SHALAT TARAWIH


Kedatangan Bulan Ramadhan berarti banyak amalan-amalan yang harus dilakukan pada bulan ini, di mana sangat dianjurkan untuk melakukannnya, diantaranya adalah shalat tarawih. Shalat tarawih pada dasarnya adalah qiyam al-lail, yaitu menghidupkan malam Bulan Ramadhan dengan shalat sunnah yang sudah ditentukan. Dinamakan dengan tarawih karena shalat ini sebenarnya adalah shalat yang dilakukan dengan santai dan banyak beristirahat, yaitu beristirahat setiap empat raka’at dari shalat yang dilakukan dan dengan dua salam, bukan satu salam. karena sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah bahwa “sholatu al-lail matsa-matsa” (shalat malam itu dua-dua), ini artinya shalat sunnah untuk menghidupkan malam Bulan Ramadhan dengan dua raka’at-dua raka’at, bukan empat raka’at dan satu kali salam.
Shalat tarawih atau qiyam al-lail ramadhan ini adalah shalat sunnah muakkadah yang memang selalu dilakukan oleh nabi, meskipun pada masa Nabi, beliu hanya dua malam saja melakukan qiyam al-laildengan berjama’ah bersama para sahabat. Beliau lakukan hal tersebut karena khawatir qiyam al-lail/tarawih dianggap wajib oleh kaum muslimin pada Bulan Ramadhan dan ini akan memberatkan mereka untuk melakukanya. Karena sebagaimana diketahui bahwa qiyam al-lailyang dilakukan Nabi adalah menghidupkan malam Bulan Ramadhan sepanjang malam dan bahkan hampir menjelang fajar. Oleh karena itu, akan sangat memberatkan bagi ummatnya yang kualitas keimanan kepada Allah tidak sama dengan beliau dan para sahabat terpilih.
Lamanya qiyam al-lail/tarwih yang dilakukan Nabi bukan berarti kemudian jumlah raka’at beliau berpuluh-puluh. Lamanya qiyam al-lail karena bacaan pada setiap raka’at dari al-Qur’an sangat banyak. Bahkan dalam setiap shalat malam yang dilakukan dapat menghatamkan al-Qur’an. Sehingga diceritakan sampai kaki beliau bengkak, dan pada saat ditanya, “kenapa melakukannya sampai seperti itu”. beliau hanya menjawab, “apakah aku tidak senang menajadi hamba yang bersyukur”. Apa yang dilakukan nabi juga diikuti oleh para sahabat dan sampai para ulama’-ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i melakuknnya dengan menghatamkan al-Qur’an setiap malamnya dan semuanya dilakukan dalam shalat malamnya di Bulan Ramadhan.
Shalat tarawih dilakukan pada Bulan Ramadhan setelah shalat isya’ dan rawatibnya. Sedangkan jumlahnya, sebagaimana dalam hadis ada dua versi. pertama dengan 8 raka’at dan 3 raka’at witir serta 20 raka’at dan 1 raka’at witir. Sebagaimana dalam hadis berikut yang semuanya diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah:
حدَّثَنَا 
إِسْحَاقُ بْنُ عِيسَى قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ أَنَّ أَبَا سَلَمَةَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَهُ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ طُولِهِنَّ وَحُسْنِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا فَقَالَتْ عَائِشَةُ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ عَيْنِي تَنَامُ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Artinya: Diceritakan oleh Ishaq ibn Isa, saya diceritakan oleh Malik dari Sa’id ibn Abi Sa’id al-Maqbury. Bahwasanya Abu Salamah ibn Abdurrahman memberitakan, saya bertanya kepada ‘Aisyah, bagaimana shalat Rasulullah Shallalu ‘Alaihi wa Sallam dalam Bulann Ramadhan?. Beliau menjawab tidaklah melebihi dalam Bulan Ramadhan maupun pada Bulan lainnya lebih dari 21 raka’at, beliau shalat empat raka’at maka jangan tanya bagaomana panjangnya dan baiknya, kemudian beliau shlat empat raka’at, maka jangan tanya bagaimana baiknya dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga raka’at. Kemudian ‘Aisyah berkata, “ saya katakan wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum engkau melakukan witir”. beliau berkata, “ wahai ‘Aisyah sesunggunya mataku tertidur tapi hati saya tidak tidur”.

Begitu juga sebuah hadis dalam kitab Imam Muslim

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا اضْطَجَعَ عَلَى شِقِّهِ الْأَيْمَنِ حَتَّى يَأْتِيَهُ الْمُؤَذِّنُ فَيُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ

Artinya: Diceritakan oleh Yahya ibn Yahya, aku membaca atas Malik dari ibn Shihab dari ‘Urwah dari ‘Aisyah bahwasanya Rasulullah sallahu ‘walihi wasallam shalat malam 21 raka’at, beliau witir dengan satu raka’at. Apabila telah selesai dari shlat beliau tidur bersandar di atas lengannya yang kanan sampai muazzin mendatanginya, kemudian beliau shalat dua raka’at dengan ringan.
Dua hadis ini memberikan petunjuk bahwa jumlah raka’at dari qiyam lail ramadhan maupun pada luar Bulan Ramadhan tidak melebihi dari 21 raka’at. Artinya 20 raka’at qiyam al-lailnya dan 1(satu) raka’at witirnya. Maka selama orang melakukan qiyam al-lail ramadhan di bawah raka’at sebagaimana petunjuk nabi, maka dia telah menghidupkan malam. dan sebagaimana anjuran nabi pada shalat tarawih, sesuai dengan petunjuk maka setiap dua kali salam, seseorang harus beristirahat, karena tarawih itu sendiri berarti istirahat. Jika seseorang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at maka ia bersitirahat tiga kali. Dua kali untuk shalat qiyam al-lailnya dan 3 raka’at terakhir dengan witirnya. Sedangkan bagi mereka yang melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at maka ia harus beristirahat 5 kali pada setiap empat raka’at dengan dua salam, disertai dengan witir satu raka’at.
Shalat tarawih/qiyam al-lail pada Bulan Ramadhan dalam petunjuk Nabi, beliau hanya menjalankan shalat ini dengan berjama’ah hanya dua kali saja. Selanjutnya beliau dan para sahabat melaksanakan di rumah masing-masing. Ini dilakukan oleh Nabi karena khawatir akan memberatkan ummatnya dan menjadikanya sebagai wajib. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana shalat tarawih dilakukan kemudian dengan berjama’ah. Ada beberapa hadis yang memberikan petunjuk akan disyari’atkannya shalat tarawih dengan berjama’ah, sebagaimana hadis dari Abu dzar;

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَاصِمٍ عَنْ دَاوُدَ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةُ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ سِتٍّ وَعِشْرِينَ قَامَ بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ أَنْ يَذْهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ قَالَ لَا إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الَّتِي تَلِيهَا لَمْ يَقُمْ بِنَا فَلَمَّا أَنْ كَانَتْ لَيْلَةُ ثَمَانٍ وَعِشْرِينَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهْلَهُ وَاجْتَمَعَ لَهُ النَّاسُ فَصَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَادَ يَفُوتُنَا الْفَلَاحُ قَالَ قُلْتُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا يَا ابْنَ أَخِي شَيْئًا مِنْ الشَّهْرِ
Artinya: Diceritakan oleh ‘Ali ibn ‘Asim dari Dawud dari al-Walid ibn ‘Abdurrahman dari Jubair ibn Nufair dari Abu Dzar berkata, “ kami Puasa Ramadhan bersama Nabi Sallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi beliau tidak mendirikan (menghidupkan malam) apapun dengan kami, sampai pada malam ke 24 kemudian Rasulullah mendirikan (shalat) bersama kami sampai habis sepertiga malam. Kemudian pada malam selanjutnya tidak mendirikan dengan kami, dan saat malam ke 26, Rasulullah mendirikan( shalat malam) bersama kami samapai habis separuh malam”. Saya berkata, “wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengimami shalat sunnah dari sisa malam ini”. Beliau berkata, “tidak, sesungguhnya seseorang jika mendirikan (shalat) bersama imam sampai selesai, dihitung baginya qiyam al-lail”. kemudian malam selanjutnya beliau tidak mendirikan (shalat) bersama kami. dan manakala malam ke 28 Rasulullah mengumpulkan keluarganua dan yang lainnya juga ikut berkumpul dan shalat bersama kami sampai hampir luput dari kami ‘al-falah’. saya berkata, “apakah al-falah”. beliau bersabda, “ sahur”. kemudian tidak pernah mendirikan lagi bersama kami wahai anak saudaraku sesuatu pun dari bulan (Ramadhan).
Ini salah satu hadis yang menerangkan tentang kesyari’atannya melakukan shalat tarawih dengan berjama’ah. Begitu juga dengan cerita seseorang yang keluar ke masjid melakukan shalat tarawih /qiyam al-lail kemudian orang-orang membicarakannya dan ikut shalat bersama orang tersebut. Kemudian pada hari kedua Rasulullah keluar ke masjid untuk memimpin jama’ah, kaum muslimin semakin banyak keluar ikut berjama’ah. Pada malam yang ketika jama’ah semakin bertambah banyak ikut melaksanakan shalat dan membuat masjid penuh sesak. Pada malam yang keempat Nabi tidak keluar ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih /qiyam al-lailsampai waktu fajar/subuh tiba. Selesai waktu subuh kemudian Rasulullah sallahu ‘alaihi wasallamberkhutbah memberitahu perihal beliau tidak keluar pada malam yang keempat yaitu beliau takut kalau shalat tarawih/qiyam al-lail dijadikan wajib dan membuat ummat menjadi tidak sanggup melakukannya pada malam-malam ramahdan berikutnya.
Dalam beberapa kurun waktu kemudian, karena tidak ada ummat yang terlihat melakukan shalat tarawih berjama’ah, maka Umar ibn Khattab mengumpulkan kaum muslimin untuk melaksanakan shalat tarawih dengan berjama’ah dan mengatakan, “senikmat-nikmat bid’ah adalah ini”. Maksudnya adalah shalat tarawih dengan berjama’ah, tapi kalimat bid’ah yang diucapkan oleh Umar ibn Khattab hanya sebatas dalam pengertian lugawysaja, karena tidak pernah dilakukan selama ini, walapun dulu pernah dilakukan oleh Rasulullah. Jadi sebenarnya ada asal dari syari’at tentang pelaksanaannya dengan berjama’ah, dan bukan tidak pernah dilakukan sama sekali. Rasulullah sangat menganjurkannya, dan bahkan orang yang dapat selesai melaksanakan shalat tarawih/qiyam al-lail dengan imam, maka ia telah dicatat oleh Allah melaksanakan atau menghidupkan malam ramadhan.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana saat ini kita dapat menghidupkan malam ramadhan dengan banyak beribadah. Akan sangat baik bila malam-malam ramadhan diisi dengan qiyam al-lail sebagaimana para ulama’ terdahulu melakukannya dan menghatamkan al-Qur’an dalam shalatnya. Dengan keterbatasan kaum muslimin yang menghafal al-Qur’an, maka semestinya dilakukan dengan berjama’ah dengan diimami oleh imam yang sudah hafal al-Qur’an 30 juz. Sehingga apa yang kita lakukan betul-betul dapat dikatakan sebagai menghidupkan malam Bulan Ramadhan. Dan tak terkecuali hari 10 terakhir dari ramadhan lebih dapat ditingkatkan dari malam-malam sebelumnya, karena pada malam sepeuluh terakhir ada satu malam yang lebih baik dari seribu bula yaitu lailah al-qadr.
Semoga tentunya kita menjadi pribadi yang terdidik dengan qiyam al-lail yang dilakukan, sehingga menjadi perilaku di luar shalat dan menjadi kebiasaan di luar Bulan Ramadhan dan menjadikan kita benar-benar orang yang bertaqwa kepada Allah. Wallahu a’lam bi al-shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama