PEREMPUAN SHOLEHAH ITU LAYAK SEBAGAI PENGHUNI SYURGA


Berbuka puasa hari ini terasa special, menu berbuka bermacam-macam. Mulai dari makanan pembuka, makan besar, sampai makanan penutup. Semuanya lengkap dari yang cair, kental, sampai makanan padat. Tidak ketinggalan makanan dan minuman yang segar-segar, dan baru saja matang. Hidangan yang sangat menggoda perut keroncongan,s etelah beberapa jam sejak subuh hingga petang menahan haus dan lapar. Dalam keadaan haus dan lapar seperti itu, seakan-akan semua makanan akan habis disantap dalam waktu beberapa menit saja.

Tapi itulah hikmah dari puasa, walaupun setengah hari menahan lapar dan haus, tapi dengan seteguk air dan beberapa makanan saja sudah terasa mengenyangkan. Subhananallah, itulah nikmat besar yang diberikan Allah bagi orang yang berpuasa.

Hari ini kebetulan ada undangan dari salah seorang teman untuk berbuka puasa di rumahnya. Ia sudah menyiapkan makanan yang banyak dan menu berbuka puasa yang lezat. Anaknya juga sering menanyakan saya, sehingga ia mengajak saya untuk berbuka puasa bersama. Karena tidak ada acara dan kebetulan berada di pondok pesantren, tidak ada salahnya memenuhi undangan. Apalagi kalau berbuka puasa di pondok, paling banter beli nasi dan dengan menu seadanya.

Menjelang berbuka, dengan membawa ala kadarnya untuk oleh-oleh anaknya, saya berangkat ke rumahnya yang tidak jauh dari pondok pesantren. Tapi tidak dekat juga, karena harus menggunakan sepeda motor. Di jalan raya, mobil dan sepeda motor padat lalu lalang dari arah timur maupun barat, sehingga di beberapa titik terdapat sedikit kemacetan, tapi tidak sampai antri.

Dari kejauhan, saya melihat teman yang mengundang sedang menggedong anaknya yang masih kecil, yang satunya menempel di dekat kakinya sambil berlari-lari kecil. Semakin dekat dengan rumahnya, anaknya langsung teriak, “paman, paman datang”. Anaknya yang paling besar begitu ceria menyambut kedatangan saya. Di depan rumah, si istri sibuk bolak balik membawa menu berbuka puasa untuk disiapakan. Sambil memberikan aba-aba kalau hidangan berbuka sudah siap di ruang makan.

Kami pun sama-sama menuju ke ruang makan. Huh…makanannya banyak sekali. Air kelapa dengan campuran sirup rasa jeruk menarik perhatian dan semakin membuat semkin harus, ingin segera rasanya minum. Tapi harus bersabar karena waktu berbuka belum tiba. Sambil bermain dengan si kecil, tidak sampai lima menit, suara adzan sudah terdengar. Si istri masih sibuk menyiapkan makanan. “lah ke ngonekn aran”, dengan nada agar sedikit keras si suami menegur istrinya. Ia hanya diam saja sambil mempercepat hidangan berbuka puasa.

Si anak yang ada di pangkuan saya, di ambil oleh si bapak dan memberikannya ke si istri. “ne urus juluk, bareh mangan kamu (urus ini dulu, nanati kamu makan)”, “inggih”, jawab si istri. Ia hanya minum seteguk air kelapa dan keluar membawa anaknya yang masih kecil. Niat si bapak sebenarnya baik, agar anaknya tidak mengganggu berbuka puasa si bapak dan saya. Saya merasa kasihan melihatnya, ia begitu capek bekerja untuk menyiapkan makanan, tapi untuk mencicipinya saja harus menunggu suaminya lebih dahulu makan.

Apa boleh buat, saya ikut menikmati dan menyantap makanan yang disiapkan. Walapun si suami menyuruh untuk menghabiskan makanan yang ada, tapi rasanya tidak tega, karena istrinya sendiri belum makan.

Setelah kami puas makan dan minum dan menyantap makanan penutup. Si istri datang untuk makan. Tapi lagi-lagi si suami mengatakan, “ebeng juluk mangan anakm cie (berikan anak mu makan dulu)”. Si istri mengambilkan nasi untuk si kecil dan menyuapinya. Karena mungkin sangat lapar, si istri minta makan sedikit dan minta si kecil sebentar. Si suami mengambil si kecil, tapi dengan rokok masih di tangan. Sepertinya istrinya tidak tega melihat anaknya yang masih kecil menghisap asap rokok suaminya. Tapi karena lapar, ia diam saja dan mempercepat makannya.

Hanya beberapa menit saja, si istri sudah selesai makan dan tanpa basi-basi, si suami langusng memberikan si anak ke istrinya. Dengan minum sedikit tergesa-gesa juga, ia langsung keluar dari ruang makan. Kami pun melanjutkan menikmati makanan penutup sampai tuntas.

Dalam hatinya saya terus berkata, “subhanallah, sungguh mulia apa yang dikerjakan perempuan ini”. Ia tidak sedikit pun mengeluh dengan pekerjaan dan bentakan dari suami. Masakan yang begitu banyak dan dikerjakan sendiri, hanya dapat dinikmati sedikit saja. Ia layak mendapat predikat istri sholehah, dan berhak mendapatkan syurga.

Amin. Mudah-mudahan ia mendapatkan pahala dan ganjaran yang setimpal dengan apa yang telah ia lakukan untuk suami, keluarga, dan tamunya. Wallahu ‘A’lam bi al Shawab.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama