DI BALIK PERUBAHAN PKn MENJADI PPKn

Semenjak tumbang orde baru, banyak hal yang berubah dalam tatanan bermasyarakat dan bernegara, bahkan pendidikan yang menajadi sendi pengetahuan cara bermasyarakat dan bernegara pun dirubah. Segala bentuk program pada masa orde baru dianggap tidak baik dan hanya berorientasi pada penghidmatan kepada pemimpin, serta melahirkan budak-budak dari masyarakat sendiri. Dunia pendidikan berubah 90 %, dari kebijakan, regulasi, pelajaran, kurikulum dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Yang sangat mencolok adalah pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) yang selama ini dalam anggapan mereka yang menolak orde baru dengan segala program-programnya menganggap bahwa PPKn adalah wadah pemerintah orde baru untuk menanamkan ketundukan masyarakat kepada pemimpin dan tidak boleh menentang pemimpin serta menanamkan jiwa-jiwa budak kepada peserta didik. Akhirnya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan diganti dengan pendidikan kewarganegaraan (PKn).

Pancasila dibuang begitu saja karena ideologi pancasila tidak jelas dan tidak bisa ditafsirkan, hanya mereka yang menjadi pemimpin saja bisa menafsirkan pancasila. Dan pancasila inilah menjadi biang keladi dari keotoriteran pemerintah orde baru dan menginjak-injak hak masyarakat, walaupun masyarakat terasa makmur. Sifat-sifat itu telah dikembangkan di sekolah-sekolah mulai tingkat dasar, untuk itu agar dapat memutus apa yang telah dikembangkan pada masa orde baru, maka pendidikan pancasila dan kewarganegaran harus diganti dengan pendidikan kewarganegaraan saja. Masyarakat tidak membutuhkan nilai-nilai pancasila, yang dibutuhkan hanya nilai-nilai kewarganegaraan sebagai pemersatu rakyat Indonesia yang beragam dengan suku dan bahasa.
Pendidikan kewarganegaraan (PKn) diperkenalkan kemudian setelah era reformasi. Semangat pancasila dalam sekejap hancur dan hilang di jiwa-jiwa masyarakat Indonesia, di sana sini terjadi kekacauan yang tidak terkendali, hasilnya Timor-Timur lepas dari negara kesatuan Republik Indonesia. Itu disebabkan bukan karena kurangnya penanaman nilai pancasila, tapi kurangnya sifat rasa memiliki satu negara, satu tanah air, satu bahasa, satu bangsa, yang terangkum dalam kewarganegaraan atau kewiraan.
Para praktisi pendidikan kemudian meramu dengan sebaik mungkin materi-materi yang menjadi disiplin kewarganegaraan agar siswa dapat dengan mudah meresapi dan merasakan dalam diri mereka rasa bernegara satu republik Indonesia. Walaupun beberpa kejadian-kejadian besar melanda bangsa indonesia, mulai dari kasus trisakti, kerusuhan etnis cina 1998, kerusuhan Ambon, kerusuhan poso, kerusuhan sampit, dan berbagai kerusuhan lainnya yang berbau etnis dan agama. Tapi praktisi pendidikan tidak menyerah dan terus memperbaiki materi pendidikan kewarganegaraan mulai dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi. Tidak hanya sekedar itu untuk menambah kekuatan posisi pendidikan kewarganegaraan dalam membentuk jiwa-jiwa anak bangsa, diperkenalkanlah pendidikan karakter sebagai penyeimbang dan pembentuk karakter siswa dalam hubungannya dengan orang lain dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan karakter yang digalangkan ternyata belum cukup ampuh, walaupun baru berjalan beberapa tahun lamanya. Beberapa kejadian perilaku amoral dan penyelewengan semakin banyak terjadi di kalangan masyarakat terutama para remaja pada tingkat sekolah pertama dan menengah dan bahkan perguruan tinggi. Setiap hari di layar televisi maupun di koran diberitakan tentang kekerasan yang dilakukan rakyat bangsa ini, para pelajar melakukan tawuran di areal-areal publik yang mengganggu ketertiban umum. Mereka tidak perduli dengan rasa aman orang lain, yang terpenting mereka puas dengan apa yang dilakukan. Dari tawuran ke tawuran yang berlangsung sejak lama memang tidak memakan korban, tapi beberapa minggu yang lalu sudah dua nyawa yang melayang dengan sia-sia akibat tawuran dan sabetan celurit.
Mungkin dengan kasus-kasus tawuran yang memakan korban dan segala bentuk kekerasan di negeri ini menjadi sebuah gambaran output pendidikan yang tidak berkualitas dari segi pembentukan softskill, kalau hardsklil mungkin dapat tercapai dengan melihat hasil ujian atau raport.
Perdebatan pun mulai terjadi, apa yang menyebabkan kekerasan sering terjadi pada peserta didik?. Padahal di sekolah mereka sudah diajarkann pendidikan agama, pendidikan karakter, dan pendidikan kewarganegaraan. Belum lagi dengan pengetatan tata tertib sekolah yang dapat membentuk disiplin peserta didik, peluang waktu dipersempit untuk hura-hura dan melakukan hal yang sia-sia dengan sistem full day school. Tapi semunya belum dapat membentuk peserta didik dan out put pendidikan yang berkarakter seperti yang diamanahkan oleh pendidiri bangsa ini, sebagai manusia dan rakyat yang berbahasa dan berbangsa satu dalam kesatuan negara kesatuan Republik Indonesia.
Dari perdebatan dan perbincangan yang terjadi di elit penentu kebijakan pendidikan ini menganggap bahwa nilai-nilai pancasila dalam diri peserta didik sudah mulai luntur, maka perlu menghadirkan kembali nilai pancasila dari sila pertama sampai dengan sila kelima. Maka perubahan pelajaran pendiidkan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) yang dulu diganti dengan Pendidikan kewarganegaraan (PKn) sekarang akan dirubah lagi menjadi pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn).
Ruh dari kewarganegaraan tidak ada sama sekali dalam pembentukan kepribadian Indonesia yang tulen. Dengan pancasila sebagai ideologi negara harus ditanamkan dan diberikan pemahaman kepada peserta didik agar dapat menjiwai dan meresapi makna dan pesan dari pancasila. karena pancasila merupakan dasar negara yang tidak bisa terlepaskan dari kehidupan berbangsa, di mana hanya Indonesia saja yang mempunyai ideologi negara sendiri terlepas dari ideologi-ideologi agama yang ada. Kalau negara lain masih condong kepada ideologi agama tertentu dan memaksakan ideologi tersebut kepada rakyatnya. Tapi Indonesia dengan keberagaman budaya, bahasa, suku, etnis, dan agama, maka ideologi pancasila menjadi wadah pemersatu bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga menghadirkan kembali Pancasila di sekolah menjadi keharusan untuk memberikan pemahaman akan kemultikulturan rakyat bangsa Indonesia.
Akan tetapi kehadiran kembali pendidikan pancasila dan kewarganegaraan bukan hanya sekedar pergantian nama saja, namun isi tetap saja. Ini tentu tidak akan merubah apa-apa dari perilaku peserta didik yang selama ini ditunjukkan oleh mereka berupa perilaku anarkis dengan tawuran, tidak menghargai pemimpin bangsa ini, dan semua masalah diselesaikan dengan pengerusakan fasilitas negara dan fasilitas umum. Pelajaran Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan harus didesain sebaik mungkin agar bisa menjadi ideologi dalam bernegara dalam jiwa peserta didika, mulai dari taman kanak-kanak sampai pada perguruan tinggi. Desain pelajaran paling tidak seperti apa yang telah diterapkan pada masa orde baru, tentu dengan berbagai perubahan pada bagian-bagian tertentu agar tidak menanamkan pemahaman otoriter dalam diri peserta didik.
Sebelum tumbangnya orde baru, hampir semua siswa dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi harus mengikuti penataran pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4). Pelatihan P4 ini menjadi barometer setiap siswa akan pemahaman mereka akan pancasila dan jiwa nasionalisme mereka terhadap bangsa Indonesia. Bahkan sebagian sekolah menjadikannya sebagai standar kelulusan untuk bisa masuk ke sekolah tertentu. Ini mungkin dapat ditiru pada pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewawrganegaraan yang akan dihadirkan kembali, agar peserta didik dapat dibentuk jiwa nasionalisme mereka akan satu bahasa, satu negara, satu bangsa, dan NKRI harga mati. Sehingga peristiwa pengeboman di beberapa tempat tidak terjadi lagi. Aksi demosntrasi yang merusak fasilitas umum tidak terjadi lagi dan tawuran yang dapat menghilangkan nyawa tidak akan terlihat lagi di negeri tercinta ini.
Besar harapan tentunya rakyat bangsa ini bisa bersatu dan bangga akan negara Indonesia dalm keberagaman yang sangat multikultural. Penanaman tersebut harus dimulai saat ini, dari mereka yang akan menajadi penerus bangsa . Kalau tidak dilakukan dengan segera, maka jiwa pancasila akan hilang dari anak bangsa dan tidak akan pernah dapat dipahami dengan baik sebagaimana yang telah dilakukan orde baru dalam membentuk pribadi setiap warga negaranya. Mudah-mudahan tentunya penentu kebijakan pendidikan di negeri ini dapat melakukan hal yang terbaik untuk anak bangsa, agar mereka di hari depan bangga dengan diri mereka sebagai rakyat indonesia dengan menghilangkan semua bentuk perbedaan. Wallahu ‘Alam bi al-Shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama