hari Ramadhan. Makan Sahur sangat dianjurkan agama dan merupakan sunnah rasul. Dalam sebuah hadis disebutkan:

حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً

Artinya: Diceritakan oleh Adam ibn Abi Iyas, diceritakan oleh ‘Abdul ‘Aziz iibn Suhaib ia berkata: “ saya mendengar Anas ibn Malik radiyallahu ‘anhu berkata, “ Nabi Sallahu ‘alaihi wasallam bersabda, makan sahurlah karena pada sahur terdapat barokah”.
Hadis ini banyak diriwayatkan oleh para imam hadis, terutama dalam kutubusittah, hadis di atas sendiri terdapat dalam Sahih Bukhari.
Makan sahur bukan hanya sekedar makan biasa, ia adalah makan yang dianjurkan karena di dalamnya terdapat barokah. Tapi makan sahur tidak sebagai makan penutup untuk makan malam. Ia menjadi pembeda bagi orang-orang yang melakukan puasa wisol, yaitu tidak makan sahur dan tidak berbuka sama sekali. Ini bisanya dilakukan oleh mereka yang mencari sesuatu yang dilarang dalam agama seperti ilmu kebal, menghilang, dan lain sebagainya. Untuk itu Puasa Ramadhan menjadi pembeda, sehingga kaum muslimin yang melaksanakan Puasa Ramadhan harus makan sahur semampu mungkin ia melakukannya, walapun sekedar meminum seteguk air.
Tapi bagi mereka yang tidak kuat dengan rasa lapar, maka paling tidak wajib untuk makan sahur agar terhindar dari kelaparan yang menyebabkan keterpaksaan untuk membatalkan puasa. Untuk itu malam Ramadhan harus dapat dimanagedengan baik, agar tidak terlewatkan makan sahur. Namun bukan berarti kemudian saat tidak makan sahur, tidak berpuasa. Makan sahur hanya usaha agar tidak lapar saja dan sebagai antisipasi kemungkinan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagi kesehatan seseorang.
Di samping dapat mengelola malam dengan baik, yang terpenting adalah bagaimana makan sahur dilakukan tidak terlalu jauh dengan waktu subuh. Kebiasaan kaum muslimin yang makan sahur sebelum tidur, itu sama saja dengan makan malam. Karena makanan akan diproses dengan cepat saat orang dalam keadaan tidur. Atau setelah bangun tidur, tapi jarak antara Shalat Subuh dengan sahur juga terlalu panjang, ini menyebabkan orang kelaparan juga pada siang harinya. Sesorang masih boleh makan selama belum terbit fajar atau sebelum dikumandangkannya azan subuh. Untuk itu alangkah baiknya makan sahur dilakukan 10 menit atau beberapa menit sebelum adzan, agar orang tetap merasa kenyang sepanjang hari. Rasulullah juga memberikan sebuah praktek, bagaimana seorang muslim makan sahur dan waktu makan sahur:

حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَاصِمٍ قَالَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُمْ تَسَحَّرُوا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قُلْتُ كَمْ بَيْنَهُمَا قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ أَوْ سِتِّينَ يَعْنِي آيَةً

Artinya: Diceritakan oleh ‘Amr ibn ‘Asim, diceritakan oleh Hammam dari Qatadah dari Anas ibn Malik bahwasanya Zaid ibn Tsabit menceritakan bahwa mereka pernah makan sahur dengan Nabi sallahu ‘alaihi wa sallam kemudia mendirikan shalat. kemudian saya bertanya, “ berapa jarak antara keduanya (antara makan sahur dan shalat subuh), anas berkata, “ seukuran lima puluh atau enam puluh yaitu ayat (al-Qur’an)”.
Dalam hadis ini memberikan keterangan tentang kapan makan sahur dilakukan. yaitu kadarnya atau ukurannya antara makan sahur dengan Shalat Subuh adalah seukuran orang membaca ayat suci Al-qur’an 50 atau 60 ayat. jika dihitung dengan hitungan jam, maka tidak lebih dari 10 menit saja. sehingga mengahirkan sahur adalah termasuk sunnah dari nabi dan para sahabat serta ulama-ulama’ terdahulu.
Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin terlalu menta’jilkan sahur dan bahkan ada di anatra mereka karena takut tidak bangun sahur sebelum tidur mereka makan sahur. Apa yang dipraktekkan oleh Nabi paling tidak akan memberikan manfaat bagi mereka yang tidak bisa tidak makan sahur, maka dilakukan lebih dekat dengan waktu subuh.
Di sebagian tempat ada yang menjadikan Imsak sebagai batas orang boleh menyantap makanan sahur, sebagai sebuah kehati-hatian agar orang bisa mempersiapkan diri dari melepas semua makanan dan shalat subuh. apa yang dilakukan tersebut baik, tapi kalaupun orang masih makan waktu Imsak bukan berarti kemudian membatalkan puasanya. Karena seseorang mulai menahan diri dari makan dan minum semenjak terbit fajar atau adzan subuh sudah dikumandangkan. Tapi semua tergantung setiap orang yang menjalankan puasa, karena mereka sendiri yang tahu tentang kekuatan tubuh untuk dapat bertahan selama siang hari Ramadhan. Semoga Allah memberikan kekuatan dan memberikah keberkahan dari makan sahur yang kaum muslimin lakukan selama bulan Ramadhan.

BERBUKA PUASA (IFTOR AL-SOIM)
Di antara hal yang paling menggembirakan sebagaimana dikabarkan Nabi bagi orang berpuasa adalah menyantap hidangan berbuka puasa. Selama beberapa jam menahan diri dari makan dan minum, tentu membuat seseorang sangat lapar dan sangat haus, apalagi pada siang hari. Di Indonesia sendiri orang menahan diri dari makan selama kurang lebih 14 jam lamanya. Setiap negara berbeda, tergantung musim yang mereka miliki. Daratan Amerika dan Eropa mereka menjalankan puasa lebih lama lagi dengan Indonesia, apalagi pada musim panas, siang lebih panjang daripada malam hari. Dalam keadaan sangat lapar dan sangat haus tersebut, Allah memberikan kepuasan tidak terkira pada saat orang berbuka puasa. Bahkan kenikmatan berbuka puasa ini disetarakan dengan nikmatnya seseorang melahat Rabb-nya di akhirat nanti. sebagaimana dalam sebuah hadis.
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ
Artinya: “…bagi orang yang berpuasa mendapatkan dua kenikmatan yaitu kenikmatan saat berbuka puasa dan ketika bertemu dengan Rabb-nya (di akhirat).
Berbuka puasa dilakukan pada saat sudah terbenam matahari, ini ditandai dengan sudah tidak terlihat lagi matahari di sebelaha barat bumi, walaupun warna kemerah-merahan masih ada, atau persisnya waktu berbuka ditandai dengan saat adzan magrib dikumandangkan. Berbeda dengan makan sahur yang dianjurkan untuk mengakhirkannya, sedangkan berbuka puasa dianjurkan untuk mempercepatnya. Artinya bukan berarti sebelum waktu tiba sudah berbuka puasa, tapi pada saat tiba waktu berbuka, maka orang harus melepaskan segala kesibukannya untuk berbuka puasa, paling tidak meminum air. Karena beberapa jam, air dalam tubuh dan energi terkuras dengan kegiatan pada siang harinya, maka diperlukan untuk memulihkan apa yang hilang dari tubuh. maka dengan meminum air dan memakan makanan yang manis sangat dianjurkan untuk memulihkan sedikit tenaga dan dua macam tersebut paling cepat untuk diterima oleh tubuh yang sudah istirahat beberapa jam dari proses makanan.
Tradisi berbuka tentu berbeda-beda pada setiap tempat, karena tergantung kebiasaan di tempat tersebut. Untuk air sendiri, pasti semua orang tahu dan menerimanya secara universal. sedangkan makanan yang lainnya dapat berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Paling terpenting adalah apa yang dikonsumsi saat berbuka adalah sesuatu yang mudah diterima tubuh dan dapat memulihkan tenaga. Kalau di negeri Arab tempat asal muasal Agama Islam, maka kurma adalah makanan pembuka untuk berbuka puasa sebagai hidangan paling praktis memulihkan tenaga. Sebagaimana juga dipraktekkan oleh Nabi dalam hari-hari Ramadhan yang dilewati dengan para sahabat. dalam sebuah hadis disebutkan.

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ سُلَيْمَانَ وَمُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ عَنْ الرَّبَابِ أُمِّ الرَّائِحِ بِنْتِ صُلَيْعٍ عَنْ عَمِّهَا سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى الْمَاءِ فَإِنَّهُ طَهُورٌ
Artinya: Dicerikan oleh Utman ibn Abi Shaibah, dicerikan oleh ‘Abdurrahim ibn Sulaiman dan Muhammad ibn Fudail. dan di ceritakan oleh Abu Bakr ibn Abi Shaibah, diceritakan oleh Muhammad ibn Fudail dari ‘Asim al-Ahwali dari Hafsah binti Sirin dari al-Rabbab Ummu al-Raih binti Sulai’ dari pamannya Salman ibn ‘Amir berkata, “Rasulullah sallauhu ‘Alihi Wasallam bersabda, apabila kamu berbuka puasa salah seorang dari kalian maka hendaklah berbuka dengan kurma, kalau ia tidak menemukan kurma maka ia berbuka dengan air, karena ia suci.
Ini tentu hanya sebatas berbuka puasa saja, dan bukan makan besar. Karena seperti terdahulu bahwa berbuka hanya untuk sebatas mengganti tenaga tubuh agar makanan yang selanjutnya dimakan tidak memberikan beban berat bagi tubuh dalam mencerna. Dan saya kira tidak ada orang yang tidak minum air, karena ia adalah sumber kehidupan. Oleh karena itu paling tidak berbuka puasa terlebih dahulu dengan air. Standar air tentu yang mu’tadil, biasa saja tidak panas dan tidak dingin. Setelah berbuka dengan air, maka selanjutnya terserah orang mau diisi dengan apa saja asalkan halal dan tidak memberikan bahaya bagi tubuh. Karena setelah berbuka puasa seseorang akan menghadapi Shalat Isya’ dan Tarawih, jika terlalu keyang dikhawatirkan sebelum shalat sudah mengantuk dan tidur. Maka makanan betul-betul diseimbangkan, tidak terlalu penuh, paling tidak sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernapas.
Namun sebelum berbuka puasa, setiap orang sebagai tanda syukur atas nikmaat berbuka yang diberikan Allah, maka seyogyanya untuk memanjatkan do’a sebelum berbuka. Do’a secara umum tentunya dengan mengucapkan bismillah, tapi secara khusus sebagai nikmat puasa dalam beberapa hadis nabi diajarkan bagaimana berdo’a sebelum berbuka puasa. Berikut beberapa hadis yang menunjukkan do’a-do’a yang diucapakan:
Pertama, hadis dari Abdullah ibn ‘Umar tentang do’a sebelum berbuka dengan bunyi

إِذَا أَفْطَرَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي

Kedua, hadis yang diriwayatkan Oleh Abdullah Ibn ‘Umar juga dengan bunyi:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Ketiga, Hadis dari Mu’az ibn Zuhrah dengan bunyi:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Do’a berbuka puasa untuk kita hampir semua rata-rata dengan do’a yang diriwayatkan oleh Mu’az ibn Zuhrah dan dengan beberapa tambahan dari para ulama’, walaupun tidak merusak esensi dari do’a tersebut. Tapi dengan apa saja seseorang berdo’a seperti tiga di atas, yang penting adalah seseorang jangan lupa untuk mengucapkan bismillahsebelum berbuka dan dilanjutkkan dengan do’a yang ia mampu untuk membacanya atau mengingatnya. Kalaupun tidak bisa dengan menggunakan Bahasa Arab maka dengan bahasa yang ia mengerti, karena Allah maha tahu segala apa yang diucapkan oleh hambanya. Wa’llahu A’alam bi al-Shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama