HAJI SIMBOL PERSAUDARAAN


Ibadah haji di samping sebagai kewajiban dan rukun kelima dari Rukun Islam, ia juga sebagai ibadah sosial. Di mana orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan wujud dari kerinduan akan berkumpul dan bersama-sama, dalam baju ihram yang sama dan kedudukan yang sama di baitullah al-haram. Semua berangkat dengan niat karena Allah dan kewajiban untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima. Tidak ada tujuan yang lain, karena jika dilhat dari segi materi, melaksanakan ibadah haji akan mengurangi harta seseorang. Mulai dari berangkat sampai pulang kembali dengan oleh-oleh untuk sanak saudara dan masyarakat.

Nilai pesaudaraan dan sosial sangat kental sekali terlihat bagi mereka yang melaksanakan ibadah haji. Tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tapi semua orang yang berada di sekelilingnya. Pesan do’a dari anggota masyarakat akan banyak berdatangan untuk dido’akan di depan Ka’bah, karena akan lebih cepat untuk diijabah oleh Allah. Permintaan do’a yang paling lumrah diminta adalah agar mereka juga cepat menyusul ke Baitullah dalam waktu yang akan datang. Atau do’a-do’a tertentu yang baik untuk keselamatan keluarga, anak, saudara dan lain-lain.
Rasa persaudaraan dan sosial juga sangat terlihat menjelang keberangkatan ke Baitullah. Orang-orang akan berdatangan untuk mengucapkan selamat dan bahkan sebagian dari mereka menyelipkan beberapa amplop ke kantong jama’ah yang akan berangkat. Bukan sebagai sebuah imbalan atas undangan, tapi lebih semata-mata karena ingin membantu mereka dan keluarga yang ditinggalkan, atau paling tidak sebagai bentuk kesyukuran. Di beberapa daerah pun mereka melaksanakan walimatul hajjselama seminggu sebelum keberangkatan, dengan berzikir dan membaca al-Qur’an agar orang yang akan berangkat tersebut diberikan perlindungan oleh Allah mulai dari berangkat sampai balik kembali ke kampung halaman. Begitu juga di kalangan jama’ah haji, mereka tidak sendirian. Jauh sebelum ibadah haji dilaksanakan, mereka telah dikelompokkan dalam beberapa kelompok untuk mendapatkan bimbingan manasik haji dan apa saja yang akan dilakukan selama ibadah haji. Tidak ada jama’ah haji yang berangkat sendiri-sendiri dan dengan pesawat sendiri. Sebaik apa pun mereka memahami seluk beluk haji, mereka tetap berada dalam kelompok dan jama’ah. Ini menandakan bahwa jama’ah, persaudaraan, dan sosial dikedepankan, agar mereka bisa saling membantu dalam segala hal sebelum berangkat atau pada saat sudah berada di Baitullah.
Pada saat keberangkatan menuju ke Baitullah dan menggunakan pakain ihram dari miqat masing-masing. Semua jama’ah haji di seluruh penjuru dunia menggunakan pakaian yang sama, yaitu pakaian ihram dengan warna putih. Tidak ada yang berbeda seperti hari-hari biasanya yang dapat memperlihatkan status sosial. Semunya dengan pakaian putih ihram, bagi laki-laki hanya dua lembar pakaian yang tidak berjahit. Tidak boleh menggunakan wewangian, memotong kuku, melempar binatang, berhubungan badan, semuanya sama harus dilakukan, kalau tidak maka hajinya tidak sah atau diberikan sanksi berupa DAM. Dengan pakaian yang sama dan dengan warna yang sama, memperlihatkan persamaan kaum muslimin dalam tujuan untuk beribadah kepada Allah.
Dengan pakian ihram tersebut juga semua orang di dunia melepaskan status, jabatan, kedudukan, jenis kulit, suku, ras, dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai kewajiban yang sama menghadap ke Baitullah untuk beribadah. Tidak ada namanya presiden, menteri, anggota DPR, raja, direktur dan lain sebagainya saat mereka mengenakan baju ihram. Semuanya sama untuk berkhidmat dan bukan minta untuk dikhidmati atau dilayani oleh orang lain. Semakin banyak ia melakukan amal sholeh, maka kesempurnaan haji akan didapatkan. Karena Baitullah adalah tempat mustajabuntuk meminta do’a kepada Allah, maka mereka semua harus tunduk dan bersimpuh, merasa hina di hadapan Allah, bukan membanggakan diri dan memperlihatkan statusnya. Dari segi pakaian ini, kaum muslimin adalah satu baju putih bersih, tidak ada baju warna lain, hanya satu kata Islam dan kaum muslimin, bukan yang lainnya.
Saat kaum muslimin berada di Ka’bah juga telah memeperlihatkan kesamaan visi dan tujuan kaum muslimin dalam beribadah. Mereka tawaf mulai dari permulaan tawaf dengan mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, memutar berlawanan arah jarum jam. Semuanya bergerak dan melangkah dalam satu gerakan dan tujuan yang sama sampai akhir putaran. Setiap berada pada posisi tertentu mereka mengucapkam salam sambil terus berdo’a dari satu langkah ke langkah berikutnya. Mereka yang mampu sampai pada Hajar Aswad dianjurkan untuk menciumnya, tapi mereka yang tidak bisa cukup dengan melambaikan kecupan ke arah batu Hajar Aswad. Pergerakan tawaf yang teratur dan seirama memberikan tanda bahwa kaum muslimin adalah satu kesatuan mempunyai tujuan yang sama, satu derap langkah menuju keridaan Allah. Pada posisi satu gerakan dan arah, maka tidak akan ada yang bisa menghentikannya atau menerobos memecah gerakan tersebut, kecuali mereka yang menginginkan al-iftiroq. Tidak ada yang mengeluh dan keluar dari gerakan-gerakan satu arah tersebut, mereka saling membahu dan membantu, bahkan seorang perempuan pun tidak akan tersakiti.
Tidak hanya persatuan dan persaudaraan ditampakkan pada saat melakukan tawaf, tapi saat berada dalam penginapan di Padang Arafah mereka melebur dalam tenda-tenda sederhana dengan tetap mengunakan pakaian ihram. Tidak ada yang protes untuk tetap tinggal di hotel berbintang. Dengan alas dan peralatan tidur yang sederhana dan dengan makanan yang sama, mereka merasakan persamaan dan persaudaraan, senasib dalam perjuangan untuk mencari ridha ilahi.
Yang tidak kalah penting adalah tujuan akhir dari kaum muslimin yang melaksanakan haji secara bersama-sama dengan batu yang sama secara simbolis melakukan pelemparan kepada syaitan pada saat melempar jumrah. Tidak dengan menggunakan senjata, panah, senjata api, atau bom sama sekali. Semuanya menggunakan batu kerikil melempar dan berdo’a pada setiap lemparannya. Melepar jumrah ini memberikan isyarat bahwa kaum muslimin secara bersama-sama melawan sifat-sifat syaitaniyah dan melepaskan diri dari gangguan syaitan sehingga selesai dari proses melempar jumrah, mereka akan mendapatkan diri mereka dalam keadaan tenang dan semangat ibadah akan membara terus menerus. Selepas dari ritual haji pun mereka akan mendapatkan haji yang mabrur. Di mana kemamburaran tersebut akan terlihat dari perubahan perilaku setiap individu dalam kesehariannya, paling tidak bagaimana ia bermanfaat bagi masyarakat di sekitarnya.
Ritual-ritual haji yang dilakukan tersebut memberikan isyarat bahwa kaum muslimin di seluruh penjuru dunia adalah bersaudara. Melakukan ritual yang sama dan tahapan-tahapan haji yang sama juga. Mereka berbaur dalam satu tempat dan dengan pakaian yang sama, tidak ada perbedaan antara orang arab, asia, eropa, amerika, afrika, asutralia dan lain sebagainya. Semuanya mempunyai misi dan tujuan yang sama karena Allah subhanahu wata’ala. Ini tentu tidak akan pernah ditemukan di tempat lain dan pada agama lain. Berpuluh-puluh juta orang berada di satu tempat dengan pakaian yang sama untuk beribadah. Bahkan banyak di antara mereka yang harus menunggu sampai bertahun-tahun untuk dapat berkumpul bersama di Baitullah. Ini adalah sebuah keajaiban dan persaudaraan kaum muslimin yang tidak akan pernah dapat dipecah dan diceraiberaikan oleh siapa pun di muka bumi ini.
Harapannya tentunya, semakin banyak orang yang pergi ke Baitullah untuk berhaji, maka akan semakin banyak orang-orang yang mendapat tempaan haji, sehingga sekembalinya ke tempat masing-masing dapat mentrasfer nilai-nilai persaudaraan dan sosial selama berhaji dalam kehidupn masyarakat. Sehingga tidak ada lagi sikap kesukuan terlalu tinggi atau mengedepankan jabatan dan posisi melebihi keagungan Allah, semuanya satu kata sebagai seorang muslim yang menjunjung nilai-nilai dan hukum Islam. Perbedaan tidak bisa dihindari, tapi perbedaan bukan berarti harus bermusuhan dan berkelahi. Perbedaan akan dapat diikat dengan simpul yang sangat kuat yaitu dengan persaudaraan Islam atau semangat menjadi satu muslim.
Dengan itu, kaum muslimin menjadi lebih kuat, tidak lagi seperti buih di lautan sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah. Mereka terlihat berkumpul saja, tapi tidak mempunyai pendirian, dengan desiran ombak mereka tercerai berai. Tapi menjadi kaum muslimin dengan ibarat satu buah bangunan yang kokoh, yang mana satu degan lainnya saling menopang. Atau seperti satu tubuh, di mana satu organ dengan organ lainnya saling berhubungan. Salah satu saja yang sakit, maka semua akan merasakan sakit. Jika sifat dan sikat tersebut dapat dicapai, maka dengan kekuatan apa saja, orang-orang diluar Islam tidak akan pernah dapat memecah belah kaum muslimin. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama