TIDAK BERTANNYA PADA PERKARA YANG JELAS

Allah sudah menurunkan syari’at ini begitu sangat mudah bagi hambanya. Tidak ada syari’at yang memberatkan, apalagi sampai tidak mampu untuk dilakukan oleh hambanya. Pada ajaran tertentu saja, apabila ada kesulitan untuk dilakukan, maka ada keringanan untuk melakukannya dengan cara lain atau menggantinya dengan sesuatu yang mencukupinya.

Nabi Muhammad sendiri bila dihadapkan dua perkara, beliau memilih perkara yang paling mudah. Artinya dua perkara tersebut adalah perkara yang dibenarkan oleh agama, bukan perkara buatan manusia sendiri, atau dengan pertimbangan akal semata untuk keluar dari beban syari’at.

Coba diperhatikan, tidak ada ajaran agama yang dijalankan oleh manusia, kecuali ajaran tersebut itu juga bermanfaat bagi manusia sendiri. Sebagai contoh shalat. Sudah banyak penelitian yang membuktikan bahwa gerakan-gerakan shalat sangat bermanfaat bagi manusia sendiri. Secara ketenangan hati, orang merasa tentram dan damai saat melaksanakan shalat. Manusia diajarkan tepat waktu dengan shalat, baik dalam keadaan sibuk maupun dalam keadaan sangat kantuk dan dingin seperti waktu subuh.

Tapi dari ajaran-ajaran yang mudah tersebut ada ajaran yang tidak termaktub dalam syari’at. Tidak tertulis bukan berarti Allah dan Rasulullah lupa mencantumkannya atau mensyari’atkannya. Namun dalam syari’at atau ajaran yang tidak tertulis tersebut ada hikmah bagi manusia untuk menentukan arah hidupnya yang sesuai dengan adat dan kebiasaan baik manusia itu sendiri. Dalam ushul fiqh sendiri disebutkan bahwa adat itu bisa menjadi hukum.

Dalam ajaran-ajaran ini,manusia dapat menggunakan akal pikiran baiknya untuk mengkreasikan ajaran sebagai bentuk kasih sayang Allah dan penghargaannya kepada hambanya. Dalam sebuah potongan hadis disebutkan:

...وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها
‘……dan (Allah) diam tentang sesuatu (ajaran) sebagai rahmat bagi kalian, tapi bukan karena (Allah) lupa. Maka jangan mencari-cari tentangnya (ajaran)

Hadis ini menjelaskan tentang ada beberapa ajaran yang diakui dalam ajaran, tapi bukan secara langsung termaktub dalam al-kitab dan al-sunnah, di situ ada ijtihad manusia dengan mempertimbangkan maslahat manusia itu sendiri.

Secara umum juga hadis ini menjelaskan tentang tidak terlalu banyak bertanya pada ajaran-ajaran yang sudah jelas perintahnya. Apalagi pertanyaan yang diajukan dengan tujuan untuk menghidar dari sayri’at itu sendiri atau untuk mengindar dari ajaran yang ia berat merasakannya dan ingin yang paling mudah.

Perintah shalat sudah jelas, tidak perlu lagi bertanya tentang kenapa raka’at shalat ini empat raka’at, tiga raka’at atau dua raka’at. Atau bertanya tentang kenapa rukuk harus dengan haiah ini dan itu atau sujud dengan cara seperti itu dan lain sebagainya. Tapi mempertanyakkan tentang shalat yang benar adalah keharusan agar orang tidak salah cara. Karena dalam masalah ibadah, seseorang tidak boleh melakukannya kecuali ada dalil yang menunjukkannya. Berbeda dengan selain ibadah, maka semuanya mubah, kecuali setelah itu ada dalil yang menunjukkan keharamannya dengan illat tertentu.

Hadis yang senada di atas sebenarnya penjelasan dari perilaku orang Bani Isra’il yang terlalu banyak bertanya di saat mereka diperintahkan untuk menyembelih sapi betina. Karena pertannyaan-pertanyaan mereka yang tidak masuk akal, akhirnya Allah mempersulit mereka. Sebenarnya mereka bertanya supaya mereka tidak melakukan sembelihan itu. Dalam ayat al-qur’an kemudian dijelaskan untuk tidak bertanya pada masalah/perkara yang sudah jelas
"يا أيها الذين آمنوا لا تسألوا عن أشياء إن تُبد لكم تسؤكم"
wahai orang-orang yang beriman jangan bertanya tentang sesuatu, kalau sudah jelas bagi kamu, maka kamu akan sesat"


Ayat ini memberikan penjelasan yang sangat jelas, maka apa yang kita terima dari Nabi maka kita jalankan dengan sebaik-baiknya, tanpa bertanya yang membuat ajaran itu semakin sulit atau sengaja menghindar dari ajaran. Wallahu A’alam bi al shawab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama