I'TIKAF


Sepuluh terakhir dari ramadhan adalah sepuluh terakhir yang sangat bermakna, di mana kaum muslimin yang dapat menyelesaikan puasa dengan sempurna, karena keimanan dan ketakwaan kepada Allah maka dijanjikan terbebas dari api neraka.
Ramadhan memang dianjurkan untuk melakukan banyak amal ibadah, terutama qiyamul lail. Apalagi pada sepuluh terakhir ramadhan, sangat dianjurkan untuk bermujahadah sekuat tenaga untuk dapat melakukan ibadah sebanyak-banyaknya, jika mempunyai kemampuan maka sepanjang malam dihabiskan untuk melakukan ibadah, sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, dan para ulama’ terdahulu.
Sangat wajar apabila kaum muslimin dianjurkan untuk mujahadah dalam ibdah pada sepuluh terakhir dari bulan ramadhan, karena di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan dan tidak ditentukan pada malam ke berapa atau pada hari ganjil atau genap. Semuanya menjadi misteri Allah bagi hambanya yang melaksanakan ibadah di sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan. Untuk itu, kaum muslimin dianjurkan untuk berdiam diri di dalam masjid agar tetap terjaga dalam ibadah kepada Allah. Kalau tidak melakukan shalat, maka berzikir dan membaca al-Qur’an. Kegitan berdiam diri selama sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan disebut dengan i’ktikaf (berdiam diri). Tidak keluar dari masjid selama sepuluh terakhir kecuali ada kepentingan yang sangat mendesak.
I’tikaf secara bahasa bermakna berdiam diri di dalam masjid untuk melakukan ibadah selama sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan secara khusus dan secara umum setiap orang masuk dan berdiam diri di masjid dapat melakukan i’tikaf. Secara khusus orang yang berada di masjid dalam waktu tertentu dan berdiam diri tidak serta merta dikatakan sebagai orang yang melakukan i’tikaf, ia harus berniat untuk melakukan i’tikaf. Sehingga i’tikaf sendiri mempunyai syarat dan rukun ada empat yaitu berdiam diri di masjid, niat, orang yang beri’tikaf, dan tempat i’tikaf. Sehingga orang yang ingin beri’tikaf, saat masuk masjid harus sudah berniat untuk melakukan i’tikaf. Sehingga berdiam diri yang dilakukan tidak sia-sia, tapi bernilai ibadah di sisi Allah.
I’tikaf pada dasarrnya dapat dilakukan kapan saja, tidak hanya pada Bulan Ramadhan. saat orang berada dalam masjid dalam waktu yang lama, alangkah baiknya ia berniat i’tikaf. Nabi sendiri pernah melakukan i’tikafpada sepuluh pertama dari Bulan Syawwal, akan tetapi beliau sangat bersungguh-sungguh pada Bulan Ramadhan, dan bahkan beliau melakukannya dari awal ramadhan untuk menghidupkan malam. Akan tetapi yang lebih afdholdan selalu dilakukan Nabi sampai beliau wafat adalah beri’tikaf pada sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan.
Sedangkan tempa dipersyaratkan harus dilakukan di masjid, karena dengan di masjid seseorang dapat melakukan ibadah secara khusus kepada Allah. Masjid adalah rumah Allah (baitullah), di dalamnya seorang hamba dapat melakukan ibadah dan tempat do’a diijabah oleh Allah. Saat kita mencitai sesuatu maka paling tidak tempat yang paling disukai adalah pilihan untuk meminta dan bermunajat kepadanya. Para ulama’ sendiri menyaratkan harus dilakukan di masjid, tapi di antara mereka ada yang mesnyaratkan masjid jami’, semua masjid, dan ada yang mengkhususkan masjid nabawai saja. Imam Malik, Imam Syaf’I dan Daud membolehkan seseorang melakukan i’tikaf di masjid mana saja, selama tempat ibadah itu disebut sebagai masjid walaupun tidak dipakai untuk berjama’ah atau shalat jum’at. Tapi ada juga yang tidak membolehkannya kecuali di masjid jami’ , seperti al-Zuhri,Hakam, Hammad, dan pendapat pertama dari ‘Atho’. Sedangkan Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishak, dan Abu Tsauri menyatakan bahwa tidak boleh dilakukan i’tikaf kecuali pada masjid yang didirikan padanya jama’ah, artinya kalau pada suatu masjid ada mu’azzin dan imam yang mendidrikan shalat, maka bisa dijadikan untuk i’tikaf. Pendapat yang lebih ekstrim adalah pendapat terakhir dari Atho’ bahwa i’tikaf tidak bisa dilakukan kecuali di Masjid Haram dan Masjid Nabawy. dan yang terakhir berpendapat bahwa i’tikaf hanya dapat dilakukan di Masjid Nabawy saja sebagaimana pendapat dari Sa’id ibn al-Musyyab.
Terlepas dari semua pendapat yang ada, umat Islam saat ini sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di perkotaan, tapi di sudut-sudut pedesaan dan terpencil. Jadi yang lebih utama adalah, selama tempat ibdah yang dipakai oleh masyarakat dipakai untuk mendirikan shalat jama’ah apalagi mendirikan shalat jum’at, maka dapat dipergunakan untuk i’tikaf. Pendapat harus di tiga masjid yaitu, Masjidil Haram, Masjid Nabawy, dan Masjid al-Aqsha untuk zaman saat ini tentu tidak bisa. ajaran agama adalah ajaran yang universal dan semua masjid dan tempat didirikannya shalat lima waktu adalah rumah Allah dan pantas disebut sebagai masjid dan layak untuk dipakai beri’tikaf dan bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala.
Lalu apakah orang yang beri’tikaf dan berdiam diri hanya sekedar diam di masjid saja sudah dapat dikatakan beribadah atau tidak?. Tentu berdiam diri di masjid tidak hanya sekedar berdiam diri tanpa arti dan tidak ada kegiatan seperti hanya tidur saja atau berbincang-bincang saja. Ada beberapa kegaitan dan amalan-amalan yang harus dilakukan oleh seseorang saat ia berada di dalam masjid saat berit’kaf pada sepuluh terakhir dari Bulan Ramadhan.
Pertama, sebagaimana diriwatkan oleh ‘Aisyah dari Ali ibn Abi Thalib bahwa dianjurkan untuk shalat, berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an. Ini adalah Mazhab Imam Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah. Kedua, dari riwayat Ali ibn Abi Thalib dari Sa’id ibn Jubair, al-Hasan, dan al-Nakha’i serta riwayat dari Ahmad dan Ibn Wahb bahwa orang boleh melakukan apa saja yang bernilai ibadah dan taqarrub kepada Allah bagaimana pun bentuknya, walaupun mengunjungi orang yang sakit atau menghadiri janazah pada saat i’tikaf.
Yang terpenting adalah bagaimana hari-hari sepuluh terakhir Bulan Ramadhan diisi dengan ibadah kepada Allah dan menjauhi segala bentuk larangan dan hal yang terlarang. seperti sepasang suami istri walaupun halal, maka tidak boleh melakukan hubungan badan di masjid pada saat i’tikaf. Karena beberapa tafsiran juga mengenai hadis nabi mengencangkan sarungnya, yaitu mejauhi istrinya untuk berhubungan badan pada sepuluh terakhir dari ramadhan.
Inti dari i’tikaf yang dilakukan adalah keinginan akan betemu dengan satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Maka ibadah harus dapat dimaskimalkan dengan ibadah sholat, zikir, dan membaca al-Qur’an, sedangkan ibadah-ibadah dan perbuatan baik lainnya dapat dilakukan pada pagi atau siang hari. Misteri lailatul qadr tersebut jangan sampai terlewatkan dengan aktivitas tidur yang berkepanjangan di malam hari atau bergadang dengan tanpa ada tujuan yang bernilai ibadah.
Jadi, i’tikaf adalah sebuah sarana yang baik dan dianjurkan untuk bisa mendapatkan malam lailatul qadar. Kita tidak menentukan atau menebak-nebak pada malam tertentu, semuanya diserahkan kepada Allah, karena Allah lah yang akan mengehendaki siapa hambanya yang layak mendapatkan lailatul qadar atau tidak. Wallau ‘a’lam bi al-shawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama