PENDIDIKAN TAWURAN


Telah banyak media massa memberitakan bagaimana perilaku anak-anak bangsa kelas menengah pertama, menegah atas maupun menegah kejuruan di beberapa kota besar memperlihatkan aksi tawuran massa lengkap dengan seragam sekolah melekat di badan. Siapa sangka mereka adalah anak-anak remaja yang akan menjadi generasi penerus bangsa ini.

Aksi tawuran dilakukan di tempat-tempat publik, di mana orang berkeliaran dan berkerumunan. mereka tidak memperdulikan akan ketenangan orang lain yang juga menggunakan fasilitas tersebut. Mereka asyik saling lempar baru, lempar kayu, mengayunkan sabuk berkepala gear, dan sebagian memperlihatkan kegagahberanian mereka dengan mengacungkan senjata tajam, seakan-akan ingin berkata, “ayo..siapa berani, saya bunuh”.
Anehnya, aksi tawuran mereka sering kali terjadi dan bahkan turun temurun sampai betahun-tahun lamanya antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Apakah ada dendam kesumat?, atau apakah memang mereka diajarkan seperti itu untuk mengintimidasi sekolah lainnya?. Kalau permusuhan antar kampung terus menerus terjadi karena dendam kesumat masih bisa dikatakan wajar. Karena tidak ada kepuasan antara satu kelaurga dengan keluarga lainnya yang menjadi korban. Taruh saja seperti peperangan antar suku di Papua, sangat susah untuk mendamaikan, kalapun damai, suatu saat bisa saja meledak lagi karena beberapa alasan, seperti dendam tidak puas karena anggota keluarga mereka terluka atau terbunuh. Dari satu keturunan sampai keturanan lainnya, cerita terus dapat berkembang yang menyebabkan kembali terjadi peperangan. Tapi lain halnya dengan aksi tawuran para pelajar, mereka bukanlah satu suku dengan satu aliran darah dan kekeluargaan. Setiap angkatan berubah-ubah dan dari keluarga yang berbeda. Kalau permusuhan terjadi antar kakak tingkat dengan adik tingkat masih wajar, tapi kalau satu sekolah dengan sekolah lainnya sangat tidak wajar. Bisa saja satu angkatan bermusuhan, tapi dalam jangka waktu 3 tahun mereka akan terpisahkan dan diganti dengan siswa-siswa baru yang bukan anggota keluarga mereka.
Lalu kenapa aksi tawuran dapat terjadi secara berkala antar satu sekolah dan lainnya, berlarut-larut tanpa ada sebuah penyelesaian yang nyata. Maka bisa saja ada kemungkinan sikap dan aksi itu sudah ditanamkan kepada mereka saat masuk ke sekolah tersebut dan melakukan doktrinisasi kebencian terhadap sekolah lainnya. Sikap ini bisa saja ditanamkan oleh kakak kelas saat mereka masuk sekolah pada masa orientasi sekolah (MOS). Pengalaman-pengalaman kakak kelas menjadi suguhan membangkitkan semangat akan kebangggaan terhadap sekolahnya masing-masing dan mendoktrin bahwa sekolah lain telah melakukan ini dan itu kepada sekolahnya. Sehingga sering masa orientasi sekolah tidak mengarah pada upaya pengenalan akan sekolah dan kegiatan-kegiatan positif sekolah, tapi kegiatan-kegiatan yang mengarah pada tindak kekerasan dan penganiayaan, baik antar kakak kelas dengan adik kelas atau upaya mengorganisir dan menambah jumlah personil untuk menganiya siswa sekolah lain.
Atau aksi tawuran ini adalah sebuah aksi terorganisir yang dilakukan oleh para guru dengan menanamkan nilai-nilai permusuhan dengan sekolah lainnya. Karena dendam biasanya terjadi antar orang tertentu dalam kurun waktu yang sangat panjang, tidak seperti mereka siswa yang selalu berganti setiap tahunnya. Sedangkan para guru, bisa dapat bertahan berpuluh-puluh tahun lamanya dan kemungkinan yang terjadi adalah dendam antar guru sekolah satu dengan sekolah lainnya. Permusuhan tersebut bisa saja muncul akibat persaingan antara sekolah yang bertetangga dalam mencari siswa sebanyak-banyaknya. Satu sekolah melakukan intimidasi kepada sekolah lainnya agar sekolah tersebut tidak diminati oleh masyarakat atau siswa.
Permusuhan antar guru satu sekolah dan sekolah lainnya memang tidak terang-terangan. Melalui siswa, mereka menanamkan rasa benci dan permusuhan dengan sekolah lainnya. Ini dapat dilakukan secara tidak sadar saat memberikan mata pelajaran dengan  mencontohkan sekolah lainnya, terutama keburukan-keburukannya.
Inilah yang saya sebut sebagai pendidikan tawuran, dengan menanamkan rasa permusuhan, kebencian, kekhawatiran dan lain sebagainya dalam proses belajar mengajar di kelas. Tawuran pelajar yang terjadi bukanlah tawuran antar pelajar “ecek-ecek”, tapi mereka mempunyai status sebagai pelajar dengan sekolah rintisan bertaraf internasional (RSBI). Di mana orientasi belajar-mengajar yang dikembangkan tentu berorientasi masa depan. Siswa yang bersekolah pun tidak sembarangan, mereka diseleksi dengan ketat dan dengan prosedur rumit. Begitu juga dengan guru yang mengajar, mereka adalah orang-orang luar biasa dalam bidang pengetahuan dan disiplin masing-masing. Tapi bukan ahli dalam bidang permusuhan dan perkelahian.
Peristiwa yang terus berlanjut turun temurun seakan-akan ditanam dan dibungkus dengan rapi dari satu angkatan ke angkatan lainnya. Mencari benih-benih peserta didik yang berani maju ke depan untuk berkelahi tanpa harus takut mati. Benda-benda pencabut nyawa pun seakan-akan diberikan ruang aman dalam loker-lekor sekolah dan peserta didik, tanpa pernah ada teguran dan sangsi, padahal alat-alat tersebut sangat jelas dan dapat dilihat oleh mereka yang berada di lingkungan sekolah. Atau tas-tas peserta didik yang berisikan alat pembunuh dibawa juga ke dalam kelas dengan aman dan tanpa rasa khawatir dirazia oleh guru. Kalaupun ada razia tas di sekolah hanya sebatas razia handphone dengan konten-konten porno atau obat-obatan yang tergolong ganja, sabu, dan lain sebagainya.
Atau ada anggapan bahwa tas-tas dengan isi senjata tajam tersebut ditaruh di luar sekolah, saat terjadi tawuran mereka mengambil senjata-senjata tersebut. Anggapan ini bisa masuk akal dan bisa juga sangat tidak masuk akal. Lihat saja, tawuran yang terjadi antara satu sekolah yang saling bertetangga dan bahkan temboknya berdampingan. Siswa-siswa yang terlibat juga keluar dari gerbang sekolah dengan tas yang di dalamnya senjata tajam. Bagaimana mungkin mereka menaruh di luar sekolah, di mana lingkungan tersebut menjadi areal publik, tentu orang-orang akan tahu persis, karena seringnya terjadi tawuran. Atau mungkin sekolah menyediakan tempat khusus di luar sekolah untuk menyimpan barang-barang tersebut. Siswa dengan mudahnya mendapatkan senjata tajam, atau mendapatkan kayu-kayu panjang, atau gear-gear sepeda motor.
Ini perlu menjadi perhatian khusus, kalau memang tawuran terjadi hanya begitu saja karena ada saling ejek antar siswa, maka tidak mungkin bahan-bahan lengkap tawuran begitu dengan cepat dipegang oleh siswa. Kalau sekolah dapat melakukan razia kontent porno pada handphone siswa, kenapa barang-barang yang dapat terlihat jelas dengan mata kepala tidak dapat dirazia?. Lagi sekali mungkinkan sekolah mempunyai kepentingan atau memang sekolah telah menanamkan pendidikan permusuhan dan kebencian berupa tawuran dalam proses pendidikan kepada siswa. Wallahu A’alam bi al-Shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama