NAZRI. Pada hari kedatangan kami di Desa Bayan , saya mengantar teman-teman ke tempat lokasi dakwah mereka. Walau capek dan lelah sudah menghantam jiwa, tubuh terasa lemah dan lesu kami terus bersemangat menjalani itu semua. Perjalanan ke Dusun Torean sekitar pukul 04. 30. Ke torean lumayan jauh dari Bayan Beleq, sampai di sana waktu sudah sangat sore dan saya rasa saya tidak bisa menuju langsung ke lokasi tempat saya dakwah dan kebetulan saya bersama Hursa’i dan tempat dakwahnya dekat Torean karena masih satu desa yaitu Desa Lolan. Ahirnya kami berdua menuju tempat dakwah Sa’i di Telaga Segoar. Sampai di sana beberapa menit berkumandang azan maghrib pertanda bahwa datangnya waktu berbbuka puasa. Alhamdulillah hidangan berbuka telah disiapkan ahlul bait.
Setelah berbuka saya bersama Hursa’i dan teman-teman shalat magrib berjama’ah di masjid yang tidak jauh dari tempat tinggal kami. Sampai waktu sholat isya’, kami masih berada di masjid. Selesai shalat sunnah saya coba menghampiri anak-anak yang tengah bershaf rapi di belakang saya dan saya menemukan mereka belum cuci kaki, wudhu’, apalagi mandi. Saya kemudian menghampiri mereka dan bertanya, “kamu sudah wudhu?”. “belum”, jawabnya. Karena sudah terlihat dari kaki mereka yang penuh debu dan kotor. Saya kemudian meminta naka-anak mengambil air wudhu’, saya tidak menyia-nyiakan momentum ini untuk mengajarkan mereka cara berwhudu’ yang benar dan baik. Namun sebelumnya ada satu anak yang enggan berwudhu’ mengikuti teman-temannya yang lain. Saya pun memasukkan tangan ke saku dan mengambil uang seribu kemudian memberinya uang itu dan terus membujuknya. Alhamdulillah akhirnya dia pun mau diajak berwuhdu’.
Saya berpesan sebelumnya kepada jama’ah agar tidak iqomah dulu sebelum saya kembali dari mengajar anak-anak cara berwudhu’ yang benar. Pada malam itu kebetulan saya yang diminta menjadi imam dan menyampaikan kultum setelah sholat. Sampai tengah malam kami di masjid untuk tadarrusan dan beristirahat.
Esok harinya setelah sholat jum’at saya akan ke lokasi tapi ada sedikit halangan sehingga saya tunda. Setelah sholat ashar sekitar jam 5.00 baru saya berangkat menuju lokasi di Dasan Tutul. Nah..di sananlah saya menemukan masyarakat Dasan Tutul sedang begawe dengan berpakaian adat yang rapi semua memakai sapu dan lain-lain.
Yang mengherankan, mereka semua muslim, di bulan puasa tapi mereka tidak berpuasa. Di KTP mereka semua beragama islam tetapi mereka tidak melaksanakan sholat 5 kali sehari semalam. Terasa asing rasanya berpuasa di tengah-tengah masayrakat asli Bayan yang tidak berpuasa. Adapun rumah tempat tinggal kami adalah orang pendatang dari Mamben Lombok Timur. Mereka semua berpuasa dan juga mendidikan shalat lima waktu.
Saya juga menemukan tempat itu rapai tapi sepi, artinya di sekeliling masjid sangat ramai karena memang kebetulan lokasi begawe di dekat masjid jadi sangat ramai orang-orang memotong daging untuk dimasak sambil mengisap rokok, itu salah satu tanda bahwa mereka tidak berpuasa. “tapi sepi” maksudnya bahwa sekeliling masjid sangat ramai dengan aktifitas masyarakat yang sedang begawe tetapi ketika sholat sepi. Tidak ada yang naik ke masjid untuk melaksanakan sholat secara berjama’ah. Menurut informasi yang saya terima bahwa mereka memang tidak sholat sebagaimana orang-orang muslim pada umumnya, karena di sana ada istilah wetu telu.
Tapi syukurnya anak-anak mereka mau sholat, puasa dan mengaji di masjid dan orang tua pun mengizinkan anan-anaknya untuk itu. Tapi pada acara begawe berlangsung, mereka libur datang ke masjid tidak seperti biasanya kalau kita hitung hanya ada 5 sampai 6 orang saja yang datang ke masjid. Dan tetap kami ajak mereka berbuat kebaikan, mendirikan sholat, dan belajar mengaji dan membaca al-Qur’an. Dan anak-anak yang lain tidak tahu kemana jejak mereka, tidak dapat saya rangkul ke masjid disebabkan pertama adalah orang baru yang jika mencari mereka maka tidak bisa saya menemukan mereka. Saya dan teman-teman hanya bisa berpesan kepada adik-adik yang hadir agar mengajak teman-teman mereka yang lain. Dan saya menyampaikan hadis nabi,“ barangsiapa mengajak kepada suatu kebaikan , maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya”.
Alhamdulillah setelah acara begawe itu berlangsung saya data anak-anak di masjid waktu itu setelah sholat magrib dan jumlah keseluruhan laki-laki dan perempuan mencapai 84 anak. Dari jumah itu lebih banyak perempuan daripada yang laki-laki. Saya sering perhatikan bahwa prosentase jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah perempuan.
Di Dasan Tutul tempat dakwah saya, sauasananya sangat dingin yang kadang membuat saya malas mengambil air wudhu’ dan bangun sholat malam. Air yang jatuh ke tangan terasa tidak jatuh ke kulit, tapi tembus langsung ke tulang, karena dinginnya air PAM dari mata air asli yang keluar dari kaki lereng Gunung Rinjani. Saya berpikir kakinya saja setinggi ini, apalagi Gunung Rinjani, yang jauh tinggi menjulang terlihat hampir menyentuh langit dunia. Karena tingginya Gunung Rinjani kadang terlihat dan kadang tidak terlihat karena awan yang selalu menyelimuti saing dan malam. Saya mendengar cerita bahwa di Sembalun tempat orang-orang mulai start mendaki Gunung Rinjani lebih dingin 10 kali lipat dibandingkan dengan di Dasan Tutul. Di Dasan Tutul saja sedingin ini apalagi di sana.
Saya sempat bertanya demikian di dalam hati, apalagi di puncaknya tidak dapat di bayangakan dinginnya. Saya dapat simpulkan bahwa semakin tinggi permukaan bumi ini semakin dingin cuacanya dan semakin panas di musim panas karena ia lebih dekat dengan matahari.
Di Dasan Tutul saya menemukan satu hal yang berbeda dengan kampung tempat tinggal saya di lombok tengah, yaitu banyaknya anjing yang berkeliaran. Di Dasan Tutul lebih banyak anjing dari binatang ternak peliharaan masyarakat, tapi lebih sedikit dari manusia yang berada dan tinggal di sana. Sehingga saya katakan kampung ini bukan hanya kampung manusia tapi juga kampung anjing.
Posting Komentar