SERVANT LEADERSHIP DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM

SERVANT LEADERSHIP DALAM KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN ISLAM[1]
Prolog
Manajemen dalam pendidikan adalah hal baru. Ia mengadopsi disiplin keilmuan militer, bisnis, ekonomi, dan social lainnya. Keberhasilan ilmu-ilmu tersebut dalam mengatur kegiatan dari awal sampai akhir membuat dunia pendidikan tertarik mengadopsinya. Sehingga pendidikan modern saat ini, tidak bias terlepas dari manajemen yang baik. Bahkan untuk urusan akreditasi, semuanya berpedoman dari ilmu-ilmu manajemen. Bagaimana merencanakan, mengorganisasi, mengeksekusi, sampai mengevaluasi kegiatan. Untuk itu, pendidikan secara umum, baik sekolah maupun madrasah dan pondok pesantren secara umum harus mempunyai manajemen yang baik dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

Sedangkan  manajemen pendidikan secara umum adalah bagaimana berusaha mengelola sumber daya pendidikan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecerdasan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.[2] Pengertian di atas adalah sebagian dari sekian banyak pengertian. Masih banyak lagi pengertian manajemen pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, tapi semuanya merujuk pada pengoptimalan sumber daya.

Secara umum manajemen sering dikaitkan dengan fungsi manajemen itu sendiri, seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Namun dalam implementasinya sering menjadi rancau dan rumit. Apalagi berurusan dengan masalah administrative, mulai dari perencanaan sampai dengan pengawasan.
Manajemen pedidikan bagi madrasah atau pondok pesantren selama ini memang masih menjadi persoalaan yang sangat rumit, di mana sosok sentral masih menjadi pengendali dalam madrasah atau pondok pesantren. Keberadaan madrasah/pondok pesantren yang berdiri dari harta ustaz/tuan guru/kyai, menjadikan manajemen madrasah/pondok pesantren adalah manajemen ala mereka, dan sesuai dengan kehendak mereka. sehingga tidak jarang, banyak madrasah/pondok pesantren yang timbul tenggelam dan bahkan ada yang hanya plank nama saja. Hidup tidak mau, mati pun segan. Padahal potensi madrasah/pondok pesantren begitu sangat besar.

Namun kita tidak dapat menggugat sistem seperti itu, apalagi sudah berjalan begitu lama. Merubahnya adalah resiko besar dan berpotensi merusak tatanan madrasah/pondok pesantren. Padahal dalam tradisi madrasah/pondok pesantren ada istilah dalam ushul fiqh, ‘al muhafazah ala qadimi al-sholih wa al-akhzu bi al-jadid al-aslah(mempertahankan tradisi lama yang bagus, dan mengambil tradisi baru yang lebih bagus). Oleh karena itu, perlu melakukan pemahaman ulang dari setiap mereka yang berada di puncuk pimpinan akan fungsi dan tugas mereka menjadi orang terdepan di madrasah/pondok pesantren.

Manajemen dalam berbagai dimensi tidak terlepas dari masalah kepemimpinan. Artinya manajemen adalah kempemimpinan dan kepemimpinan adalah manajemen. Karena yang menjadi fokus dalam manajemen adalah sumber daya yang menjadi inisiator, pengendali, dan orang yang paling terdepan dalam lembaga pendidikan. Untuk itu, seseorang yang menjadi pemimpin dalam sebuah lembaga madrasah/pondok pesantren harus mengetahui posisinya di antara sumber daya manusia yang ada dan sumber daya alam serta sistem yang berlaku.

Pemimpin Madrasah/Pondok Pesantren Adalah Pemimpin Pelayan
Pemimpin madrasah/pondok pesantren selama ini lebih dilihat sebagai orang yang kharismatik, sehingga pengikut menjadi fanatik terhadap dirinya. Sangat jarang sekali pemimpn-pemimpin lembaga ini adalah orang yang mengatur lembaga dengan sistem, ia lebih mengandalkan kharisma dan kepatuhan-kepatuhan bawahan kepada pemimpin. Dalam masalah ini, maka pemimpin madrasah/pondok pesantren lebih kepada sebagai seorang leader dan bukan sebagai seorang manajer. Leader lebih memperhatikan sumber daya bukan sistem, sehingga dalam praktek kepemimpinanya lebih memperhatikan manusianya bukan sistem yang berjalan dan seperti robot.

Kepemimpinan dalam Islam, apalagi dalam konteks pendidikan, pemimpin adalah seorang yang melayani orang-orang yang dibawahnya, bukan sebagai orang yang dilayani. Karena pemimpin dalam konteks administrator sendiri harus memberikan pelayanan prima dalam arti yang sebenarnya, bukan sebaliknya justru minta dilayani. Ada istilah PELAYANAN PRIMA (Usman:2006) yaitu singkatan dari Pantas (biaya hemat, mutu hebat, dan waktu tepat; empati (penuhperhatian); langsung, akurat, yakin, aman, nyaman, alatnya (lengkap danmodern), nyata (bukan sekedar janji), perkataan (sopan), rahasia (terjamin), informasi (dikuasai, lengkap, dan mutakhir, mudah, dan akuntabel (bertanggungjawab).[3]

Memang susah untuk menentukan seorang pemimpin yang melayani versus pengikut yang patuh. Karena dengan berbagai varian dari sunnah ada anjuran untuk melayani dan ada anjuran untuk menghormati dan mematuhi pemimpin. Sebagai contoh pondok-pondok tradisonal dahulu, mereka datang ke pondok pesantren hanya dengan niat berkhidmat ke kyai/tuan guru. Sehingga apa saja yang diperintahkan oleh kyai/tuan guru mereka tidak bisa membantahnya, kepatuhan adalah harga mutlak. Sawah-sawah dan ladang kyai/tuan guru dikerjakan oleh para santri, walaupun mereka tidak belajar. Bahkan dalam tradisi pondok pesantren, mereka diharuskan untuk berkhidmat menjadi khadam kyai dan keluarga kyai.

Padahal kepemimpinan yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa sallam adalah kepemimpinan yang melayani dan bukan minta dilayani. Nabi lebih banyak melayani, bahkan diakhir hidupnya belaiu tidak meninggalkan apa-apa dari harta, semua habis diwaqafkan untuk dakwah. Begitu juga dengan para sahabat, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menginfakan harta mereka untuk dakwah rasul.

Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa semua para Nabi adalah pemimpin-pemimpin yang melayani ummat. Apa saja yang mereka minta, para nabi mengabulkannya, sampai Nabi Musa diminta oleh ummatnya untuk bias melihat Allah dengan mata telanjang. Allah menggambarkan mereka dalam hadis Nabi sebagai seorang pengembala yang melayani gembalaannya. Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah

ما بعث الله نبيّا إلاّ رعى الغنم . فقال أصحابه :وأنت؟ فقال :نعم، كنت أرعاها على قراريط لأهل مكة
Artinya: dan tidaklah Allah mengutus para nabi kecuali mereka adalah pengembala kambing. Sahabat bertanya, “bagaimana dengan engkau wahai Rasulullah?”. Kemudian beliau berkata, “ya, Saya telah menggembalakan kambing untuk penduduk ahli Makkah.

Semua para nabi yang diutus Allah di muka bumi ini adalah penggembala kambing. Yaitu orang yang melayani, mengurus, mengutamakan kepentingan orang lain, dan rela berkorban. Ups…anda mungkin masih bingung, apa kaitannya antara penggembala kambing dan pemimpin sebagai pelayan umat. Coba perhatikan hadis berikut ini:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: Setiap kamu adalah pemimpin (pelayan) dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan dia bertanggungjawab tentang kepemimpnannya. Seorang laki-laki pemimpin dalam keluarganya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas kepemimpinannya. dan seorang pembantu adalah pemimpin pada harta tuannya dan bertanggungjawab atas kepemimpinan.

Hadis yang kedua adalah hadis yang sering dipakai berdalil tentang kepemimpinan islam dalam konteks hadis. Sedang dalam konteks al-qur’an sering menggunakan dalil khalifah. Kita tidak membicarakan kata khalifah, karena konteksnya berbeda. Yang perlu diperhatikan adalah kata-kata ra’a, ra’in, ri’ayah, semuanya berasal dari satu kata yang sama yang bermakna menjaga. Jadi kalau diterjemahkan hadis yang kedua sebenarnya akan bermakna ‘setiap kamu adalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya’.

Lalu apa hubungannya antara pengembala dengan kepemimpinan dengan makna penggembala. Di sinilah Allah menempa para nabi dan rasul akan kepemimpinannya. Semua para nabi digembleng kepemimpinannya dengan cara menggembala kambing. Sejauh mana mereka dapat melayani kambing gembalaannya dengan baik, tidak menyakiti, melayani semua kebutuhannya,menjaganya dari terkaman bintang buas dan lain sebagainya.

Akan tetapi, kadang-kadang kita lupa saat menjadi pemimpin harus melayani sebagaimana kita melayani gembalaan kita. Semua orang saat menjadi pemimpin ingin dilayani dengan sebaik mungkin. Pernahkan anda mendengar kata-kata “domba-domba yang tersesat”. Yups…..itu istilah untuk umat islam yang masih belum memeluk agama Kristen. Istilah itu malah dipakai oleh mereka para pendeta yang beragama Kristen, padahal tradisi itu ada dalam islam dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad.

Karena istilah itu berkembang dalam tradisi mereka dan melakukan “pelayanan” untuk ummat mereka. Pengkaji-pengkaji barat dan eropa menjadikan tradisi kepemimpinan yang melayani sebagai sebuah alternative kepemimpinan yang menghargai manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Kepemimpinan tersebut adalah servant leadership atau servant-leader. Sebagaimana yang digagas oleh Ken Blanchard (1967) dan Robert K. Greenleaf (1970) yaitu kepemimpinan melayani atau servant leader adalah kepemimpinan yang melayani terlebih dahulu, tanpa embel-embel apapun. Ia melayani dengan suka rela kepada semua orang, walaupun orang tersebut tidak perlu dilayani.

Untuk dapat menjadi pemimpin pelayan ada beberapa karakter yang harus ada dalam diri pemimpin tersebut yaitu:[4]
1.       Listening(Mendengarkan). Seorag pemimpin adalah pendengar yang baik bagi pengikutnya. Ia harus pandai dalam mendengar kebutuhan orang-orang yang ia pimpin, baik yang didengar dengan jelas atau yang tidak didengar dengan jelas, artinya pemimpin memahami kehendak pengikutnya, walaupun ia tidak mengucapkannya.

2.       Empathy(Empati). Seorang servant-leader senantiasa berupaya untuk memahami dan berempati dengan orang-orang lain.. pemimpin  harus peka terhadap niat-niat baik dari orang-orang yang dilayaninya. Ia seharusnya mempunyai empati dengan tidak memposisikan diri terlalu atas sehingga peka akan kehidupan orang-orang disekelililingnya.

3.       Healing(Penyembuhan). Pemimpin adalah motivator, dengan motivasi yang ia berikan, dapat menyembuhkan hati-hati yang galau, gusar, susah, sedih, dan lain sebagainya, yang dialami oleh pengikutnya.

4.       Awareness(Kesadaran). Kesadaran umum, dan terutama kesadaran-diri akan memperkuat diri seorang servant-leader. . Kesadaran memang mempunyai risiko-risiko, namun kesadaran membuat hidup ini menjadi lebih menarik; yang jelas kesadaran ini memperkuat keefektifan seseorang sebagai seorang pemimpin. Apabila seseorang senantiasa sadar, hal ini lebih daripada sekedar berjaga-jaga tapi lebih intens dengan situasi yang langsung dihadapi.


5.       Foresight(prediksi ke masa depan). Foresight adalah suatu karakteristik yang memampukan seorang servant-leader memahami pelajaran-pelajaran dari masa lalu, realitas-realitas hari ini, dan konsekuensi-konsekuensi yang dimungkikan dari sebuah keputusan berkaitan dengan masa depan.Foresight juga berakar secara mendalam dalam pikiran yang intuitif.

6.       Commitment to the growth of people (Komitmen terhadap pertumbuhan orang-orang). Seorang servant-leader percaya bahwa pribadi-pribadi memiliki nilai intrinsik yang melampaui dalam diri mereka.. Dengan demikian sang servant-leader memiliki komitmen mendalam berkaitan dengan pertumbuhan setiap individu dalam lembaganya. Sang servant-leader di sini mengakui tanggung-jawab yang besar sekali untuk melakukan segala sesuatu di dalam kekuasaannya untuk memelihara pertumbuhan pribadi, pertumbuhan profesional dan pertumbuhan spiritual.

7.       Building community(Membangun komunitas).  Membangun tatanan lembaga dengan memanfaatkan kekuatan-kekuatan yang ada sehingga menjadi satu kesatuan yang kokoh. Tidak mudah goyah dengan isu-isu tertentu pada individu anggota komunitas.

8.       Penjaga. Seorang pemimpin adalah orang yang menjaga bawahannya dengan sebaik mungkin agar mereka merasa damai dan dilindungi oleh pemimpin. Ia menjaganya dari segala macam gannguan. Seorang pemimpin madrasah, maka ia akan menjaga guru dan anak muridnya dari segala macam bahaya yang mengintai. Menjaga anak murid dari pengaruh pornografi, pergaulan bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Kepada guru pun ia menjaga, agar kualitas guru terus terjaga dan bahkan bertambah wawasannya. Jangan sampai guru menjadi bagian dari masalah yang kita hindarkan dari siswa/siswi.
Maka dengan sistem asrama menjadi sebuah alternative untuk menjaganya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh pondok pesantren berasrama selama ini. Bahkan pendidikan barat, banyak mengadopsi system asrama, agar terjaga kualitas siswa/siswinya.
9.       Menyediakan fasilitas. Penyedian fasilitas ini adalah menyediakan sarana-sarana belajar bagi siswa untuk mengembangkan diri, bukan hanya sekedar dicekoki pengetahuan dengan ceramah saja. Berikan fasilitas kepada mereka, dan biarkan mereka mengembangkan diri. Hanya sekali waktu saja mereka disuapi. Sebagaimana gambaran gembalaan, cukup dibawa ke tempat yang banyak rumput, selanjutnya setelah mereka mau makan atau tidak.
Dalam konteks kepala madrasah dan pimpinan pondok pesantren untuk guru sendiri di samping menyediakan fasilitas tersebut. Yang tidak kalah penting adalah makanan atau mu’nah atau ongkos hidup bagi mereka yang membantu melayani. Artinya pemimpin memberikan mereka makan untuk hidup, karena makan menjadi bagian terpenting dalam kebutuhan manusia. Sebagaimana dalam hierarki kebutuhan Maslow, yaitu paling pondasi adalah pemenuhan isi perut, harta, gaji, dan lain sebagainya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pangan.
10.   Sabar. Bersabar dalam menghadapi segala macam perilaku dari orang-orang yang menjadi bawahannya. Tidak cepat marah atau mencaci maki bawahan dengan kata-kata kotor, apalagi perkataan tersebut dapat menyakiti orang tersebut. Rasulullah adalah contoh yang baik, beliau tidak pernah berkata yang kotor kepada para sahabatnya, bahkan dalam potongan hadis disebutkan “mata ‘a’hadtani fahhasha”. Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh berkata-kata yang kasar, karena itu tanda dari orang yang tidak terdidik. Benar sekali apa yang ditunjukkan dalam sebuah kata mutiara ‘kalau luka dengan pedang masih bisa dicarikan obatnya, tapi luka dengan lisan, mau cari obat di mana’.

11.   Menjadi Contoh. Pemimpin pada dasarnya harus menjadi contoh yang baik bagi pengikutnya. Ia harus menjadi orang yang terdepan dalam hal-hal yag sifatnya melayani. Tanpa ada perintah ia bergerak untuk berbuat dan berkarya. Secara sifat pun ia harus menunjukkan diri sebagai orang yang patut untuk dicontoh, agar keizzahan dirinya sebagai pemimpin menjadi pedoman bagi pengikutnya.

Penutup
Pemimpin yang melayani, tidak muncul begitu saja. Ia harus ditempa dalam iklim yang melayani dan mampu melakukan pelayanan dengan baik. Menghilangkan ego dan ketakabburan akan posisi yang diembannya. Semua karakter tersebut harus dipelajari dan dipraktekkan dalam kepemimpinan, baik kepemimpinan tertinggi sampai kepemimpinan yang terendah.

Apa yang Allah telah tempa untuk para Nabi, menjadikan para Nabi sebagai orang-orang yang kuat dalam menghadapi ummat, walaupun dengan berbagai cobaan di luar akal sehat manusia. Tapi mereka tetap melayani dan tidak pernah minta untuk dilayani.
Allahu ‘A’alam bi al-Shawab



[1]Oleh Weli Arjuna Wiwaha, M.Pd.I. Disampaikan dalam acara workshop di Madrasah Sunan Kalijaga Tanjung Lombok Utara.
[2]Husaini Usman, Manajemen Teori, Praktik, dan riset pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2006). 7
[3]Ibid, 1
[4]Sebenarnya ada sepuluh karakter yang ditawarkan oleh Greeenleaf, tapi ada beberapa karakter yang hampir sama dan tidak diperlukan dalam kajian kepemimpinan Islam. Ada empat karakter yang diganti dan tambahan lima karakter yang sesuai dengan karakter dari kepemimpinan yang melayani dalam islam.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama