Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita dari bapak dan ibu kita dengan fitrah sudah mengakui akan Allah subhanahu wata’la. Tapi fitrah itu bisa berubah oleh orang tua kita dan lingkungan kita. Oleh karena itu, nikmat terbesar yang diberikan oleh orang tua kita adalah terlahir sebagai seorang muslim,walaupun hanya keturunan.
Orang tua kita di dunia ini tidak hanya sekedar orang tua yang melahirkan kita sebagai orang tua kandung. Tapi pada hakikatnya orang tua kita ada tiga di dunia. Pertama, orang tua yang melahirkan kita. Kedua, orang tua yang menikahkan kita. Dan ketiga, orang tua yang telah mengajarkan kita ilmu.
Kita wajib berbakti kepada tiga orang tua kita, dalam keadaan apapun, selama orang tua tersebut tidak mengajak pada kemungkaran dan kemaksiatan kepada Allah subhanau wata’la. Jika hanya sebatas perkara mubah, maka wajib berbakti dan tawadduk kepada mereka.
Orang tua yang pertama adalah orang tua yang melahirkan kita, artinya orang tua kandung kita, yang dari benih mereka kita tercipta. Orang tua seperti ini yang banyak disebutkan di dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Tapi dapat juga secara umum masuk ketiga orang tua kita. Dalam hal ini kita mempunyai keterikatan dan hubungan yang lebih kuat dari segi nasab, ikatan hukum padanya, seperti pewarisan atau mewariskan.
Tidak ada mantan orang tua dalam hal ini, karena ikatannya adalah ikatan nasab. Ikatan ini juga yang menentukan seseorang dapat menikahkan atau dinikahkan. Seorang perempuan yang lahir diluar pernikahan sah, walaupun yang melakukannya adalah “ayah”nya sendiri. Tetap dalam hukum islam tidak dapat menjadi wali bagi dirinya saat pernikahan. Oleh karena itu, hubungan nasab adalah hubungan suci, karena pada hakikatnya pernikahan adalah untuk menjaga kesucian faraj.
Orang tua yang kedua adalah orang tua yang menikahkan kita, artinya mertua. Mereka juga posisinya sama dengan orang tua yang melahirkan kita. Ia juga orang tua yang harus dihormati, karena pada hakikatnya, orang tua istri adalah orang tua kita juga. Kewajiban-kewajiban yang melekat kepada orang tua nasab juga melekat pada orang tua yang menikahkan, kecuali dalam masalah warisan, atau beberapa hukum hudud.
Semestinya bagi kita, sejak dinyatakan sah akad nikah oleh saksi dan penghulu, maka mereka adalah orang tua. Di dalamnya pun melekat hukum-hukum yang tidak boleh dilanggar, seperti kalau ia cerai, maka ia tidak boleh sama sekali menikah dengan ibunya (mertua perempuan) dan menikah dengan anaknya (bekas istri anaknya). Karena hubungan itu telah terjalin dengan hubungan pernikahan, dan pada beberapa aspek hokum, diharamkan padanya melakukan pernikahan. Ini menunjukkan juga bahwa sekalipun mantan orang tua, tetap kita ada hubungan pernikahan yang haram baginya menikah dengan “bekas” anak atau ibu mertua, dan tunduk padanya menjadi kesestian.
Orang tua yang ketiga adalah orang yang pernah mengajarkan kita ilmu, yaitu guru. Dalam literatur pendidikan Islam, guru dianggap sebagai orang tua kedua setelah orang tua asli. Dengan guru kita dapat membedakan baik dan buruk, mendapatkan pengetahuan, menjadi manusia terhormat dengan ilmu. Bahkan jabatan yang paling tinggi bagi guru adalah ‘kada al-ustadzu an yakuna rasula’ (hamper-hampir seorang ustadz itu menjadi rasul).
Kepatuhan kepada guru adalah wujud kepatuhan terhadap para ulama’, dan kepatuhan kepada para ulama’ adalah kepatuhan kepada para sahabat, dan kepatuhan kepada para sahabat adalah kepatuhan kepada Nabi, dan kepatuhan kepada Nabi adalah kepatuhan kepada Allah subhanahu wata’ala. Artinya, di saat kita membangkang kepada ajaran-ajaran baik para guru, sama artinya menolak ajaran-ajaran Allah subhanau wata’ala. Para ulama’ itu adalah pewaris para nabi, dan yang mereka wariskan adalah ilmu pengetahuan.
Adab yang baik juga menjadi tuntutan bagi seseorang kepada guru. Ia harus menghormatinya, selama guru tidak mengajak pada hal-hal yang bertentangan dengan syari’at dan ma’siat kepada Allah subhanahu wata’ala. Satu huruf yang mereka ajaran, cukuplah bagi kita untuk menghormatinya sampai akhir hayat. Kalau saya dapat katakana, tidak ada mantan guru, begitu juga tidak ada mantan orang tua nasab.
Hak-hak yang melekat pada ketaatan pada orang tua, juga melekat pada orang tua lainnya. Tidak boleh mengeraskan kata-kata di depannya. Tidak boleh membantah, selama mengajak pada kebaikan. Tidak boleh durhaka, apalagi sampai mengeluarkan kata-kata laknat.
Mari kita berusaha untuk menjadi orang yang berbakti kepada ketiga orang tua kita, agar kita mendapat rahmat dari Allah subhanahu wata’ala. Wallahu A’lam bi al shawab
Posting Komentar