SUPERVISI PENDIDIKAN (3)


PERAN PENGAWAS SEBAGAI SUPERVISOR
DAN ADMINISTRATOR DALAM MEMBANGUN KERJASAMA
(Wewenang, Tanggung Jawab, dan Pengambilan Keputusan)[1]

PENDAHULUAN
Dalam dasa warsa terakhir berkembang visi dan paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan umumnya, dan sekolah khususnya. Apabila pada era sebelumnya sekolah dipandang sebagai bagian dari birokrasi pendidikan, maka sekarang ini sekolah adalah lembaga yang melayani masyarakat. Pergeseran paradigma ini berimplikasi luas dalam administrasi dan pengelolaan sekolah.

      Paling tidak ada tiga prinsip atau azas yang harus selalu diperhatikan dalam pengelolaan sekolah, yaitu: partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. (Dharma, 2008:1). Ketiga hal ini diharapkan dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan yang selama ini belum menggembirakan. Partisipasi, menuntut setiap penyelenggara dan pengelola sekolah melibatkan stakeholder dalam perumusan berbagai kebijakan. Lebih lanjut Surya Darma (2008:2) menjelaskan, bahwa transparansi mengharuskan sekolah terbuka, terutama dalam pemerolehan dan penggunaan dana, sehingga mendapatkan kepercayaan masyarakat. Transparansi tidak akan terjadi tanpa didukung oleh akuntabilitas, yaitu pertanggung jawaban pihak sekolah terhadap orang tua dan masyarakat, tidak hanya dalam aspek pengelolaan sumber-sumber daya, namun juga dalam proses pembelajaran dan pelayanan yang mereka berikan.
Pada sisi yang lain, guru memiliki peran yang sangat besar. Besarnya tanggung jawab guru dalam pendidikan merupakan tantangan bila dikaitkan dengan mutu pendidikan dewasa kini. Keluhan masyarakat terhadap merosotnya mutu pendidikan seharusnya dapat menjadi refleksi bagi para guru yang tidak kompeten dan profesional.
Guru profesional bukan hanya sekedar dapat menguasai materi dan sebagai alat untuk transmisi kebudayaan tetapi dapat mentransformasikan pegetahuan, nilai dan kebudayaan kearah yang dinamis yang menuntut produktifitas yang tinggi dan kualitas karya yang dapat bersaing.
Dalam konteks ini sebenarnya guru yang kurang profesional sangat membutuhkan bimbingan dan arahan dari orang lain atau supervisor dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi untuk mencapai tujuan pendidikan, misalnya seperti masalah kurang pahamnya tujuan pendidikan, tujuan kulikuler, serta tujuan instruksional dan oprasional. Sehingga peran guru yang sangat besar dalam meningkatkan mutu pendidikan akan dapat tercapai jika semua permasalahan yang dihadapi oleh para guru dapat dipecahkan dengan baik.
Mengingat tanggung jawab dan peran guru yang begitu besar, sebagai salah satu komponen utama dalam proses belajar mengajar mempunyai banyak peran, yakni sebagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, fasilitator, pengelola kelas dan evaluator. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya pembinaan terhadap kemampuan mengajar guru sehingga tujuan pengajaran dapat tercapai secara maksimal.
            Dengan adanya pergeseran paradigma tersebut, Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah memerlukan pendidikan profesional dan sistematis dalam mencapai sasarannya. Efektivitas kegiatan kependidikan di suatu sekolah dipengaruhi banyaknya variabel (baik yang menyangkut aspek personal, operasional, maupun material) yang perlu mendapatkan pembinaan dan pengembangan secara berkelanjutan.
Supervisi sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalitas guru harus dilaksanakan secara maksimal. supervisi pendidikan bukanlah hanya sebagai pelengkap di dalam administrasi pendidikan, akan tetapi merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan.
Supervisor atau pengawas satuan pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang menjadi binaannya. Sebagaimana ditegaskan Sahertian (2000:131) menjelaskan fungsi utama supervisi adalah perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran serta pembinaan pembelajaran sehingga terus dilakukan perbaikan pembelajaran . Supervisi bertujuan mengembangkan situasi kegiatan pembelajaran yang lebih baik ditujukan pada pencapaian tujuan pendidikan sekolah, membimbing pengalaman mengajar guru, menggunakan alat pembelajaran yang modern, dan membantu guru dalam menilai kemajuan peserta didik. (Purwanto;2003:86-87)
Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mereka dapat memberikan inspirasi dan mendorong para kepala sekolah, guru serta tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka. Bagi kepala sekolah, pengawas layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, pengawas selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran. (Dharma; 2008:1)
Untuk dapat menjalankan peran dan fungsi tersebut, Pengawas dituntut memiliki kompetensi sosial, khususnya dalam menjalin kerja sama dengan para kepala sekolah, guru dan stakeholder lainnya. Hal ini karena dalam bekerja pengawas  mesti bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, kondisi serta persoalan yang dihadapi. Mereka juga harus mampu bekerja sama baik dengan individu maupun kelompok.

PERAN PENGAWAS SEBAGAI SUPERVISOR DAN ADMINISTRATOR
Supervisi dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan (Robbins 1997).
Supervisi (Pengawasan) juga merupakan fungsi manajemen yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja organisasi atau unit-unit dalam suatu organisasi guna menetapkan kemajuan sesuai dengan arah yang dikehendaki (Wagner dan Hollenbeck dalam Mantja 2001).
Oleh karena itu mudah dipahami bahwa supervisi pendidikan adalah fungsi manajemen pendidikan yang harus diaktualisasikan, seperti halnya fungsi manajemen lainnya (Mantja 2001). Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan supervisi harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan: pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan supervisi memiliki standard dan tujuan yang jelas.
Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran.
Burhanuddin (1990:284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
Supervisor/Pengawas satuan pendidikan/sekolah adalah pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan (Pandong, A. 2003).
Secara konseptual administrasi yang baik menduduki tempat yang sangat menentukan dalam struktur dan alkulturasi sistem manajemen pendidikan di sekolah. Sebagai administrator menurut Danim (2002:132) adalah mengarahkan, mengkoordinasikan, dan mendorong kearah keberhasilan pekerjaan bagi semua staf dengan cara mendefinisikan tujuan, mengevaluasi kinerja, mengelola sumber-sumber organisasi dan lain-lain.
Peran administrator adalah melakukan perubahan kearah yangberkualitas dan kompetitif sehingga sekolah memiliki pengaruh yang kuat terhadap tatanan sosial dan pada semua guru, personel lain dan peserta didik. (Sagala,2010:119)
Simon (1990:54) proses administrative adalah proses yang berhubungan dengan keputusan, mencakup pemahaman unsur-unsur tertentu dalam anggota organisai (sekolah) dan pembuatan prosedur-prosedur organisasional yang teratur untuk memilih, menentukan dan menyampaiakan kepada anggota-anggota organisasi.
Pada hakekatnya fungsi supervisi dan administrasi  mempunyai perbedaan aksentuasi, walaupun pada umumnya mempunyai tujuan tidak berbeda. Bila fungsi utama administrasi adalah mengatus segala sesuatu agar berjalan lancar, maka fungsi supervise pendidikan adalah membina orang-orang yang disupervisi  agar mencapai tujuan pendidikan sesuai dengan yang direncanakan. Dengan kata lain, fungsinya adalah pembinaan situasi belajar mengajar kea rah yang lebih baik. (Burhanudin,dkk;2007:49)
Sergiovanni dan Starrat (1983) , menggariskan bahwa perbedaan yang tajan antara pekerjaan administratif dan bidang kepengawasan atau supervise, adalah: pengawasan atau supervise melakukan kegiatan pencapaian tujuan melalui orang-orang,  sedangkan administrasi tidak. Seorang kepala sekolah misalnya dalam mengembangkan efektivitas program pendidikan siswa, ditempuhnya dengan cara membantu guru-guru agar lebih efektif dalam penyampaian pelajaran di kelas. Ini adalah cara supervise. Tetapi apabila ia bekerja melalui benda-benda atau ide-ide tertentu dalam mewujudkan tujuan-tujuan sekolah, maka dapat digolongkan ke dalam cara kerja administratif.  Kongkretnya perbedaan kedua fungsi ini dapat dilukiskan seperti berikut :

  Gambar di atas menjelaskan secara kritis antara proses kerja adminstratif dan supervise atau pengawasan.

Menurut Burhanudin, dkk (2007:50-53)Terdapat lima buah konsep  peranan yang dapat dimainkan oleh para supervisor yang secara kronologis dilukiskan menduduki dari posisi-posisi yang penting sampai marginal sesuai dengan posisi dalam hirarki organisasi sekolah.
 
5 Konsep  Peranan Supervisor

Person in the middle
(Orang di tengah)
Administrasi puncak

Supervisor

Guru-guru
Marginal person
(Orang pinggiran)
                               Administrasi puncak
Supervisor
                                        Guru-guru
Another Teacher
(Guru yang lain)
Administrasi puncak








 
 
        Supervisor                                       Guru-guru
Human Relationspecialist
(Sepesialis hubungan kemanusiaan)
                               Administrasi puncak








 
Supervisor


 
                                        Guru-guru
Human Ressources Link
(Mata rantai atau penghubung sumberdaya manusia)
Administrasi puncak


Supervisor


Guru-guru

Oleh karena itu, peranan pengintegrasian yang dijalankan supervisor dianggap perlu sekali di dalam hirarki administratif, dan sekaligus juga mempunyai peranan kunci dalam pengambilan keputusan sekolah. Supervisor harus dipandang sebagai penghubung sumberdaya-sumber daya manusia (human resources link) di dalam hirarki administrasi, dan sebagaimana diungkapkan bahwa ia memiliki peranan kunci dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat organisasi sekolah. Burhanudin,dkk.:2007:53)


PERANAN PENGAWAS DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA SEKOLAH
Dalam proses pembinaan atau supervisi, pengawas diharapkan dapat menjalin kerjasama yang harmonis dan egaliter yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya.   Pendekatan otoritas dalam interaksi dengan bawahan di era sekarang ini sudah kurang relevan. Yang lebih mengena adalah adalah pendekatan kolegial, di mana pengawas menempatkan diri sebagai mitra sekolah dalam mencapai kemajuan.
            Dewasa ini, kata “perintah, petunjuk dan  pengarahan” sudah tidak populer lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kerja sama lebih terasa.
 Surya Dharma (2008:7) menyatakan, bahwa pengawas (supervisor) harus mengambil posisi sebagai mitra bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah adalah membuat mampu (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) program positif sekolah.
Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif.  Dalam hal apa, bagaima-na, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang terse- but. Semakin modern seseorang, maka ia akan  semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu: (a) bargainingyaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalitionyaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998; 88).
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manajemen tradisional. Dalam manajemen tradisional terdapat tujuh kecakapan/ proses kegiatan manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating),  koordinasi  (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas seperti merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memo-tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer (supervisor). Namun demikian, untuk kecakapan yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak efektif lagi”. Menurut Stewart (1998:90) perlu seperangkat kecakapan baru yang perlu dikuasai oleh manajer (supervisor) era baru yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting). 
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama termasuk seorang pengawas/ sepervisor dengan kepala sekolah maupun dengan guru. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Seorang pengawas/ supervisor setidaknya dapat ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja pengawas. Apabila seorang pengawas bersikap otoriter dan tertutup, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Pengawas tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi  pengawas yang demikian, maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan cenderung menutupi kelemahannya. (Dharma;2008:18)

a. Peran Pengawas dalam Menumbuhkan Budaya Kerjasama untuk Pemberdayaan Sekolah.

Budaya organisasi perorangan dapat “diciptakan” oleh pengawas dengan beranggotakan para kepala sekolah yang berada di bawah binaannya. Sekali waktu,  dap[at dilakukan diskusi terfokus (Facused Group Discussion) yang melibatkan para kepala sekolah. untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama. Diskusi dapat difasilitasi oleh pengawas sekolah. Ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas pengawas untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Budaya organisasi yang baik untuk pemberdayan sekolah menurut Surya Dharma (2008: 17) adalah budaya yang kondusif, yaitu budaya kerjasama. Para kepala sekolah diarahkan agar memaksimalkan pelayanannya kepada pelanggan (siswa, orang tua dan stakeholder pendidikan lainnya) dengan menyediakan sumberdaya, bimbingan, dan lain-lain yang diperlukan. Para staf barisan depan yaitu seperti guru dan staf administrasi sekolah harus mengetahui benar tentang kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Lebih lanjut Dharma (2008:18) menjelaskan, bahwa pengawa/supervisor yang akan menumbuhkan budaya pemberdayaan di sekolah perlu dua hal yaitu memupuk kepercayaan dan keterbukaan. Dalam membina kepercayaan, pengawas meyakinkan bahwa dirinya memberi kepercayaan kepada sekolah yang dibarengi oleh sikap mentolelir sejumlah kekeliruan. Pengawas sebaiknya dapat menerima sejumlah kesalahan yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Ia memaklumi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kepala sekolah dan guru sebatas adanya maksud baik dari mereka untuk mencapai tujuan yang baik.
Kunci untuk menjaga kepercayaan adalah keterbukaan. Dalam pengawasan, keterbukaan adalah kunci keberhasilan. Pengawas yang tidak memperoleh informasi yang benar dari kepala sekolah dan/atau guru tidak akan mampu melakukan pembinaan dan pemberdayaan. Dalam keterbukaan, ada arus penilaian dari pengawas terhadap sekolah dan sebaliknya. Pengawas perlu mengetahui apakah dirinya telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun membutuhkan umpan balik yang sama dari pengawas tentang kemajuan sekolahnya menurut penilaian pengawas.
Setelah tumbuh kepercayaan dan keterbukaan, pengawas melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sekolah. Oteng Sutisna (1979: 68) mengemukakan bahwa, dalam prakteknya, pengawas mengambil peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk membantu mampu (enabling) kepala sekolah dan guru dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam pemberdayaan sekolah.
Pemberdayaan dengan supervisi memiliki filosofi yang sama. Oteng Sutisna (1979: 69) dengan jelas menyatakan bahwa supervisi ialah membantu para guru memperoleh arah diri dan belajar memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sesuai dengan itu mendorong mereka kepada kegiatan-kegiatan untuk menciptakan situasi di mana murid-murid dapat belajar lebih efektif. Secara teknis, alternatif pola kerjasama antara pengawas, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru dapat digambar sebagai berikut:

 
            Pengawas berada pada posisi sentral dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam pembinaan sekolah, kepala dinas memberi kepercayaan kepada pengawas untuk bina guru dan kepala sekolah. Pada saat bersamaan, pengawas dapat membina guru melalui kelembagaan MGMP dan membina kepala sekolah melalui MKKS. Hal yang perlu ditegaskan dalam bagan di atas adalah bahwa hubungan antar fihak adalah dalam suasana kemitraan.
b. Peranan Pengawas/Supervisor dalam Pengembangan Kerjasama Eksternal

Dari waktu ke waktu persoalan hubungan antara sekolah daengan masyarakat semakin menuntut perhatian. Sejalan dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat maka apresiasi dan aspirasi mereka terhadap lembaga pendidikan juga semakin meningkat. Aspek yang paling banyak mendapat sorotan tentu saja adalah mutu pendidikan, di samping transparansi pengelolaan.
Banyak definisi tentang hubungan masyarakat. Awalnya hubungan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh Thomas Jefferson tahun 1807 yang ketika itu dimaknai sebagai Public Relation.
Ibnoe Syamsi dalam Suryosubroto (2004: 155) mendefinisikan humas sebagai kegiatan organisasi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar mereka mendukungnya dengan sadar dan sukarela. Kegiatan kehumasan adalah melakukan publisitas tentang kegiatan organisasi kerja (sekolah) yang patut diketahui oleh pihak luar secara luas. Bentuknya adalah menyebarluaskan informasi dan memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang sebaik-baiknya di kalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan fungsi yang diemban sekolah tersebut, termasuk mengenai kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan berdasarkan volume dan beban kerjanya.
Menurut Suryosubroto (2004; 157), hasil kerja dari kehumasan yang efektif apabila ada saling pengertian antara sekolah dengan pihak masyarakat. Adanya kesediaan untuk untuk membantu karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing, dan tumbuhnya rasa ikut bertanggung jawab dari masyarakat terhadap kemajuan sekolah.
Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah ditegaskan eksistensi serta peran dan fungsinya, maka hubungan sekolah dengan masyarakat semakin perlu dikelola dengan sungguh-sungguh. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bawa lemabaga ini memiliki peran memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan. Implikasinya, masyarakat berkepentingan terhadap informasi dari sekolah agar mereka dapat memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan terhadap sekolah. Sebaliknya, sekolah harus semakin terbuka terhadap masyarakat dan menjalin hubungan dengan lebih intensif.
Pengawas yang memiliki fungsi supervisi dan perbantuan (enabling) kepada sekolah dituntut untuk dapat membina kerjasama sekolah dengan pihak-pihak lain yang terkait. Di bawah ini akan diajukan sejumlah alternatif dalam membina kerjasama sekolah dengan pihak eksternal dalam kepentingan pemberdayaan sekolah:
1.      Mendorong sekolah untuk melakukan dialog dengan komite sekolah dan masyarakat.
2.      Membantu sekolah dalam perekayasaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) melalui organisasi Jaringan Kurikulum baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
3.      Membantu sekolah menjalin hubungan dengan organisasi profesi dan keilmuan, seperti menjalin hubungan dengan Perguruan Tinggi, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Geograf Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, dan lain-lain.
4.       Membantu sekolah menjalin kelembagaan antar jenjang sekolah pada daerah binaannya.
5.      Membantu sekolah dalam peningkatan proses pembelajaran muatan lokal antar sekolah yang dibinanya.
6.      Membantu sekolah dalam melakukan kegiatan bersama seperti pameran, Pekan Olah Raga  dan Seni (PORSENI) antarsekolah, lomba cerdas cermat, pertukaran pelajar, latihan kepemimpinan antar OSIS, tryout dan pembinaan peserta olimpiade, dan lain-lain.
7.      Membantu sekolah dalam menyelenggarakan promosi guru berprestasi, siswa berprestasi, dan aspek akademik lainnya.
8.      Membantu sekolah dalam mencari sumber dana pelatihan dan penelitian bagi guru-guru seperti untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi, pembinaan MGMP dan KKG, atau penyampaian informasi tentang dana hibah lainnya.
9.      Membantu sekolah dalam menjalin hubungan dengan dunia usaha jika sekolah berencana melakukan pengembangan usaha koperasi sekolah, peningkatan kesejahteraan guru, dan usaha lainnya yang relevan.

Untuk menciptakan kegiatan bersama, pengawas perlu melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan dan pembentukan tim panitia dari perwakilan masing-masing sekolah. Dalam penciptaan kegiatan bersama, panitia harus memperhitungkan dampak penetesan (trickling down effect) terhadap kegiatan lainnya.
Pemilihan kegiatan bersama dapat dirumuskan oleh tim panitia setelah meminta pandangan dari tim pengembang KTSP tiap sekolah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Pengawas mencoba membuka jalan dan menghilangkan rintangan-rintangan yang mungkin menghambat terlaksananya kegiatan tersebut. Berikut adalah alternatif langkah membangun kerjasama antar sekolah dalam sebuah kegiatan:



Gambar : Langkah-langkah Membangun Kerjasama Antarsekolah

c.  Peran Pengawas dalam Budaya Kerjasama untuk Peningkatan Mutu Pendidikan 

 Tujuan akhir dari kinerja pengawas hakikatnya adalah untuk menjamin mutu pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibinanya. Dengan kemampuan untuk menumbuhkan kerjasama, maka tugas tersebut akan dapat diwujudkan.
Pada materi yang lain mungkin telah dibahas tentang kegiatan penjaminan mutu. Pada kesempatan sekarang, akan diulas kembali secara singkat mudah-mudahan dapat menambah wawasan teoritis. Perbedaannya, pembahasan akan diarahkan pada peningkatan peran pengawas dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan.
            Secara nasional sebenarnya telah dibina mekanisme penjaminan mutu pendidikan yaitu dengan didirikannya institusi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) di bawah Dirjen PMPTK. LPMP memiliki konsep tersendiri dalam penjaminan mutu yang  harus dipelajari oleh seluruh penga- was. Wujud dari kegiatan penjaminan mutu antara lain menyelenggarakan pelatihan-pelatihan, pemantauan hasil UN, dan menyampaikan berbagai data dan informasi, dan lain-lain.
Gagasan tentang penjaminan mutu juga sejalan dengan konsep Manajmen Berbasis Sekolah yang difokuskan pada peningkatan mutu. Di awalnya disebut dengan istilah   Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Kebijakan MPMBS diartikan sebagai model manjemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan lain-lain) untuk meningkatkan mutu sekolah.

PENUTUP
Dapat disimpulkan secara garis besar bahwa  adminitrasi dan supervisi tidak dapat dipisahkan, tetapi dalam hal-hal tertentu keduanya dapat dibedakan.
1.   Kegiatan adminitrasi didasarkan kepada kekuasaan, sedangkan supervisi didasarkan pada pelayanan bimbingan dan pembinaan
2.   Tugas administrasi meliputi keseluruhan bidang tugas di sekolah adalah sebagian manajemen sekolah, sedangkan supervisi adalah sebagian dari tugas pengarahan (directing), satu segi manajemen sekolah.
3.     Adminitrasi bertugas menyediakan semua kondisi yang diperlukan untuk pelaksanaan program pendidikan, sedangkan supervisi menggunakan kondisi-kondisi yang telah disediakan itu untuk peningkatan mutu belajar mengajar.
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama termasuk seorang pengawas/ sepervisor dengan kepala sekolah maupun dengan guru. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Seorang pengawas/ supervisor setidaknya dapat ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).

DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin. 1990. Analisis Administrasi Manajemen Dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Burhanuddin, dkk. 2007. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional. Malang: Rosindo. Edisi Revisi.

Danin, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung:Pustaka Setia.

Dharma,Surya,.M.Pd.,Ph.D. 2008. Direktur Tenaga Kependidikan,Ditjen PMPTK .Jakarta.

Law dan Glover. 2000. Educational Leadership and Learning. Buckingham. Philadelphia: Open University Press


Mantja, W. 2007, Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas

Pandong, A. 2003. Jabatan Fungsional Pengawas. Badan Diklat Depdagri & Diklat Depdiknas
Purwanto, M. N. 2003. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Robbins, P. Stephen,. 1997. Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications (Hardcover), Prentice Hall- Gale.
Sahertian, P. A. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Stewart, A. 1998. Empowering People. Yogyakarta: Kanisius

Suryosubroto, B. 2004.  Manajemen Pendidikan Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta

Sutisna,1983.Administrasi Pendidikan dan Dasar Teoritis untuk Praktik Profesional. Bandung .Penerbit. Angkasa
Sergiovanni, Tand Starrat R.J. 1983. Supervision. Human Perspective. New York: Mc Graw Hill Book Company.

Sagala, H. Syaiful. Prof.Dr.,M.Pd. 2010.Suprvisi Pembelajaran dalam Profesi Pendidikan..Bandung. Alfabeta.

Sahertian, P.A. .2000. Konsep Dasar & Teknik Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bineka Cipta.

Simon, Herebert A. 1990. Administrative Behavior:Prilaku Administrasi. Suati studi tentang Pengambilan Keptusan dalam OrganisasiAdministrasi/ Alih Bahasa:ST. Dianjung. Jakarta : Bumi AKsara


[1]Makalah dipresentasikan Oleh M. Nurul Huda. Kamis, 01 November 2012 pada mata Kuliah Pengembangan Supevisi Pendidiakan.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama