Pelaksanaan ibadah haji adalah sebagai wujud dari penyempurnaan rukun islam yang kelima, karen` ia hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara materi, jasmani, dan rohani. Haji juga sebagai ibadah yang diangung-agungkan oleh Rasulullah, karena haji yang mambrur akan mengantarkan seseorang ke syurga. Dalam sebuah hadis Rasululllah dijelaskan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Artinya: Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “ dari umrah ke umrah ada kafarah (penghapus dosa) antara keduanya dan haji yang mabrur tidak ada balasannya kecuali syurga”.
Tidak salah bila orang-orang selalu menginginkan bisa ke baitullah untuk melaksanakan haji karena mereka yang mendapatkan kemabruran haji tidak ada imbalan lain dari Allah kelak setelah mati kecuali syurga. Lalu apa sebenarnya haji mabrur itu?, apakah cukup dengan melaksanakan rukun dan kewajiban haji menghantarkan seseorang ke syurga begitu saja walaupun setelah pelaksanaan haji ia kembali kepada kefujurannya. Haji mabrur adalah haji yang maqbul, ia terambil dari kata “al-birr”, dan kata-kata “al-birr” adalah nama dari segala macam bentuk kebaikan. Artinya haji yang ia lakukan mampu menjadikannya melakukan kebaikan-kebaikan tidak hanya saat melaksanakan haji tapi saat ia berada di luar ritual haji dan berkumpul dalam masyarakat. Haji mabrur dalam kontek pelaksanaan haji adalah ketulusan hati karena Allah, melakukan segala macam ritual haji sesuai dengan petunjuk, baik perintah maupun larangan dalam haji, harta yang dipergunakan untuk melakukan ritual haji adalah harta yang halal, dan melakukan haji sesuai dengan petunjuk dan aturan manasik yang telah ditetapkan oleh Rasulullah sallahu ‘alihi wa sallam.
Mabrur bukan berarti hanya perubahan pakainan saja, di mana sebelum menjadi haji masih menggunakan pakaian “bukan islam” alias pakaian budayanya sendiri dan dianggap mabrur apabila sudah berpakaian seperti orang arab atau serupa dengan orang arab. Pandangan seperti ini memberikan pandangan yang negatif kepada masyarakat bahwa segala hal yang berkaitan dengan pakaian arab adalah pakaian yang layak dipakai untuk mereka yang sudah melaksanakan haji dan bukan bagi mereka yang belum melaksanakan haji. Mereka yang sudah menunaikan haji tapi dalam kesehariannya tidak menggunakan kopiah putih, maka ia dianggap hajinya tidak mabrur. Atau saat shalat harus menggunakan sarung dan kopiah. Begitu juga dengan mereka yang belum naik haji tidak boleh menggunakan kopiah putih atau menggunakan sorban seperti mereka yang sudah berhaji. Perilaku seperti itu dianggap sebagai pelecehan kepada para haji. Padahal dengan pakaian apa saja asalkan menutup aurat, itu adalah pakaian islami. Pakaian tidak memberikan sebuah penilaian akan kemabruran hajinya, tapi yang terpenting adalah perubahan perlaku dan amal sholeh yang terus bertambah.
Begitu juga dengan masalah nama. Banyak orang menganggap bahwa setelah menunaikan ibadah haji, maka seseorang harus mengganti namanya dengan nama yang berbau arab. Apalagi mereka yang namanya terdengar aneh, maka harus mengganti namanya. Tidak akan enak didengar oleh orang saat nama sebenarnya digandengkan dengan haji, taruh saja seperi “Haji Robert”. Dalam pandangan masyarakat perubahan nama dengan nama yang berbau arab menandakan bahwa pada diri orang tersebut sudah ada kesadaran akan nama, karena ia adalah do’a dan itu menandakan kemambruran hajinya. Tidak tanggung-tanggung, beberapa tahun lalu mereka yang mengganti nama setelah berhaji, dibuatkan setifikat nama baru di arab, untuk memperjelas dan memberikan keyakinan kepada banyak orang bahwa ia sudah berhaji dan berganti nama. Padahal juga sebenarnya, nama tidak harus dengan nama yang berbau arab. Asalkan makna dari nama jelas, tidak apa-apa menggunakan bahasa apa saja. Karena Allah maha tahu segala sesuatu, karena Allah telah menciptakannya. Tapi jika nama yang disandangnya memiliki makna yang kurang baik, maka alangkah baiknya diganti, tapi tidak harus menunggu menunaikan ibadah haji.
Akan tetapi kemabruran haji dapat terlihat dari perubahan perilaku dan peningkatan ibadah seseorang kepada Allah. Perubahan perilaku di sini, dari perilaku yang tidak baik kepada perilaku yang baik. Misalkan dulu ia suka menggunjing orang, mak` setelah haji ia tidak lagi menggunjing dan lain sebagainya dari sikap dan akhlak. Karena pada ibadah haji telah diberikan tempaan yang bagus, di mana semua aktifitas dari sejak menggunakan baju ihram sampai selesai melaksanakan rukun dan kewajiban haji, tidak ada yang bebau kekerasan, penistaan, penyelewengan, pelanggaran hukum dan sebaginya. Semua langkah dan denyutan jantung penuh dengan dzikir dan do’a kepada Allah. Tidak ada hari tanpa ibadah, karena baitullah ada di depan mata, tempat-tempat mustajab segala do’a ada di sudut-sudut masjidil haram, dan bahkan amal ibadahnya dilipatgandakan. Tempaan selama pelaksanaan haji akan memberikan perubahan perilaku pada saat itu dan setelahnya. Jika seseorang tidak dapat ditempa dan tidak bisa meninggalkan perbuatan dan akhlak yang tidak baik, seperti masih berbicara yang kotor, menggunjing, dan lain sebagainya, maka makna dan pahala haji tidak ia dapatkan sama sekali.
Dalam banyak cerita dan pengalaman orang yang sudah melaksanakan haji. di baitullah tidak ada yang disembunyikan oleh Allah. Semua apa yang tersirat dan tersurat dalam benak dan pikiran seseorang, saat di masjidil haram akan ditampakkan padanya. Jika ia membawa niat tidak baik dari rumahnya, seperti masih membenci orang padahal ia sedang melaksanakan ibadah haji, maka secara tidak langsung Allah akan menggajarnya langsung. Atau mempunyai niat tidak baik di masjidil haram terhadap seseorang, maka Allah juga akan memberikan ganjaran kepadanya pada saat itu juga. Oleh karena itu, dapat dipastikan mereka yang melaksanakan ibadah haji adalah mereka yang betul-betul ingin beribadah dan ingin berubah menjadi apa yang diharapkan oleh Allah dan Rasulnya. Maka motivasi itu menjadi bagian penting dalam perubahan perilaku saat melaksanakan ibadah haji maupun setelah melaksanakannya.
Tidak hanya perubahan perilaku saja, tapi peningkatan ibadah bisa menjadi tolak ukur seseorang hajinya mabrur atau tidak. Tapi lagi sekali bukan menjustifikasi atau langsung mengkalim dan menganggap mereka hajinya tidak mabrur. Hanya sebuah indikasi, karena keimanan seseorang dapat bertambah dan dapat berkurang. Tapi Allah akan memberikan hidayah kepada hambanya yang diridahinya. Mereka yang sudah dapat melaksanakan haji pernah menjadi tamu Allah, dan diberikan segala yang mereka minta. Maka sebagai sebuah tuntutan, seseorang yang sudah berhaji pun dalam masalah ibadah akan baik. Kalau dulu sebelum haji masih jarang shalat, setelah berhaji shalat terus dilakukan. Atau sebelumnya jarang berjama’ah, maka setelah haji rajin berjama’ah dan bahkan menjadi imam shalat. Mereka yang terus dapat menjaga ibadahnya, baik wajib maupun sunnah secara kontiyu dan terus menerus, maka dapat dikatakan kemabruran haji telah ia dapatkan. Akan tetapi sebaliknya, jika setelah haji ibadahnya semakin tidak karuan, dapat dikatakan bahwa ia belum mencapai kemabruran haji. Mungkin satu kali berhaji belum dapat ditempa dengan baik, setelah dua atau tiga kali baru dapat berubah. Ini juga tentu tergantung dari tingkat keimanan seseorang yang melaksankan haji. Seorang ustadz yang melaksanakan haji dengan seorang buruh, setelah ibadah haji tentu tingkat ibadah seorang ustadz masih lebih unggul, karena pengetahuan yang berbeda.
Namun akan lebih baik jika penialian kemabruran dan tidak mabrur dari perubahan perilaku dan intensitas ibadah tersebut tidak dilontarkan dari seseorang kepada orang lain. Karena semuanya ibadah diserahkan kepada Allah, yang berhak untuk menilai dan memberikan justifikasi. Untuk itu kesadaran setiap orang yang pernah melaksanakan haji untuk mengukur diri sejauh mana kemabruran haji ia dapatkan. Kalau setelah haji ia merasa tidak ada perubahan perilaku dan ibadah, malah semakin jauh, ia harus menyadari bahwa kemungkinan haji yang ia lakukan belum mendapatkan haji mabrur. Ia menginstropeksi diri agar dapat menyadarinya dan bisa berubah, atau kalau memungkinkan ia dapat melaksakan haji kembali. Begitu juga dengan mereka yang sudah merasa ada peningkatan dalam ibdah setelah haji, jangan sombong dan riya’ bahwa haji yang telah ia laksanakan diterima atau mabrur dan ia pasti diberikan ganjaran syurga. Belum tentu, karena semua tergantung Allah dan akhir dari kehidupan seseorang, apakah khusnul khotimahatau su’ul khotimah?. Tapi, optimisme harus tetap terpatri dalam diri, jika haji telah membawa perubahan dalam perilaku dan ibadahnya, maka ia harus mempertahankan dan meningkatkannya kembali dan segala perkaranya diserahkan kepada Allah.
Oleh karena itu, untuk mencapai kemabruran haji dan agar tidak sia-sia haji yang dilakukan, maka kesiapan atau kemampuan (istito’ah) menjadi kemsetian. Kemampuan di sini tidak hanya sekedar mampu dalam penegrtian harta benda, tapi juga mampu secara fisik untuk melaksanakan haji agar tidak terganggu ritual-ritual ibadah haji yang akan dilakukan. Tentu tidak akan mungkin untuk melakukan tawaf saat seseorang sedang sakit, kalaupun mampu maka tidak akan sempurna melaksankannya. Begitu juga dengan kemamapuan secara ruhani, kesiapan mental menjalankan ibadah-ibadah tersebut. Karena jangan sampai pelaksanaan haji hanya sekedar jalan-jalan saja, ibadah yang dilakukan tidak dimengerti sama sekali. Dengan tiga kemampuan tersebut, maka seseorang dapat menginternaisasikan ibadah haji yang dilakukan, sehingga ibadah tersebut memberikan energi bagi dirinya dalam ibadah dan perbuatan amal sholeh setelah melaksanakan haji.
Berkujung ke baitullah adalah tujuan yang sangat mulia, tapi jika tidak mempunyai kesiapan untuk berkunjung menjadikannya tidak berkualitas dan hanya sekedar jalan-jalan saja. Akan sangat baik jika ibadah haji dilakukan sekali saja atau dua kali, tapi kualitas haji yang dilaksanakan sangat baik, sehingga mendapatkan haji yang mabrur sebagaimana dalam hadis Rasulullah sallahu ‘alahi wa sallam. Wallahu ‘alam bi al-shawab.
Posting Komentar