Ibadah haji bagi masyarakat Indonesia adalah puncak dari segala ibadah yang dilakukan dan ia sebagai penyempurna keimanan seseorang. Terkadang menjadi seorang muslim yang hanya dapat melaksanakan shalat, puasa, atau zakat belum dapat dikatakan sempurna jika belum menunaikan ibadah haji. Memang dalam rukun Islam, haji adalah perkara terakhir yang harus dilakukan oleh seorang muslim agar rukun Islam menjadi sempurna dilaksanakan di dunia. Kalau syahadat orang sudah terbisa dan bahkan dalam setiap shalat selalu mengucapkan syahadat, shalat masih banyak orang dapat melakukannya, begitu juga dengan puasa wajib maupun sunnah. Sedangkan zakat hanya sebagian orang saja terlebih lagi haji ke baitullah. Tapi empat rukun dari rukun Islam tersebut masih dapat dilaksanakan oleh setiap orang, sedang haji hanya bagi mereka yang mampu saja, baik secara materi, jasmani, maupun ruhani.
Pesona ka’bah dan Saudi Arabia sebagai basis Islam dan tempat asal mula muncul Agama Islam menjadi daya tarik bagi seseorang untuk datang ke tanah arab. Apalagi dari cerita ke cerita, mereka yang pernah datang ke tana suci Makkah dan Madinah tidak akan pernah puas dengan hanya datang sekali saja. Mereka pasti ingin kembali lagi sampai berulang-ulang. Atau ganjaran-ganjaran yang berlipat ganda bagi mereka yang melaksanakan ibadah di ka’bah dan masjidil haram, do’a yang pasti akan dimustajab, dan tentu harapan paling tinggi adalah saat mereka mendapatkan haji mabrur, maka tidak ada balasan lain kecuali syurga. seperti itulah pesan Nabi dalam sebuah hadisnya, “ Haji yang mambrur tidak ada lain ganjarannya kecuali syurga”.
Keberkahan tanah haram dan masjidil haram menjadi motivasi tinggi juga bagi kaum muslimin terutama masyarakat indonesia untuk pergi berhaji. Tidak ada yang tidak menginginkan untuk menginjakkan kaki ke sana, tidak hanya orang kaya, mereka yang miskin pun sangat berharap bisa berhaji. atau mereka yang berhaluan keras dalam beragama, atau yang sangat nyeleneh dalam beragama.
Sebagian masyarakat ada yang nekat untuk berhaji dengan jalan apapun, walapun tidak mempunyai kemampuan (istito’ah) untuk menjalankannya. Mereka nekat berhaji tanpa surat-surat perjalanan haji atau tidak mempunyai visa alias “haji ilegal” dengan melakukan perjalanan ke tanah saudi arabia jauh sebelum musim haji agar mereka tidak terendus oleh petugas saat musim haji tiba. Dengan berdiam diri di dalam masjidil haram, maka tidak ada petugas yang berani merazia dan mengeluarkan mereka dari tanah suci. Dari sekian ratus bahkan ribu orang yang melakukannya, kebanyakan berhasil melaksanakan haji dan pulang ke kampung halaman dengan selamat. Kasus-kasus seperti di atas terjadi pada beberapa tahun belakangan. Berbeda dengan mereka yang puluhan tahun yang lalu, tidak ada aturan dan pembatasan mereka yang datang dan berziarah ke tanah suci, bahkan di antara mereka ada yang menetap sampai sekarang menjadi warga negara Arab Saudi dan mencari penghidupan di sana.
Ada juga yang mengumpulkan uang bertahun-tahun lamanya hanya untuk mendapatkan status dan gelar haji. Seluruh penghasilannya disisihkan semua, tidak peduli dengan apa yang terjadi selanjutnya asalkan dapat ke tanah suci. Keyakinan akan keberkahan tanah suci menjadikannya sangat yakin bahwa setelah pulang dari haji. Allah akan memberikan rizki yang banyak karena telah berkunjung ke baitullah. Sehingga banyak ditemukan di penjuru negeri ini, mereka berlomba-lomba mengumpulkan uang untuk berhaji, tidak peduli dengan anak dan istri apa yang akan mereka makan setelah ditinggalkan. Padahal haji disyaratkan adanya kemampuan, baik mampu secara materi, jasmani, maupun ruhani.
Lain dengan mereka yang melaksanakan haji ke baitullah tidak hanya sekedar semata-mata untuk mendapatkan gelar haji atau mendaatkan kedudukan di tengah-tengah masyarakat. Mereka adalah orang-orang yang usianya sudah mencapai udzur dan mendekati kematian. Kepergian mereka ke tanah haram di samping untuk melaksanakan haji dan menyempurnakan rukun islam, Mereka juga berharap bisa menghembuskan nafas terakhir di tanah suci dengan keyakinan itulah yang menghantarkan mereka ke syurga. Tidak mati dalam keadaan senang-senang atau berada di atas ranjang, tapi mati dalam proses ibadah dan perjuangan untuk menyempurnakan keislaman dan di tanah suci dan di berkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan saat ini semakin trand melaksanakan haji dengan cara berhutang, artinya mereka belum mempunyai kemampuan secara materi untuk melaksanakan haji, tapi mereka dapat melaksankannya dengan dana talangan dari beberapa pihak yang menyediakan. Tentu setelah mereka berhaji harus mengangsur cicilan hutang dari talangan yang diberikan dan itu bisa sampai puluhan tahun dan dengan bungan yang tidak sedikit. Tapi motivasi itu mencerminkan keinginan yang kuat untuk datang ke tanah haram dan menyempurnakan Rukun Islam.
Kalau sebagian besar orang pergi melaksanakan haji ke tanah suci untuk bisa menyempurnakan keislamannya. Maka berbeda dengan sebagian orang yang sudah mampu untuk melaksankan ibadah haji tapi tidak mau untuk melaksankannya dengan alasan belum siap untuk menyandang gelar haji, atau masih belum mampu untuk meninggalkan beberapa perbuatan “maksiat”. Akan sangat berbanding terbalik dengan posisi sebagai haji jika masih melakukan perbuatan-perbuatan “maksiat” dan bahkan ini menjadi indikasi bahwa hajinya tidak mambrur. Maka sebagian mereka menunda untuk melaksankan haji sampai ia percaya dan betul-betul siap untuk menyandang gelar haji. Penundaan mereka bisa samapi ke umur udzur dan mendekati kematian, karena pada umur tersebut tidak lagi dilalaikan lagi dengan kehidupan dunia dan tidak lagi mengejar kehidupan dunia akrena tinggal menunggu waktu untuk meninggalkan dunia.
Kasus-kasus tersebut menjadi pemandangan bisa saat ini, walaupun dalam statistiknya sebenarnya sebagian besar mereka yang melaksanakan haji dapat dikatakan belum mempunyai kemampuan untuk menyambut panggilan Allah. Materi yang mereka pergunakan belum mencukupi untuk keperluan keluarga dan untuk kehidupan selanjutnya, atau materi yang mereka pergunakan merupakan uang dari hasil berhutang dari pihak tertentu. Begitu juga dengan fisik, karena sudah tua sebenarnya tidak dikatakan mampu karena sangat akan beresiko untuk melkasankannya. Jumlah orang yang sangat banyak di tanah haram, dan perjalanan yang sangat melelahkan tentu akan melemahkan fisik bagi mereka yang sudah sangat tua dan udzur. Apalagi haji yang mereka lakukan memberatkan orang lain karena harus membantunya untuk melakukan inid an itu. Ini sama artinya mempunyai kesengajaan untuk mempersulit diri dan dapat menghilangkan jiwa, padahal haji yang ia inginkan dapat diwakilkan kepada orang lain dan itu ada dalam syari’at islam.
Tapi perjuangan mereka menjadi nilai tersendiri, di mana semangat untuk beribadah sangat tinggi, terutama mereka yang sudah berumur tua dan mampu untuk melaksanakan haji. Semangat untuk menyempurnakan rukun islam yang tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau shalat, puasa, zakat dapat dilakukan oleh setiap orang kapan saja dan sebanyak mungkin, tapi ibadah haji tidak segampang rukun islam lainnya. Ia membutuhkan dan disyaratkan oleh syari’at adanya kemampuan, baik materi, jasmani, dan ruhani. Jika tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakannya maka bukan berarti rukun islamnya tidak sempurna dan keislamannya tidak diterima. Yang terpenting setiap orang harus mempunyai niat untuk melaksanakan haji, terserah kapan akan tercapai keinginan dan niat tersebut, yang penting sudah berniat dan berkeinginan ke tanah haram, maka itu cukup menghantarkan seseorang kepada syurga yang dijanjikan Allah dengan amal ibadah yang baik. Wallahu A’lam bi al-Shawab
Posting Komentar